Opini Bentang Sakati | Ruangatas.com
Di zaman kesempurnaan agama ini, semuanya berubah. Satu-satu tradisi digantikan dengan tradisi baru. Pergeseran nilai ini menjadi suatu kewajaran dan nyaris tidak ada perdebatan di dalam masyarakatnya. Barangkali hal ini terjadi musabab pergeseran nilainya tidak sekaligus terjadi. Namun ada satu wacana yang tak pernah berubah, yaitu perihal halal dan haram, yang mana tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama itu sendiri. Sampai melahirkan perdebatan panjang. Ada apa dengan halal dan haram?
Dalam agama Islam, halal berarti segala sesuatu yang diperbolehkan atau sah untuk digunakan atau dilakukan, terutama dalam konteks makanan, minuman, dan kegiatan sehari-hari. Sebaliknya, haram berarti sesuatu yang dilarang atau tidak diperbolehkan. Halal juga bisa merujuk pada cara memperoleh sesuatu, seperti makanan atau barang. Ada pun halal dalam konteks cara memperoleh itu merujuk pada cara seseorang mendapatkan sesuatu, seperti uang atau barang. Uang yang diperoleh dengan jalan yang benar dan halal, seperti dari hasil kerja atau bisnis yang sah, dianggap halal. Sebaliknya, uang yang diperoleh dengan cara yang tidak benar, seperti korupsi atau mencuri, dianggap haram.
Halal dalam konteks makanan itu merujuk pada yang diperbolehkan untuk dikonsumsi berdasarkan syariat Islam. Ini termasuk berbagai jenis makanan, baik dari tumbuhan maupun hewan, asalkan tidak ada larangan khusus dalam Al-Quran atau Hadis. Misalnya, daging hewan yang disembelih dengan benar (menurut cara Islam) dianggap halal, sedangkan daging babi haram. Dan pengertian halal dalam konteks kegiatan itu mencakup berbagai kegiatan atau perbuatan yang diperbolehkan untuk dilakukan, seperti berdagang dengan jujur, bekerja dengan benar, dan sebagainya. Contohnya, berdagang dengan cara menipu atau mengambil hak orang lain dianggap haram, karena perbuatan tersebut tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
Sedangkan haram secara bahasa berarti “terlarang” atau “tidak diperbolehkan”. Dalam konteks agama Islam, haram adalah segala sesuatu yang dilarang oleh syariat, dan mengerjakannya akan mendatangkan dosa, sedangkan meninggalkannya akan mendatangkan pahala. Hukum haram ini menjadi lawan dari halal, yang berarti sesuatu yang dibolehkan dan bahkan dianjurkan. Namun secara elaborasi, penjabaran haram dapat disimpulkan sebagai berikut:
Secara hukum, definisi haram adalah salah satu dari hukum taklifi, yaitu ketentuan Allah SWT yang mengatur perbuatan manusia. Hal ini berhubungan erat dengan mengerjakan sesuatu yang haram akan mendatangkan dosa, sedangkan meninggalkan perbuatan haram akan mendatangkan pahala. Ada pun musabab dari pengharaman suatu perbuatan atau barang oleh syariat Islam itu bertujuan untuk menjaga kesucian dan kemuliaan manusia, serta untuk menghindari kerusakan dan bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh perbuatan atau barang tersebut.
Sebagaimana contoh dalam perbuatan haram itu meliputi; berzina, membunuh, durhaka kepada orang tua, dan perbuatan-perbuatan yang dilarang secara jelas dalam Al-Quran dan Hadis. Kemudian, contoh barang yang haram itu meliputi; bangkai, darah, daging babi, minuman keras, dan barang-barang yang diperoleh melalui cara yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Sebagaimana Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban tersebut salah satunya tersimpan dalam hadits riwayat Ad Daruquthni dan lainnya: Dari Abu Tsa’ labah Al Khusyani Jurtsum bin Nasyir radhiyallahu ‘anhu dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakan kewajiban itu. Dia telah menetapkan batasan-batasan hukum maka janganlah kalian melampuinya. Dia telah mengharamkan beberapa hal maka janganlah kalian melanggarnya. Dan Allah subhanahu wa ta’ ala juga mendiamkan beberapa perkara sebagai bentuk rahmat (kasih sayang) bagi kalian bukan karena lupa, maka janganlah kalian membahasnya (mencari–cari hukumnya).” Secara esensi hadits ini sohih.
