Prosa Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Apanya yang harus diluruskan? Sebenarnya sejak Adam dan Hawa diturunkan ke bumi, hasil dari pelurusan sekaligus sebagai hukuman. Namun sejatinya sebagai asbab dimulainya periode manusia untuk memahami makna hidup dan kehidupan di bumi-Nya.
Sejak itu satu demi satu asbabun nuzul mulai turun ke bumi menjadi rangkaian ayat- ayat qauliyah-Nya. Singkatnya sampai pada zaman kesempurnaan agama. Tentu saja sebagai pelengkap qauliyah manusia diawjibkan juga untuk mampu membaca kauniyah, guna konsep tadabbur kian bisa mekar di sebalik dada masing pribadinya.
Renung yang menjadi pohon hayat dalam perenungan. Jadilah pola dalam berpikir yang seterusnya disebut pola pikir. Pasal demi pasal dibuat guna menjadi harmonis laju jadi pedoman untuk dijalankan dalam alur hidup dan kehidupannya manusia, guna selaras dalam melangkah tak melanggar hukum. Padahal Al Qur’an sendiri sebagai pedoman hidup nan mutlak. Namun tidak semua ingin mempelajari, mengambil pelajaran dan mengamalkannya di keseharian. Itulah mengapa sebab yang menjadi penyebab dan bersebab yang kembali melahirkan sebab. Terus dan terus berulang bak roda pedati yang menyusuri jalan tanpa ujung. Ya, bak Sisifus yang mendorong batu ke atas bukit kemudian menggelindingkannya ke bawah. Mendorongnya lagi ke bukit dan terus serta terus berulang yang bukan sekadar daur ulang.
Mengulang-ulang mendaur pikiran dari sisa-sisa ingatan, meski semua berubah dalam hidup dan kehidupan ini, tetapi ada satu hal yang tak berubah adalah pelurusan. Pelurusan bisa berarti klarifikasi. Pelurusan bisa bermakna interupsi. Pelurusan bisa dikata petunjuk. Pelurusan bisa mengandung pembenaran. Pelurusan bisa berbuah kebenaran.
Sepanjang bumi masih berputar, sepanjang itulah zaman lahir dan menguburkan zaman sebelumnya. Namun sejarah tak pernah bisa menguburnya meski Bahtera Noah telah merendam daratan. Itulah kuasa mutlak Tuhan yang tak bisa diintervensi. Namun manusia selang dan seling yang jadi silih mengintimidasi yang berujung pelurusan.
Apanya yang harus diluruskan ketika nasi sudah menjadi bubur? Bukankah hikmah lebih berfaedah ketimbang pelurusan? Tuhan memberikan pedoman yang tak bisa diamandemen. Manusia menciptakan hukum yang kapan mau bisa diamandemen. Belantara Gigantik melahirkan hukum rimba. Samudra menciptakan evolusi.
Sementara gunung dan lautan mengajarkan harmonisasi; asam di gunung garam di laut bertemu dalam satu belanga, itulah nenek moyang kita, yang melahirkan pasangan. Sunyatanya pasangan dalam paradoksal yang dikatakan selaras itu adalah oposisi: Baik dan buruk. Tinggi dan rendah. Seperti asam dan garam kala keduanya lebur tercipta sudah sebuah rasa nan baru. Seperti api dan air yang tak pernah bersatu, tapi saling membantu dalam didih. Saling meredam dalam bara.
Pada akhirnya dari zaman ke zaman tak pernah bisa terlepas dari zaman pelurusan yang selalu terselip dan Hadir tanpa bisa diprediksi kapan waktunya tiba. Seperti ingat kita pada Tuhan yang semestinya saban tarikan napas memgingat-Nya, tetapi kita kerap abai dalam lena yang berbuah nikmat. Padahal nikmat itu ada dari siapa? Jujur itu bukan istimewa melainkan sepatutnya laku diri. Sebagaimana apa yang kita dengar, lihat dan rasakan; patutnya laku diri itu harus senantiasa dihubungkan dengan Tuhan.
Disitulah letak sejatinya napas zaman pelurusan, sebab hikmah lebih utama ketimbang retorika. Sebab alur hidup dan kehidupan di bumi tak bisa lepas dari hakikat. Pada akhirnya, siapakah sejatinya diri kita di jejak alur napas zaman pelurusan? Adakah tanpa topeng? Lupakan. Sebab Tuhan pun tak pernah melarang apa yang ingin kita lakukan. Sejatinya Tuhan hanya perlu argumen dalam laku kita, yaitu pertanggungjawaban pada apa yang sudah kita lakukan, sebagaimana kala Adam dan Hawa diturunkan ke bumi. [Li]