Antara Nubuah dan Hadits: Opini Bentang Sakati

Masjid Nabawi komplek Raudah [Taman Surga] gerbang makam Rasulullah Saw/Dok. Bentang Sakati

Opini Bentang Sakati | Ruangatas.com

Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya mendefinisikan dari dua makna kata tersebut. Nubuwwah dalam Islam berarti kenabian atau keadaan di mana seseorang menjadi nabi. Nabi adalah individu yang dipilih Allah untuk menerima wahyu dan menyampaikan pesan-Nya kepada umat manusia. Dengan kata lain, nubuwwah adalah pemberian khusus dari Allah kepada hamba-Nya untuk menjadi duta dan pembimbing umat manusia. Lebih detailnya:

Bacaan Lainnya

Nubuwwah sebagai Pangkat: Nubuwwah adalah pangkat atau posisi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, tanpa usaha dari hamba tersebut, melalui pemberian wahyu. Nubuwwah sebagai Risalah: Para nabi membawa risalah atau pesan dari Allah untuk membimbing manusia menuju jalan yang benar. Nubuwwah sebagai Anugerah: Nubuwwah adalah anugerah dari Allah kepada hamba-Nya yang sempurna (insan kamil). Nubuwwah dalam Aqidah: Nubuwwah merupakan bagian dari rukun iman dalam Islam, yaitu iman kepada para nabi dan rasul. Nubuwwah dan Wahyu: Nubuwwah berkaitan erat dengan wahyu, yaitu pesan atau perintah yang diturunkan Allah kepada para nabi. Nubuwwah dan Tanda-Tanda Khusus: Dalam beberapa kasus, nubuwwah juga diasosiasikan dengan tanda-tanda khusus, seperti khitam al-nubuwwah (stempel kenabian) pada punggung Nabi Muhammad SAW.

Singkatnya, nubuwwah adalah keadaan di mana seseorang menjadi nabi, yang diartikan sebagai hamba pilihan Allah yang menerima wahyu dan menyampaikan risalah kepada umat manusia. Lantas, bagaimana dengan hadist? Hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik itu perkataan, perbuatan, ketetapan, atau keadaan yang disandarkan kepada beliau. Istilah ini juga merujuk pada catatan tradisi atau ucapan Nabi Muhammad, yang menjadi sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Lebih Detil:

Dalam Makna Bahasa: Hadis dalam bahasa Arab secara harfiah berarti “laporan” atau “kisah tentang suatu peristiwa”. Dalam Makna Istilah: Dalam ilmu hadis, hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik itu sabda, perbuatan, taqrir (ketetapan), atau sifat. Dalam Sumber Hukum: Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Dalam Hubungan dengan Sunnah: Hadis sering dihubungkan dengan sunnah, yang merujuk pada contoh atau teladan hidup Nabi Muhammad. Dalam Fungsi Hadis: Hadis berfungsi untuk menjelaskan dan memperluas pemahaman tentang Al-Qur’an, serta menjadi pedoman hidup bagi umat Islam. Dalam Ilmu Hadis: Ilmu hadis adalah ilmu yang mempelajari tentang pengumpulan, penelitian, dan penafsiran hadis. Dalam Tingkatan Hadis: Hadis memiliki tingkatan, seperti sahih (benar), hasan (baik), dan dhaif (lemah).

Sedangkan Dalam Contoh: Hadis tentang shalat, yang menjelaskan tata cara dan waktu shalat. Hadis tentang zakat, yang menjelaskan kewajiban dan tata cara pemberian zakat. Hadis tentang silaturahmi, yang menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dengan keluarga dan teman. Dan lainnya. Lantas adakah benang merah antara nubuah dan hadits? Jelas, hanya terlahir dari perkataan dan perilaku seorang rasul. Lantas apa yang ingin dibahas dalam tulisan ini? Perihal hadits yang membahas kuburan. Fokus hadistnya adalah sebagai berikut: “Laknat Allah atas Yahudi dan Nashara! Mereka menjadikan kuburan Nabi-nabi sebagai tempat ibadah.” [HR. Bukhari]. Redaksi hadist ini jelas mencerminkan sebuah contoh untuk tidak ditiru.

