Studi Tour: Antara Kebutuhan Edukatif dan Kebijakan yang Ngambang

Ilustrasi gambar studi tour/RA

Opini Agni Winaya | Ruangatas.com

Setiap menjelang akhir tahun ajaran, isu studi tour di lingkungan sekolah kembali menjadi topik hangat. Seolah menjadi siklus tahunan yang tak kunjung menemukan titik terang, polemik ini terus berulang tanpa penyelesaian yang tuntas. Di tengah gempuran opini publik, studi tour masih terombang-ambing antara fungsinya sebagai sarana edukasi nonformal dan momok baru yang membebani secara ekonomi.

Bacaan Lainnya

Di satu sisi, studi tour dipandang sebagai pengalaman belajar yang memperluas wawasan siswa. Ini bukan hanya tentang jalan-jalan, melainkan tentang bagaimana siswa melihat langsung realitas di luar ruang kelas. Sebuah kunjungan ke museum, pusat sejarah, atau sentra industri, bila dirancang dengan baik, bisa menjadi pengalaman pembelajaran yang bermakna. Terlebih, suasana baru juga dapat memberi penyegaran psikologis setelah menjalani rutinitas akademik yang padat.

Namun di sisi lain, praktik di lapangan sering kali jauh dari makna edukatif tersebut. Tak sedikit kegiatan studi tour berubah menjadi ajang rekreasi mewah yang tidak semua siswa mampu ikuti. Pilihan destinasi yang tak relevan dengan kurikulum, biaya yang melambung tinggi, serta minimnya kontrol dari pihak sekolah membuat kegiatan ini rentan menyulut kesenjangan sosial. Tak jarang pula muncul kasus-kasus penyimpangan dana, kecelakaan perjalanan, bahkan masalah keamanan siswa.

Yang menjadi masalah utama bukan sekadar pro dan kontra masyarakat, tapi ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi fenomena ini. Setiap tahun, imbauan atau surat edaran  yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi, pejabat daerah, sampai ke dinas pendidikan. Tapi semuanya berhenti di tataran anjuran tanpa keberanian untuk mengeluarkan keputusan yang tegas dan mengikat. Akibatnya, sekolah menjadi bingung, orang tua ragu, dan siswa terombang-ambing antara harapan dan ketidakpastian.

Jika memang studi tour dianggap sarat risiko, menimbulkan beban finansial, atau tidak lagi relevan, maka larang saja dengan tegas. Buat regulasi resmi, bukan sekadar surat edaran. Tegakkan aturan yang berlaku secara nasional, tanpa celah untuk penafsiran berbeda antar daerah. Sebaliknya, jika pemerintah tetap menganggapnya sebagai bagian dari pembelajaran yang sah, maka jangan biarkan sekolah berjalan tanpa pedoman. Perlu ada standar nasional, mulai dari batasan anggaran, format pelaksanaan, pemetaan tujuan yang relevan, hingga mekanisme evaluasi agar kegiatan ini benar-benar penuh esensi.

Dalam dunia pendidikan, ketegasan bukan sinonim dari kekakuan, melainkan fondasi kepastian. Ketika kebijakan dibiarkan menggantung, yang terjadi bukan fleksibilitas, melainkan kekacauan. Alih-alih kebijakan, studi tour malah menggambarkan bagaimana ketidaktegasan yang melahirkan kegaduhan. Saatnya pemerintah menunjukkan keberanian politik yang berpihak pada kepentingan publk dan keadilan sosial bagi seluruh warga Indonesia.

Pendidikan adalah ladang pembentukan karakter, bukan sekadar proyek jalan-jalan, apalagi ladang basah bagi para koruptor. Lebih dari itu, pendidikan tidak harus dijadikan panggung pencitraan bagi konten kreator demi menarik afiliator atau investor. Maka, kebijakan yang dikeluarkan dari pemangku kepentingan harus mencerminkan nilai-nilai; lugas, tegas, dan bernas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *