Opini Doni M. Noor| Ruangatas.com
Berbicara perihal kasus-kasus krusial yang mencuat ke permukaan, baik yang ada di lembaga pemerintahan, akademisi (pendidikan), ormas, atau lembaga swasta. Secara simpulan mayor tak bisa lepas dari perebutan lahan dan syahwat. Kasus-kasus tersebut ada yang beres secara administratif di meja hijau. Ada juga yang ngabuntut bangkong. Ada juga yang lenyap di tahap pengaduan. Banyak faktor penyebabnya. Bisa itu kokohnya pertahanan dari pihak yang dilaporkan dan lemahnya dari pihak pelapor. Bisa juga musabab ancaman.
Ada juga pihak yang dilaporkan tersebut kabur ke luar negeri dengan ragam alasan. Misalkan; mendadak ada tugas luar, cuti, menunaikan rukun agama yang dianutnya. Sampai ganti kewarganegaraan alias meminta suaka. Mengapa hal itu masih bisa terjadi sampai sekarang? Salah satu faktor utamanya demi menjaga Marwah. Baik Marwah lembaga pun Marwah keluarga atau Marwah perseorangan. Pertanyaannya adalah; sepenting itukah Marwah, sehingga kebenaran dalam hukum bisa diabaikan: Baik dilihat dari segi hukum negara pun hukum agama?
Tentu saja jika masih berkutat dalam koridor Marwah, sebagai pengecualiannya, maka selamanya sila ke 5 dari butir Pancasila yang berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” tak bisa ditegakkan. Maka banyak sudah pertanyaan turunannya tersebut, misalkan: Apa fungsi pemimpin? Apa fungsi agama? Apa fungsi hukum negara? Apa fungsi penegak hukum? Apa fungsi penasihat hukum? Apa fungsi berdaulat dalam mufakat? Dalam bingkai berbangsa dan bernegara itu, jika masih ada pengecualian?
Sementara selamanya kita tak bisa lepas dari catatan dua malaikat sampai tutup usia di bumi. Dan catatan itu berlanjut sampai di alam Yaumil Hisab. Betapa hidup bukanlah semiotika parkir yang bisa mundur dan balik arah. Melainkan kesunyataanya hakikat hidup itu tak ubahnya jalan tol yang harus terus melaju, tanpa bisa melawan arah. Siapa yang sampai duluan pada tujuan bukanlah siapa yang kali pertama memasuki jalan tol, bukan pula dilihat dari jatah usia. Melainkan pada perihal mengerti dan tidaknya alur hidup dan kehidupan kita di bumiNya ini. Hal ini mengingatkan penulis pada ungkapan:
“Man arofa nafsahu faqad arofa rabbahu” yang berarti “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya” sering dikaitkan dengan tasawuf Islam. Namun, ungkapan ini bukan hadis Nabi, melainkan perkataan Yahya bin Muadz ar-Razi, seorang ulama sufi. Selanjutnya, terkait dengan kandungan makna Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa ketika seseorang mengetahui bahwa sifat-sifat yang melekat di dalam dirinya merupakan kebalikan dari sifat-sifat Allah SWT. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya akan hancur, niscaya ia akan sadar bahwa Allah mempunyai sifat baqa’ (abadi). Begitu juga ketika ia mengetahui dirinya diliputi oleh dosa dan kesalahan, maka ia akan menyadari bahwa Allah bersifat Maha Sempurna dan Maha Benar. Selanjutnya orang yang mengetahui kondisi dirinya sebagaimana adanya, maka ia akan mengenal Tuhannya sebagaimana ada-Nya.
Adakah hubungannya dengan kasus-kasus krusial? Meminjam ungkapan dari Al Habib Umar Bin Muhammad Bin Salim Bin Hafidz yang berkata: “Hal yang paling mudah adalah mencari kesalahan orang lain. Namun, hal yang paling sulit adalah mengakui kesalahan diri sendiri.” Artinya, seberapa pentingkah diri kita melindungi diri dari kesalahan yang sudah dilakukan oleh diri sendiri jika memang pijakan kita berpatok pada iman dan taqwa? Bukankah di zaman Rosul sendiri seorang wanita ahli ibadah tetap dikatakan oleh Rosul sebagai ahli neraka karena memiliki perilaku buruk kepada manusia yang lainnya? Bukankah: “Perkara yang terbesar yang akan didapati oleh seorang hamba Allah ialah cinta, kasih sayang dan ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” [Kalam Al-Habib Umar bin Hafidz]. Nyata sudah, betapa sulitnya menyinkronkan mulut dan hati dalam aplikasi nyata di laku diri saban harinya.
Jauhnya, bukankah marketing dosa itu ada? Jika ada, mengapa dilakukan? Jika tidak ada, adakah yang lebih sayang pada diri selain pribadi? Sebagaimana cermin mutlaknya: Rasulullah saja yang jelas masuk surga masih sholat bagaimana dengan kita yang tidak jelas akan akhirat? Sudah adakah letak bekas tapak sujud kita? Letak tapak sujud kita itu bukan berarti ada titik hitam di kening, melainkan yang sudah mengerti pada hakikat perbuatan keji dan mungkar [baca Al-‘Ankabut : 45] yang harus kita cegah bermula dari laku diri kita. Bukankah; “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [QS Al-Fath : 29]
Jika memang itu sudah tertanam, sangatlah mustahil menghindar dari yang tidak nampak? Sebagaimana ketika berhubungan dengan Allah yang Maha Mengetahui. Karena Allah sudah mengampuni terlebih dahulu kekeliruan, kelupaan dan keterpaksaan hamba-Nya yang tanpa disengaja. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku kekeliruan, kealpaan (lupa) dan apa-apa yang dipaksakan atas mereka.” [HR. Imam Ibnu Majah]. Kini soalnya adalah: Banyak orang yang mengetahui kesalahannya tapi tidak pernah meminta maaf karena “gengsi”. Di permukaan, ia mencitrakan diri sebagai orang yang benar dan tidak bersalah, tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ia bersalah. Inilah kerumitan lain yang sukar diatasi oleh manusia. Karena orang di tipe ini tahu bahwa ia berdosa, tapi kegengsian menghalanginya untuk meminta maaf.
Sehingga ada juga tipe yang menganggap sepele kesalahannya pada orang lain. Kerumitan tipe ini tidak jauh berbeda dengan yang di atas. Perbedaannya terletak pada asalnya. Jika tipe yang kedua berasal dari “gengsi”, tipe ini berasal dari “anggapan tidak penting,” sehingga membiarkannya mengalir seperti air tanpa merasa perlu untuk mengucapkan kata “maaf”. Anggapan seperti ini bisa jadi karena pengetahuan agama yang kurang sehingga tidak tahu bahayanya membawa dosa “menyinggung orang lain” di akhirat.
Tipe berikutnya, belum tentu mendapatkan maaf. Ini kerumitan yang tidak bisa dipandang remeh. Tidak semua orang mudah memberi maaf, tapi paling tidak, bagi orang yang telah menyadari kesalahannya dan meminta maaf, ia mendapatkan pahala karena telah mengakui kesalahannya dan berusaha untuk memperbaikinya. Syekh al-Zarqani (1645-1710 M) dalam Syarh al-Muwatha’ mengutip ucapan Imam Ibnu Ruslan (w. 844 H): Jika salah satunya berusaha berdamai dengan lainnya tapi tidak diterima, maka orang yang berusaha berdamai itu diampuni.” (Syekh Muhammad al-Zarqani, Syarh al-Zarqânî ‘Ala Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyya, 2011, juz 4, h. 335).
Simpulannya, serumit apa pun kasus krusialnya, maka langkah pertamanya adalah kita harus mulai mengingat-ingat kembali kesalahan kita, lalu meminta maaf pada orang yang pernah kita sakiti satu persatu. Jika ada yang belum berkenan memaafkan, kita jangan berhenti memintanya sembari berdoa kepada Allah agar hatinya dilapangkan. Jadi, jangan sakiti sesamamu, mohon maaflah dan berilah maaf kepada siapapun yang memintanya. Laju, jika pun ada aset yang harus dikembalikan, kembalikanlah (korupsi misalkan). Namun jika asetnya tidak bisa dikembalikan, perihal keperawanan misalkan, bagaimana? [dmn]