Lantas bagaimana dengan masjid yang di dalamnya ada kuburan, sebagaimana masjid Nabawi? Mengenai kuburan dijadikan masjid, sabenarnya ada hadits Bukhori yang meriwayatkan bahwa Rasul pernah berdoa; “Ya Allah janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah, Laknat Allah sangat pedih bagi kaum yang menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid.” Dalam riwayat lain disebutkan, dari Abu Hurairah, dia bercerita, Rasulallah Shalallahu ‘alihi wa sallam pernah bersabda: “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala. Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid.” [HR Ahmad no: 7352].

Dari dua hadist ini, menunjukkan bahwa Rasul Saw., seakan dan atau sudah tahu kuburan dirinya di masa depan akan berada di mana? Sebagaimana kerinduan Rasulullah Saw., terhadap kita, umatnya, secara tegas juga disampaikan oleh Imam al-Qusyairi dalam kitabnya ar-Risalah. Dia mengutip riwayat dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw., pernah bersabda. “Kapan aku akan bertemu para kekasihku?” Para sahabat bertanya, ‘Bukankah kami adalah para kekasihmu?” Rasulullah menjawab, “Kalian memang sahabatku, para kekasihku adalah mereka yang tidak pernah melihatku, tetapi mereka percaya kepadaku. Dan kerinduanku kepada mereka lebih besar.”Akankah kita termasuk mereka yang dirindukan Rasulullah?

Terlepas dari hal tersebut, kembali pada masjid Nabawi: Singkatnya, masjid Nabawi dibangun oleh Rasulullah SAW pada tahun pertama Hijriah (622 M) di Madinah, setelah beliau hijrah dari Makkah. Pembangunannya melibatkan seluruh umat Muslim dengan semangat gotong royong. Setelah wafatnya, Rasulullah SAW dimakamkan di rumahnya yang berdekatan dengan masjid. Dan berikut adalah rincian gamblangnya dari mulai Pembangunan Awal: Masjid Nabawi awalnya adalah tempat penjemuran kurma milik dua anak yatim, Sahl dan Suhail bin Nafi’. Rasulullah SAW membeli lahan tersebut dan membangun masjid serta rumahnya di sana.

Desain Awal: Masjid Nabawi memiliki ukuran sekitar 50 x 50 meter dengan atap yang terbuat dari daun kurma dan tiang dari batang kurma. Dindingnya terbuat dari batu bata dan tanah. Fungsi Awal: Masjid Nabawi berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat pembelajaran, dan kegiatan sosial lainnya. Makam Rasulullah: Setelah wafat, Rasulullah SAW dimakamkan di kamar Aisyah, yang merupakan bagian dari rumahnya yang berdekatan dengan masjid. Perkembangan: Area makam kemudian diperluas dan masjid di sekitarnya berkembang pesat. Perluasan: Masjid Nabawi mengalami beberapa kali perluasan untuk mengakomodasi peningkatan jumlah jemaah. Kubah Hijau: Kubah Hijau yang terkenal terletak di dalam kamar Aisyah, yang menjadi tempat makam Rasulullah Saw.

Singkatnya, disebabkan pengembangan masjid Nabawi, maka di dalam masjid Nabawi ada area khusus yang bernama Raudah [Taman Surga], yang mana di dalamnya ada makam nabi sekaligus sebagai tempat tinggalnya semasa beliau masih hidup. Jadi keberadaan makam Rasulullah Saw., di dalam masjid Nabawi tersebut merupakan imbas dari perluasan area masjid Nabawi. Adakah hal ini unsur kesengajaan sehingga bisa dikaitkan dengan HR. Abu Dawud: “Aku tidak memerintahkan mementerengkan mesjid.” Kata ‘Ibnu ‘Abbas: “[Yang beliau larang ialah] jika kamu menghiasnya seperti Yahudi dan Nashara.”

Kemudian pertanyaan lanjutannya adalah, apa batasan dalam permasalahan tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir)? Sebagaimana Kemudian jika dikaitkan lagi dengan HR Abu Dawud, hasan; “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” apakah dengan keberadaan makam Rasulullah Saw., di dalam masjid Nabawi itu sudah ‘termasuk bagian dari mereka” kah? Jadi sabenerna, yang menjadi larangan pokok itu adalah menjadikan kuburan itu sebagai sentral, sebagai sesuatu yang disembah sebagaimana berhala yang disembah. Sementara di dalam masjid Nabawi, area makam nabi tersekat oleh empat dinding pemisah.

Adapun jika kembali menilik pada intisari hadis perihal makam di dalam masjid; maka menjadikannya sebagai tempat ibadah kepada Allah, masyhur para ulama menyebutkan haram, tapi ada sebagian mereka yang menyatakannya makruh. Namun hal itu pun dengan catatan selama masih ada tempat yang lebih memungkinkan untuk dibangun masjid. Sementara, awal mulanya berdiri masjid Nabawi yang didirikan oleh Rasulullah Saw., bersama seluruh umat muslim kala itu, secara historis berdekatan dengan rumahnya. Kini soalnya adalah adakah yang lebih memungkinkan perluasan area masjid Nabawi, tanpa memperlebar ke area rumahnya? Tentu saja jawabannya ya dan tidak.

Namun ketika kembali menilik awal mula berdirinya masjid Nabawi bukan sekadar sebagai pusat ibadah saja, melainkan sebagai pusat ekonomi umat. Singkat sejarahnya dilansir dari tulisan M Ryan Romadhon: Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, kota tersebut berada dalam kekacauan tanpa pemimpin atau penguasa yang berdaulat. Ekonominya lemah dan bergantung sepenuhnya pada hasil pertanian. (P3EI, Ekonomi Islam, [Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008], hal. 486). Salah satu inovasi revolusioner yang diperkenalkan oleh Rasulullah SAW saat memimpin Madinah adalah pembentukan lembaga keuangan publik yang disebut Baitul Mal. Lembaga ini berperan sebagai pusat penyimpanan dan pengelolaan dana negara, dengan tujuan utama memastikan transparansi dalam penerimaan pendapatan (revenue collection) dan pengeluaran (expenditure) untuk kesejahteraan umat (welfare-oriented).

Jauhnya, fungsi Baitul Mal itu tidak hanya bergantung pada zakat sebagai sumber pendapatan. Sumber pendapatan lain yang dikelola oleh lembaga ini meliputi kharaj (pajak tanah), zakat, khums (seperlima dari rampasan perang), jizyah (pajak bagi non-Muslim), serta berbagai bentuk penerimaan lainnya, seperti kaffarah (denda tebusan). Beragamnya sumber pendapatan ini memungkinkan Baitul Mal menjalankan kebijakan fiskal yang lebih luas dan strategis untuk mendukung kestabilan ekonomi negara dan kesejahteraan masyarakat. Pada masa Rasulullah SAW, Baitul Mal berlokasi di Masjid Nabawi, yang juga berfungsi sebagai kantor pusat pemerintahan. Hal ini terjadi karena pada masa awal Islam, jumlah harta yang masuk belum begitu besar dan segera didistribusikan untuk kepentingan umat Muslim serta digunakan untuk mendukung administrasi negara.

Simpulnya: Pada masa Rasulullah SAW, Baitul Mal berlokasi di Masjid Nabawi, yang juga berfungsi sebagai kantor pusat pemerintahan. Hal ini terjadi karena pada masa awal Islam, jumlah harta yang masuk belum begitu besar dan segera didistribusikan untuk kepentingan umat Muslim serta digunakan untuk mendukung administrasi negara. Oleh karena itu, belum ada kebutuhan mendesak untuk membangun lokasi khusus bagi Baitul Mal, karena fungsi utamanya telah terintegrasi dalam kehidupan masyarakat Madinah, sampai kini, bahkan perkembangan itu terus berlanjut sampai ada perpustakaan mushaf di bawah masjid Nabawi.

Terus hubungannya dengan judul antara nubuah dan hadits itu seperti apa? Mari kita belajar tadabbur guna mendapatkan jawabannya dengan mutlak. Misal, mungkinkah makam Rasulullah Saw., dibongkar dan dipindahkan? Inilah contoh kasus mutlak dari pengecualiannya tersebut. [bs]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *