Zaman Misuh: Opini Bentang Sakati

Ref. Gambar Ahmad Muttaqin Alim/FB

Opini Bentang Sakati | Ruangatas.com

Pada dasarnya, letak sisi misteri itu ada pada persoalan sepele. Sebagaimana peribahasa berkata: gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Artinya, sesederhana apa pun persoalannya, akan menjadi kompleks ketika melibatkan perasaan. Apalagi jika menyangkut keyakinan. Seperti itulah adanya ketika konvensi itu pecah di masyarakat, sehingga menjadi ruang-ruang sublim yang menjadi katarsis bagi akal dalam laku dirinya, yang mana pada kesunyataanya itu menjadikan benang merah bagi yang sama merasakan hal tersebut, sehingga terjadilah sebuah gerakan masal yang masif dan terstruktur.

Bacaan Lainnya

Sebagaimana fenomena pada sebuah campaign atau tagline atau apalah namanya, intinya sebuah seruan yang disebarluaskan hingga kini. Gegara ada kategori masjid sunah jadi ada masjid mubah yang mana beredarnya gambar bagan  tersebut kembali mencuat ke permukaan, apakah sekadar untuk meredam isu-isu besar lainnya, sebagaimana biasanya sehingga kasus-kasus besar itu ngabuntut bangkong pada akhirnya? Terang dan jelas ini adalah gerakan perlawanan yang memang harus ada pelurusan dari segenap elemen bangsa, khususnya para kaum cendikiawan dalam ranah ulama, sebagai pewaris mutlak nabi.

Ada pun bagan atau kriteria masjid sunnah dan masjid mubah tersebut bisa dilihat dalam gambar di atas (pertama beredar tahun 2022). Ironisnya, kini seruan akan ciri-ciri masjid sunnah kembali menyebar. Pertanyaannya: kalau tidak masuk kategori masjid sunnah, bagaimana? Apakah masjid tersebut termasuk ke dalam kategori masjid makruh? Masjid mubah? Atau masjid apa? Mencermati fenomena isu di media sosial, hal ini menjadi satu wacana yang menarik dari beredarnya kriteria gambaran masjid sunnah tersebut, maka lahirlah kriteria gambaran masjid mubah salah satunya dengan mengedit isi bagan dan menggantinya. Mencermati hal tersebut, sebenarnya ada banyak renungan dan pertanyaan dalam mengamati perihal kategori masjid sunnah, diantaranya:

Mengamati ciri-ciri masjid sunnah telah mengalami degradasi identitas dan bahkan secara ironi direduksi menjadi masjid yang “tidak-tidak”. Tidak boleh ini. Tidak boleh itu. Sebenarnya tidak menjadi masalah besar, kalau memang dikhususkan untuk kelompok tertentu saja dan itu sah-sah saja. Baru jadi masalah itu justru karena pemakaian diksi “sunnah”-nya. Klaim penggunaan diksi inilah yang sejatinya cukup mengganggu. Sebab penggunaan klaim ini seolah-olah menunjukkan bahwa masjid yang lain jadi tidak sunnah. Kenapa tidak pakai istilah “masjid salaf” saja, yang sesuai dengan identitas penggagasnya? Kenapa harus sembunyi-sembunyi berlindung di bilik suatu klaim sunnah?

Lanjutannya, kalau memang isi kampanye tersebut tidak ada yang salah, kenapa mesti malu dengan identitas diri? Jauhnya salaf yang mana? Maksudnya jika merujuk pada perkataan ustadz Adi Hidayat (UAH) yang dilansir dari youtube Wisesa Advertising, UAH berkata; salaf itu orang yang hidup di kisaran abad ke 2 Hijrah. Batasannya 200 tahun hijrah. Ini salaf namanya. Di atas ini namanya Khalaf.

Pengikut ini dinamakan salafi. Imam Safi’e lahir tahun 150 hijrah berarti salaf. Imam Abu Hanifah wafat tahun 150 hijrah berarti salaf juga, imam Malik lahir 93 hijrah berarti salaf. Imam Ahmad lahir 163 hijrah, berarti salaf. Artinya ustad salaf itu yang lahir di sekitaran tahun 200 hijrah. Kalau saya itu ustadz Khalaf. Kalau saya disebut ustadz salaf berarti, saya ustadz yang diawetkan sampai sekarang. Laju pertanyaan turunannya adalah; salaf yang manakah sebagai rujukannya, sampai terlahir-nya ada kriteria masjid Sunnah?

Terlepas dari hal tersebut; sebenarnya, diksi masjid secara filosofis itu mengandung makna yang lebih luas. Sebagaimana sabda nabi: “Bumi itu telah dijadikan bagiku mesjid dan pembersih. Barang siapa dari umatku mendapat waktu shalat, hendaklah dia shalat [di situ].” [HR. Bukhari]. Musabab itulah kenapa rasul pernah mengungkap: “Ju’ilat lanal ardu kulluha masjidan (semua tanah Allah itu hakikatnya Masjid”. Hal itu mencerminkan bahwa shalat itu boleh dilakukan di mana saja, apalagi di rumah, supaya anak bisa menyaksikan sujud dan beribadah, kalau semua dilakukan di masjid sedangkan di rumah hanya makan, minum kopi saja, maka kenangan dalam keluarga kurang baik.

Sebagaimana kaidah “Al-Masyaqqah Tajlib At-Taysir” (kesulitan mendatangkan kemudahan) dalam fiqih Islam berarti bahwa jika seseorang menghadapi kesulitan dalam menjalankan suatu hukum, maka ia bisa diberikan keringanan atau kemudahan dalam melaksanakan kewajibannya. Kaidah ini menekankan bahwa Allah SWT tidak membebani umat manusia dengan beban yang berlebihan dan selalu memberikan kemudahan bagi mereka [Lihat QS. Al Baqarah ayat 184-185]. Intinya, mi’raj itu wushul, sampainya kita kepada Allah itu bukan naik dari bawah ke atas secara hissi, sebab Allah itu tidak terkait ke arah atas, bawah, kanan, kiri depan dan belakang.

Sepertihalnya kenangan nabi ketika sholat malam itu di rumah sehingga Sayyidah Aisyah mempunyai kenangan: “Hatta waromah qodamahu (sehingga kaki nabi bengkak)” artinya, seandainya nabi sholat malam di masjid, maka Sayyidah Aisyah tidak akan memiliki kenangan doa-doa sholat malam. Hal ini dipertegas oleh perkataan nabi sendiri: “Semua bumi Allah adalah saksi kita ketika bertemu Allah”. Maka dulu di zaman Nabi Musa istilahnya “Waj’alu buyutakum qiblatau waaqimussholat” jadikan rumah kamu sebagai kiblat sholat (sebagai tempat ibadah). Musabab itulah, kenapa nabi saw., sendiri berkata bahwa Al Qur’an itu mayor isinya tentang riwayat Musa as?

Sebab, kisah nabi Musa as., dalam Al-Qur’an memberikan pelajaran tentang pentingnya keimanan, keteguhan hati, dan perjuangan dalam menegakkan kebenaran. Selain itu, kisah dan kaumnya menunjukkan bagaimana Allah memberikan mukjizat kepada hamba-Nya dan bagaimana Allah selalu memberikan pertolongan kepada orang yang beriman. Simpulnya; nabi Musa as., disebutkan sebanyak 136 kali dalam Al-Qur’an, dan kisahnya menjadi salah satu kisah yang paling sering diceritakan. Al-Qur’an menceritakan berbagai aspek kehidupan nabi Musa, as., mulai dari awal kehidupannya hingga perjuangannya melawan Firaun dan mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah kepadanya.

Kembali ke pokok bahasan: “Ju’ ilat lana al-ardh kulluha masjidan,” kata Nabi. Bumi itu masjid. Masjid itu tempat sujud. Jadi, segala tempat yang bisa dipakai untuk bersujud, itulah masjid. Jika rumah dikategorikan sebagai masjid, maka rumah muslim kini tidak sesuai dengan kriteria masjid sunnah, sebab ada banyak terpajang foto, kaligrafi dan hal atau benda lainnya yang bisa dikata bidah dan atau haram, hal itu pun berdasar pada pemahaman tertentu. Musabab itulah mari beralih ke fokus masjid yang sebenarnya dalam arti sudah resmi bisa dikatakan sebagai bentuk bangunan yang dinamakan masjid dan atau tempat atau ruangan resmi yang berfungsi secara fokus khususnya guna untuk menjalankan ibadah saja.

Langsung saja pada contoh mutlaknya di Masjid Nabawi, sebagai perbandingannya. Dalam masjid sunnah dikatakan:  tidak ada kuburan di dalam masjid. Kenapa di dalam masjid Nabawi ada makam Rasul Saw, dan para sahabatnya? Kemudian, tidak ada hiasan & ukiran kaligrafi Al Qur’an di dinding masjid. Kenapa di taman rauddah & mihrabnya nabi begitu banyak bertebaran kaligrafi di dinding-dindingnya, bahkan seluruh gerbang pintu masuknya ke dalam Masjid Nabawi pun bertuliskan kaligrafi. Kemudian, tidak ada qunut subuh. Kenapa di masjid Nabawi ada qunut subuh juga? Kemudian, tidak ada dzikir berjamaah yang dipimpin imam. Kenapa di masjid Nabawi masih ada, bahkan bukan hanya paska shalat fardu saja, paska shalat Jum’at pun masih ada dzikir berjamaah yang dipimpin imam. Tidak ada tradisi bersalaman setelah shalat. Kenapa di masjid Nabawi masih ada hal itu di antara mamum. Bahkan sebelum duduk kala menanti shalat tiba, selalu bersalaman pada makmum kiri kanan, depan dan belakangnya?

Kemudian, tidak ada puji-pujian setelah adzan. Jelas sebelum dua hal dilaksanakan, yaitu salat sunnah dan berdoa. Sebagaimana haditsnya: “Jika kalian mendengar orang adzan, maka jawablah seperti apa yang dikatakan muadzin, lalu bershalawat kalian kepadaku. (HR Muslim)” Maka puji-pujian itu sudah terpenuhi. Berikutnya: Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Doa tidak akan ditolak antara adzan dan iqamah.” (HR Abu Dawud). Dan karena keterbatasan halaman, plus terlalu banyak keutamaan di tiap shalat rawatib, maka sila cari haditsnya.

Lantas adakah di masjid Nabawi dikumandangkan tentang puji-pujian? Jelas ada, sebagaimana; Imam Ibnu Hajar al-Haitami, dalam kitab Fatawa Al- Fiqhiyyah Al-Kubra mengatakan: “Para muadzin sungguh telah melakukan pembaharuan, yakni melantunkan bacaan shalawat dan salam kepada nabi setelah adzan shalat fardlu, kecuali di waktu subuh dan di waktu hari jum’at, mereka melantunkan shalawat tersebut sebelum adzan, dan kecuali pada waktu maghrib, mereka tidak melakukannya (pujian shalawat) karena waktu yang terbatas”. Sebagaimana yang sering kita dengar di speaker masjid Nabawi: “Assolatu Wassalam Alaih … ” meski utuhnya termasuk syair (pujian), tapi termasuk dalam bacaan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Sebab frasa ini merupakan ekspresi yang digunakan untuk menyampaikan salam dan rahmat Allah kepada Nabi Muhammad. Tegasnya, frasa ini memiliki arti “Semoga Allah memberikan rahmat dan salam kepada (Nabi Muhammad)”.

Hal ini dipertegas oleh pendapat Ibnu Abidin dalam kitab “Hasiyah” yang merujuk pada pendapat Imam as-Sakhawi. Dalam kitab “taj al-jami” ada dijelaskan bahwa: “Membaca shalawat setelah adzan adalah sunah, baik bagi orang yang adzan maupun orang yang mendengarkannya, dan boleh mengeraskan suara. Pendapat inilah yang didukung oleh kalangan madzhab Syafi’iyah, dan kalangan madzhab Hanbali.” yang masih tidak menyalahi Sunnah sebab nabi sendiri banyak mengajarkan perihal shalawat, serta memberikan lafadz bacaan shalawat tersebut secara langsung kepada para sahabatnya, dalam semasa hidupnya.

Kemudian, tidak digunakan perayaan maulid nabi dan bidah lainnya. Sebenarnya, perayaan maulid Nabi SAW. sudah dilakukan masyarakat muslim sejak tahun kedua Hijriah. Catatan tersebut merujuk pada kitab “Wafa’ul Wafa bi Akhbar Daril Mustafa” karangan Nuruddin Ali. Disebutkan, Khaizuran atau Jurasyiyah binti ‘Atha (170 H/786 M) yang merupakan istri Khalifah al-Mahdi bin Mansur al-Abbas juga ibu dari Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan al-Rasyid datang ke Madinah. Khaizuran memerintahkan agar penduduk Madinah mengadakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW., di Masjid Nabawi. Sampai kini sebenarnya perayaan itu masih dilaksanakan dengan memperbanyak membaca Al Qur’an, yang diselingi meriwayatkan sejarah dalam kisah perjalanan hidup rasul sampai wafatnya yang menjadi suri teladan dalam laku hidupnya untuk dijadikan renungan hikmah bagi yang mendengarkannya. Bahkan ada perayaan yang begitu meriah yang digelar oleh masyarakat di Hijaz, Arab Saudi bagian barat.

Hal ini senada dengan ulama Arab Saudi Dr. Qais bin Muhammad Al-Sheikh yang dilansir dari Saudi Gazette, 15 April 2022 lalu yang berpendapat tidak ada salahnya bagi seorang muslim untuk merayakan hari raya apa pun, seperti ulang tahun dirinya sendiri atau orang yang dicintainya. Dewan Ulama Senior Arab Saudi itu mengatakan, hal mendasar dalam perayaan-perayaan di atas adalah adanya kebolehan dan bukan larangan berdasarkan teks agama apa pun. Hal yang sama berlaku untuk perayaan hari jadi, hari-hari pencapaian seseorang atau anak-anak, meraih gelar atau lulus dari universitas, dan hari-hari lainnya, tegasnya. Meski Kerajaan Arab Saudi secara resmi tidak merayakan maulid Nabi.

Sebagai penegas mari kita simak pada hadits rasul ini: “Saya wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, di antara kalian yang hidup setelah ini akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafa Al Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigihlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bidah adalah sesat.” [HR. Daud dan Tirmidzi, dia berkata :hasan sahih].

Mayornya menerjemahkan hadits langsung fokus pada “perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bidah adalah sesat.” Padahal sebelum fokus ke sana ada yang harus dihayati terlebih dahulu, yaitu: Sunnah qouli (ucapan), atau Sunnah fi’li (pagawean), atau Sunnah taqriri (penetapan/sikap). Jika tidak memahami tiga Sunnah di atas maka tidak akan mengerti maksud bidah yang sebenarnya itu seperti apa. Jauhnya, tidak akan ada peluang sedikit pun buat Rasul Saw., untuk memerintahkan beijtihad. Ringkasnya: Jangan sekadar fokus pada istilah “setiap yang baru itu bidah dan bid’ah itu sesat”, lain halnya kalau bahasannya fokus pada penekanan kalimat “‘alaikum bisunnatii (berpeganglah pada sunnahku) dan pada kalimat kalimat “wa sunnati khulafaair-roosyidiin (Sunnah para pengganti yang mendapatkan petunjuk). Artinya jika paham akan hal itu maka akan ditemukan ada bidah yang tetap patuh pada Rasul Saw., dan Sunnah Khulafaair Rosyidin.Jadi intisari dari isi hadist itu adalah setiap yang baru, selama ia tidak menyalahi Sunnah nabi dan para penggantinya, maka hal tersebut boleh. Itulah yang disebut ushul fiqh yang gunanya itu supaya bisa utuh memahami Sunnah.

Jadi mengartikan bidah itu secara esensi adalah: sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah, bukan “sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rasul Saw”. Artinya, dari dua patokan tersebut pun sudah jelas berbeda dalam konteks pemahamannya. Sebagai perbandingannya; “apakah hukum dzikir berjamaah; apakah bertentangan dengan Sunnah?” Sementara dalam majelis rasul, semasa beliau hidup sudah memberikan contohnya. Lantas kenapa sekarang tidak boleh berdzikir berjamaah?

Satu hal yang sebenarnya harus kita waspadai perkara bidah itu, yaitu: sebelum mengawali pengajian dan atau kajian diawali terlebih dahulu oleh gibah, atau oleh sebuah aktifitas yang menimbulkan syahwat dan lainnya. Termasuk di dalamnya itu menggambarkan Allah itu punya rupa seperti makhluk. Jangankan sekadar menggambarkan, membayangkan Allah pun sudah bertentangan dengan sunnah, sebab Rasul Saw,.sendiri melarang untuk membayangkan dzat Allah. Dan harus jujur diakui bahwa hal ini masih sering terjadi di sekitar kita, yaitu bidah sayyi’ah. [bs]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *