Opini Bentang Sakati | Ruangatas.com
Menurut Wikipedia, Graffiti adalah tulisan atau gambar yang dibuat di dinding atau permukaan lain, biasanya sebagai bentuk ekspresi artistik, tanpa izin dan dalam pandangan publik. Sedangkan arti dari kata celoteh (nomina) berdasarkan KBBI adalah obrolan atau percakapan yang tidak keruan (seperti percakapan anak kecil); ocehan. Sejarah graffiti dimulai dari coretan sederhana di dinding hingga menjadi bentuk seni yang kompleks dan populer. Asal mula graffiti bisa ditelusuri ke zaman kuno, dengan contoh-contoh awal ditemukan di Roma kuno, Yunani, dan Mesir. Pada abad ke-20, graffiti modern mulai muncul di Amerika Serikat, khususnya di Philadelphia dan New York, dan kemudian berkembang pesat dengan munculnya budaya hip-hop.
Di Indonesia sendiri, graffiti mulai ada sejak zaman penjajahan dengan tulisan-tulisan liar, seperti ungkapan-ungkapan satir, yang mana jejak tersebut masih bisa dilihat dari film-film dokumenter sejarah. Paska kemerdekaan graffiti kembali hadir yang sifatnya meresahkan warga setempat, merasa kecolongan pada lingkungan tempat tinggalnya dengan tulisan-tulisan tak karuan. Kemunculannya graffiti ditandai dengan banyaknya klub-klub dan atau gank motor. Sampai pada akhirnya kehadiran graffiti menjadi seni yang diperhitungkan bahkan tak jarang bisa kita temui di dinding-dinding cafe atau stadion dan gedung-gedung olah raga yang mana kehadirannya selalu disandingkan dengan lukisan mural.
Secara benang merah coretan-coretan sederhana itu merupakan sebuah ungkapan yang bernama celoteh. Celoteh sendiri bukan berarti tanpa makna. Sebab di sisi lain mampu mewakili ungkapan perasaan baik bagi si pembuat pun golongannya. Sebagaimana kini banyak platform media sosial yang menyediakannya sebagai media khusus untuk ragam celotehan yang bisa dibaca oleh sesama pengguna dengan tagline cuitan atau kicauan. Jauhnya hal itu bisa diindikasikan sebagai “khutbah” bagi si pembuat dan kelompoknya. Secara etimologi, kata “khutbah” berasal dari bahasa Arab “khutbah” yang berarti pidato. Dan secara Pengertian Umum: Khutbah adalah pidato yang berisi nasihat, ajaran, ajakan atau seruan.
Sebagaimana yang masih sering kita baca sampai hari ini, baik di dinding-dinding pun di platform media sosial: Freedom, gantung koruptor, penjarakan maling, the power of gacrit, sudahkah anda korupsi hari ini?, Gibah itu cuci mulut utama, Islam tapi santai, dan lain sebagainya. Jika dibaca sepintas lalu, memang tidak ada makna yang tersirat, sebagaimana makna dari celoteh itu sendiri. Namun ketika kita renungkan dengan membedah perkata, atau dengan logika berbahasa, maka apa yang diungkapkannya tersebut menyimpan makna tersembunyi, bisa itu sindiran halus, nasihat dan paradoks. Pertanyaannya kini adalah, masihkah perlu graffiti dan celoteh diapungkan di ruang-ruang publik?
Tentu saja jawabannya antara ya dan tidak. Ya, jika melihat situasi dan kondisi yang tidak seimbang ini, maka hanya inilah satu-satunya media masyarakat untuk menyuarakan kegelisahannya. Di satu sisi tidak, jika merugikan dinding-dinding warga sekitar, meski menyimpan pesan krusial di dalamnya. Lantas dengan platform di media sosial sendiri bagaimana? Hal itu tentu saja lebih bijak disamping berjiwa ksatria, sebab identitas si pembuat terlihat nyata, meski masih ada yang memakai nama samaran dan menggunakan foto orang lain, guna identitasnya tersembunyi, tetapi hal itu bisa dengan mudah terbongkar dengan semakin canggihnya keamanan cyber yang sudah merata di seluruh dunia.
Peka dalam respon inilah yang harus disikapi oleh kita bersama sehingga akan melahirkan refleksi. Sebab graffiti dan atau celoteh itu posisinya kini bisa dikata sebagai alarm. Lantas bagaimana dengan celotehan yang dibuat oleh buzzer-buzzer digit? Plus dan minusnya tetap ada. Sebab ada buzzer-buzzer digit yang dibayar untuk menyuarakan seruan positif, ada juga buzzer-buzzer digit yang menyuarakan seruan negatif dan atau menutupi satu kasus lainnya. Namun hal itu pun sebenarnya bisa kita baca dengan mudah, tak bisa kecolongan begitu saja. Sebab itulah mengapa ayat pertama diturunkan dengan esensi utamanya iqra (baca, membaca)?
Dengan kita bisa membaca situasi dan kondisi, maka simpul renung bisa didapatkan dengan mudah. Sebagaimana esensi khutbah kini yang bertebaran baik secara on air pun off air. Kita bisa begitu mudahnya kala melihat pendakwah yang hanya membaca satu sudut pandang saja, tanpa melihat sudut pandang yang lain. Sehingga esensi rahmatan lil alamin menjadi timpang dalam pemaknaan. Sebab rahmatan lil alamin itu ibarat kita berada di sebuah perpustakaan besar dengan berderetnya ribuan buku. Jauhnya, jangan mencari kebenaran hanya dari satu sumber saja. Bacalah sebanyak mungkin. Dengarlah sebanyak mungkin. Maka kita akan mengenal kebenaran jauh lebih luas dari yang kita bayangkan.
Sebagaimana gambaran umumnya sebagai berikut. Katakanlah konsep kewalian dalam Islam secara umum adalah wali harus sesuai dengan Sunnah sedangkan di sisi lain wali bisa hadir dalam berbagai bentuk, sebab Allah memilih siapa saja yang Dia kehendaki. Kini soalnya adalah: Justru itu bagaimana mungkin seseorang yang pemikirannya yang bertentangan dengan ulama-ulama besar bisa disebut wali? Lantas pertanyaan baliknya adalah: Apa definisi wali itu menurut gambaran umum? Maka jawabannya adalah: Wali adalah kekasih Allah. Orang yang dekat denganNya, yang prilaku dan ucapannya, sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah bukan orang yang mendukung atas nama kemaksiatan dan toleransi. Itu jelas-jelas bidah.
Benar. Namun satu hal yang dilupakan adalah, bahwa Allah punya 99 asma, yang mana salah satu asmanya itu adalah Ya Bathin (Yang Maha Tersembunyi). Artinya, dan apakah kita tahu semua tentang seseorang itu (yang dijadikan wali oleh Allah), katakanlah: Semua detail tentang kehidupannya? Semua niat di balik tindakannya? Bukankah kita dilarang untuk berprasangka buruk dan menghakimi seseorang? Perdebatan teologis inilah yang kini masih sering mencuat di permukaan, tanpa lagi menengok perpustakaan dan ayat pertama yang diturunkanNya, yaitu dengan satu esensi; perihal iqra (baca, bacalah) dengan nama tuhanMu. Yang mana Tuhan itu Maha Kehendak. Laju, siapakah diri kita yang berani mendefinisikan bahwa kebenaran itu hanya bisa dilihat dari satu sisi?
Sementara rasul sendiri bersabda: “Saya wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, di antara kalian yang hidup setelah ini akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafa Al Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigihlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bidah adalah sesat.” [HR. Daud dan Tirmidzi, dia berkata :hasan sahih].
Mayornya menerjemahkan hadits langsung fokus pada “perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bidah adalah sesat.” Padahal sebelum fokus ke sana ada yang harus dihayati terlebih dahulu, yaitu: Sunnah qouli (ucapan), atau Sunnah fi’li (pagawean), atau Sunnah taqriri (penetapan/sikap). Jika tidak memahami tiga Sunnah di atas maka tidak akan mengerti maksud bidah yang sebenarnya itu seperti apa. Jauhnya, tidak akan ada peluang sedikit pun buat Rasul Saw., untuk memerintahkan berijtihad. Ringkasnya: Jangan sekadar fokus pada istilah “setiap yang baru itu bidah dan bid’ah itu sesat”, lain halnya kalau bahasannya fokus pada penekanan kalimat “‘alaikum bisunnatii (‘berpeganglah pada sunnahku) dan pada kalimat kalimat “wa sunnati khulafaair-roosyidiin (Sunnah para pengganti yang mendapatkan petunjuk). Artinya jika paham akan hal itu maka akan ditemukan ada bidah yang tetap patuh pada Rasul Saw., dan Sunnah Khulafaair Rosyidin.
Jadi intisari dari isi hadist itu adalah setiap yang baru, selama ia tidak menyalahi Sunnah nabi dan para penggantinya, maka hal tersebut boleh. Itulah yang disebut ushul fiqh yang gunanya itu supaya bisa utuh memahami Sunnah. Simpulnya adalah; mengartikan bidah itu secara esensi adalah: sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah, bukan “sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rasul Saw”. Artinya, dari dua patokan tersebut pun sudah jelas berbeda dalam konteks pemahamannya. Sebagai perbandingannya; “apakah hukum dzikir berjamaah; apakah bertentangan dengan Sunnah?” Sementara dalam majelis rasul, semasa beliau hidup sudah memberikan contohnya. Lantas kenapa sekarang tidak boleh berdzikir berjamaah?
Kembali pada pokok bahasan: antara graffiti dan celoteh yang kini marak di media sesial, katakanlah: Secara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024. UU ITE ini mengatur berbagai aspek terkait kegiatan di internet, termasuk penggunaan media sosial, dan berisi ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang, serta sanksi yang dapat dikenakan. Bisa terkena pidana. Namun secara akal sehat, antara graffiti dan celoteh itu mengandung khutbah dan atau mengandung makna warning dalam jejak muhasabah dan tabayun yang harus kita sikapi dalam jejak baca. Dan pada kesunyataanya, salah satu fungsi dari diksi baca itu adalah: “Tidak sampai ke sana oleh orang yang belum ke sana”, sebagaimana ungkapan Uwa Jejen Zainal Abidin Baazul Asyhaab Sukabumi., Murid sekaligus Wakil Talkin Abah Anom. Waspadalah! [bs]