Sedangkan dalam penjabarannya hadits tersebut menyimpan empat point penting, yaitu: Jangan mengabaikan kewajiban yang fardlu. Apa yang sudah pasti dalam hukum (halal-haram), tidak boleh dilampaui (ditambah-tambahkan). Jangan melanggar apa yang dilarang (diharamkan). Dan jangan gegabah dalam menentukan sesuatu yang belum jelas definisinya dalam hukum (halal-haram). Empat kandungan hadits ini dipertegas dengan QS Al An’am: 21 :”Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan suatu kebohongan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak beruntung.”
Penjelasan ayat tersebut dipertegas dengan QS. Yunus: 69-70: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung. ‘(Bagi mereka) kesenangan (sesaat) ketika di dunia, selanjutnya kepada Kamilah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka azab yang berat, karena kekafiran mereka.”
Sebagai contoh kasus, kita sering melihat bertebaran di medsos perihal poster (lihat gambar ilustrasi) pun sering mendengar dakwah di mimbar-mimbar masjid yang mana selalu dibenturkan antara halal dan haram. Contoh mutlaknya seperti gambar di atas (lihat gambar ilustrasi). Bahkan dengan paparan dan bahasan yang meyakinkan sebagaimana yang tertulis dalam laman FB dengan link ini (sila baca). Betapa begitu mudahnya menyimpulkan suatu perkara. Bahkan sampai kini di mimbar-mimbar off air masih saja ada yang berani mengatakan bahwa tiga kriteria tersebut berdasarkan qoul ulama. Laju, qoul ulama yang manakah yang di maksud pendakwah tersebut? Apakah ulama Salaf atau ulama Khalaf? Kenapa pula tidak memakai dalil dalam pembedahnya? Bukankah hal tersebut sudah mutlak termasuk bid’ah? Kemudian, pertanyaan lanjutannya adalah; di manakah letaknya rahmatan lil’alamin itu?
Bukankah: 1. Hukum utama Islam (quran & hadits) itu tidak pernah menyebut secara pasti hukum tentang rokok. “Lagipula, jika memang rokok itu haram karena bersandar pada dalil keumuman makna dari ayat “Wa Laa Tulquu biaidiikum ilat-Tahlukah” yang artinya: “janganlah kalian menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan/kerusakan” (QS Al-Baqarah. 195), maka niscaya semua makanan yang bisa merusak itu juga menjadi haram, dan itu jumlahnya begitu banyak. Dan jika dalil dari ayat ini diberlakukan secara lebih luas, maka niscaya kita diharamkan pula untuk mengkonsumsi makanan berminyak, atau makanan yang mengandung gula, dan lainnya.
Lagipula, jika kita baca keseluruhan ayat tersebut secara utuh maka kita akan menemukan bahwa maksud dari ayat di atas bukanlah secara khusus membahas halal dan haramnya makanan ataupun minuman, melainkan ayat yang membahas mengenai infaq, jihad, dan berlaku baik.
2. Ada perbedaan mengenai definisi bid’ah di antara kita sebagai ummat Islam. Simpulnya adalah; mengartikan bidah itu secara esensi adalah: sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah, bukan “sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rasul Saw”. Artinya, dari dua patokan tersebut pun sudah jelas berbeda dalam konteks pemahamannya.
