Ruangatas.com | Prosa; Lintang Ismaya
Di era zaman keterbukaan ini, apanya yang tidak bisa terakses? Sampai data pribadi pun bisa dengan mudah didapatkan. Dunia kian menua. Semua berubah. Namun ada ironis dalam harmoni yang menjadi harmonisasi perihal hukum rimba masih bisa membungkam pada undang-undang yang sudah diterbitkan untuk dijalankan oleh seluruh elemen bangsa, baik dari mulai warga sipil sampai pemangku kebijakan. Ini salah siapa?
Adakah benar kata siapa dan salah kata siapa masih berlaku di luar hukum atawa undang-undang beserta pasal-pasalnya yang sudah disahkan dalam mufakat untuk dijalankan dalam roda hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara? Terlalu porno memang jika sampai mengupas ke arah sana. Meski kini zamannya sudah dalam atmosfer zaman ketelanjangan.
Mengapa hukum dibuat jika masih bisa di utak dan atik jadi utak-atik dengan se-enak udel? Bahwasanya tidak bisa dibantah demikianlah kesunyataan faktanya yang meng-atmosfer dalam ruang lingkup napas merdeka. Apalah artinya kesempurnaan agama. Apalah artinya ilmu pengetahuan yang hanya jadi hiasan retorika belaka bak kosmetik yang menutupi paras aslinya. Bak baju yang menutupi kulit aslinya, bak sepatu yang menutupi kaos kaki bolong.
Benar jika Tuhan berkehendak maka semuanya akan patuh dalam satu hukum Hakiki-Nya. Namun itulah kesunyataan manusia sebagai makhluk yang diciptakan sempurna, tetapi memerlukan banyak elemen lain untuk menyempurnakan kesempurnaan itu salah satunya agama yang harus jadi pedoman hidup dalam ngalengkah ka hareup sa jengkal, sedengkeun ngalengkah ka tukang sa depa.
Tak bisa dipungkiri keseharian hidup di buminya merupakan cermin mutlak dari dunia berubah dan terus berubah sesuai dengan napas zamannya. Napas-napas zaman terus diciptakan menjadi petak-petak. Menjadi kotak-kotak. Menjadi denah-denah keinginan yang pada akhirnya semua manusia saling berebut ingin menuliskan eksistensinya dalam lembaran sejarah.
Padahal tidak usah repot-repot dalam mengotak dan mengatik yang jadi otak-atik hukum toh sejatinya Rokib dan Atid sebagai pencatat murni dari alur hidup dan kehidupan tiap laku manusia di bumi-Nya sampai tutup usia. Ya, pada kesunyataanya manusia sadar akan hal itu, tetapi fitrah manusia itu pembangkang. Senantiasa ada dalam wadah ingkar dan eling, tak bisa ajeg dalam napas konsekuen sebagaimana Azazil yang begitu nyata dalam identitasnya konsekuen menjadi juru penggoda manusia sampai kiamat tiba.
Tiba-tiba menyalahkan nafsu. Kenapa harus itu yang dipersalahkan? Bukankah hidup itu adalah; hidup bukanlah pilihan, tetapi hidup begitu banyak menyuguhkan pilihan untuk dilakonkan dalam laku diri. Bukankah hidup adalah; hidup adalah senda-gurau belaka yang menuntut pertanggungjawaban laku diri paska pindah alam. Bukankah hidup itu adalah; hidup adalah rangkaian pelajaran yang harus dihayati untuk dimengerti untuk seterusnya jadi cermin mutlak dalam tetimangan langkah sebelum sunyi mekar di liang kubur.
Lupakan. Dalam situasi dan kondisi yang tidak seimbang ini, pada akhirnya benar kata siapa. Salah kata siapa. Menjadi mutlak dalam sudut pandang. Sebagaimana subjek memandang sebuah objek ada yang dari arah belakang tentu berbeda tafsir dan pemaparannya dengan yang memandang dari arah depan.
Namun rasanya tak elok juga jika esensi hukum adalah konsep hukum yang berisi nilai-nilai, asas-asas, dan norma-norma perilaku. Hukum berfungsi untuk mengatur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat masih bisa di utak dan atik jadi utak-atik se-enak udel. [Li]