3. Para ulama sepakat mengenai hukum haramnya riba. Cuma Tidak semua sepakat mengenai hukum haramnya bunga bank. Kenapa demikian? Karena sistem keuangan kita saat ini sudah tidak punya nilai. Berbeda dengan zaman dahulu, kala mata uang itu memakai bahannya dari emas dan perak. Maka: “Jika bunga bank itu haram, sementara uang Fiat sendiri yang kita gunakan hari ini memiliki nilai yang fluktuatif dan cenderung semakin lama nilainya semakin berkurang, lalu ketika kita meminjam harus membayar dengan nilai yang sama saat jatuh tempo, maka sungguh kita telah terjerumus pada orang-orang yang memakan harta dengan cara yang batil.” Bukankah dalam QS An-Nisa ayat 29 juga disebutkan: “janganlah kalian memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku saling rela dari kalian.”
Bukankah hal ini sudah jelas dalam Al Quran sendiri: “Laa tuhilluu maa harromllaahu” (janganlah kamu halalkan apa yang telah diharamkan Allah) dan “Laa tuharrimuu maa ahallallaahu” (janganlah kamu haramkan apa yang telah dihalalkan Allah). Saripatinya adalah: Saat ini tidak ada ketentuan yang jelas dalam Al-Quran dan Hadits mengenai rokok dan bunga bank. Wajar saja bila ada perbedaan pendapat. Dan juga sangat penting siapa orang yang tepat untuk perbedaan pendapat tersebut. Namun yang pasti, ulama yang memahami konsep istinbath (penetapan) hukum, niscaya akan lebih toleran terhadap perbedaan-perbedaan tersebut. Karena mereka menyadari bahwa itu semua merupakan hasil ijtihad dan tidak seorang pun mengetahui siapa yang paling benar menurut pendapatnya. Hal ini bukanlah perhelatan dalam debat.
Terang dan jelasnya itu adalah; bukankah orang yang sulit dinasihati itu orang yang bodoh dan orang yang setengah mengerti, tapi keukeuh peuteukeuh dalam pendiriannya? Bukankah orang yang sulit untuk dinasihati itu orang yang tidak mengerti definisi bid’ah yang sabenerna itu bagaimana? Serta orang yang sulit dinasihati itu orang yang tidak mengerti menentukan hukum satu perkara itu harus bagaimana, akhirnya ya seperti itu tanpa disadari mutlak sebagai pelaku bid’ah. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. An-Nur : 11 : “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah kelompok di antara kamu (juga). Janganlah kamu mengira bahwa peristiwa itu buruk bagimu, sebaliknya itu baik bagimu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Adapun orang yang mengambil peran besar di antara mereka, dia mendapat azab yang sangat berat.”
Simpul intinya itu adalah; perluas wawasan, perluas ilmu, perluas pengetahuan: jangan setengah-setengah dalam memperdalam, jangan sampai hapal sekadar satu hadits saja sudah berani mencap sesat atau bid’ah pada yang lain. Bukankah ketika langsung menyoroti sebuah hadits langsung fokus pada redaksi aslinya;“perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bidah adalah sesat.” Padahal sebelum fokus ke sana ada yang harus dihayati terlebih dahulu, yaitu: Sunnah qouli (ucapan), atau Sunnah fi’li (pagawean), atau Sunnah taqriri (penetapan/sikap). Jika tidak memahami tiga Sunnah di atas maka tidak akan mengerti maksud bidah yang sebenarnya itu seperti apa.
Jauhnya, tidak akan ada peluang sedikit pun buat Rasul Saw., untuk memerintahkan berijtihad. Ringkasnya: Jangan sekadar fokus pada istilah “setiap yang baru itu bidah dan bid’ah itu sesat”, lain halnya kalau bahasannya fokus pada penekanan kalimat “alaikum bisunnatii’ berpeganglah pada sunnahku) dan pada kalimat kalimat “wa sunnati khulafaair-roosyidiin (Sunnah para pengganti yang mendapatkan petunjuk). Artinya jika paham akan hal itu maka akan ditemukan ada bidah yang tetap patuh pada Rasul Saw., dan Sunnah Khulafaair Rosyidin.
Terang dan jelas, jadi teringat hadits rasul yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal: “Akan datang suatu masa dimana jumlah pendakwah lebih banyak dari jumlah orang yang memahaminya” Adakah termasuk kita di dalamnya? [bs]