Dr. Rachman Sabur: Kartini dalam Wawancara Mulyono

Oleh Lintang Ismaya | Ruangatas.com

Momentum perayaan hari Kartini bukan sekadar memperingati hari kelahirannya yang jatuh pada tanggal 21 April 1879 dengan nama lengkap Kartini Djojoadhiningrat atau dikenali juga dengan gelarnya sebagai Raden Ayu Adipati Kartini atau Raden Ajeng Kartini. Peringatan hari Kartini bukan sekadar euforia saja, tetapi ada gagasan sublim yang dilahirkannya, yaitu perihal gagasan-gagasan visionernya yang menjadikan Kartini sebagai pionir kebangkitan perempuan di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Dr. Rachman Sabur (Babeh) menanggapi momentum ini sebagai refleksi dari jejak tumbuh-kembangnya kesetaraan dan pendidikan untuk kaum perempuan. Dalam pementasan terbarunya yang diberi tajuk Wawancara Dengan Mulyono (WDM), yang dipentaskan di Gedung Tempo pada tanggal 17 April 2025, pukul 14.00 WIB., Babeh menghadirkan sosok perempuan pencuci. Menurutnya, kehadiran sosok pencuci itu sangatlah penting untuk hadir di atas panggung;

“Tentang tokoh pencuci di WDM. kenapa perempuan? Karena di kultur kita sosok perempuan itu identik dengan tukang cuci pakaian. Perempuan/ibu yang membersihkan noda/kotoran yang ada di pakaian anak & suaminya. Membersihkan noda/aib setiap mencuci. Noda/aib itu setelah dicuci akan hilang secara fisik, tapi secara psikis noda/aib itu tidak akan pernah bersih/hilang.” Paparnya. Jika dihubungkan dengan momentum hari Kartini, maka jelas sudah benang merah itu nampak terasa ada. Hal ini bisa kita cermati dari karya monumentalnya; “Habis Gelap Terbitlah Terang, Kehidupan Perempuan di Desa, dan Surat-Surat Putri Jawa.”

Berawal dari Kartini yang bisa berbahasa Belanda, di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendaron , yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, yang dibacanya, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Lebih jauh Babeh menambahkan: “Intinya di tradisi/kultur kita, sosok perempuan pencuci itu sudah nyaris hilang. Di kota jasa cuci pakaian menjamur di mana-mana. Di desa-desa kita masih bisa menemukan perempuan/ibu mencuci pakaian di tepian sungai.” sambung bersambut dari komentar, Dr. Tatang R. Macan (Macan)., perihal sosok perempuan dalam karya WDM tersebut:

“Memperhatikan tafsir Ab Asmarandana (Abuy), atas sosok perempuan dalam pentas WDM, ya pemahaman seperti itu lebih pada penekanan humanistis, ya bisa saja. Akan tetapi nilai semiotik kebaruan Tafsir yang menarik dari teks, justru menjadi koteks dan Kontekstualitas nya. Artinya teks sosok perempuan pencuci setelah menjadi koteks. Kemudian dia merepresentasikan dirinya menjadi Kontekstual dengan kondisi Indonesia hari ini. Namaun dari sisi pandangan Tasawuf, itu menjadi berbeda makna. Karena tafsir Doni M Nur, yakni Kontekstualitas ke dalam internalisasi inhern sufistik, hal itu menunjukkan nilai semiotik yang harusnya menembus jagat hati setiap insan dari sajian pertunjukannya Rachman Sabur yang satu ini.” Jelas Macan.

Harus diakui, bahwa pertunjukan teater WDM karya Babeh tersebut mendapat tanggapan hangat dari sejumlah pegiat teater, yang mana utuhnya pernyataan Doni & Abuy yang dilansir dari tulisan Rika Rostika Johara: dalam ulasan reflektifnya, Doni M. Nur membaca sosok perempuan ini sebagai benang merah pertunjukan, yang secara tasawuf melambangkan upaya pembersihan hati dan sejarah, regenerasi bangsa, serta Ibu Pertiwi yang menampung dan membersihkan segala limbah sosial. Sebuah tafsir yang puitis, bahkan sakral.

Sementara: “Perempuan dalam pementasan itu bisa jadi bukan sedang mencuci untuk membersihkan sejarah, melainkan dipaksa untuk terus mencuci karena sejarah tak pernah selesai menyuapinya lumpur. Ia terjebak dalam siklus kerja domestik dan eksistensial yang melelahkan, bukan pilihan mulia, melainkan warisan struktural,” jelas Abuy.

Kembali pada Babeh yang menyoroti peran perempuan kini dan hari esok:”‘Eksistensi sosok perempuan Indonesia sedang menuju pada dimensi ruang dan waktu yang nyaris tanpa batas. Tanpa skat kultural. Tipisnya nasionalisme dan kebangsaan itu fakta. Perempuan Indonesia merasa lebih bangga menjadi perempuan Korea. Pengaruh globalisasi sangat kuat sekali pada etitude perempuan Indonesia masa kini. Walaupun tentu saja masih ada perempuan Indonesia yang mempertahankan rasa nasionalisme dan kebangsaannya, tapi tidak masif.”

Lebih jauh Babeh kembali menambahkan perihal hadirnya sosok perempuan pencuci di WDM yang menjadi multi tafsir. Bergantung pada konteks peristiwa dan temanya: “Sosok perempuan pencuci dikontekskan ke Kartini, yang notabene adalah seorang perempuan juga, yang menjadi obyek. Bukan subyek. Pertanyaannya : apakah hari ini kita masih relevan membicarakan sosok kartini/perempuan dihubungkan dengan emansipasi wanita?” Pungkasnya.

Sebagaimana puisi pendeknya Babeh yang tanpa judul: Sudah terlalu banyak / kata. Mabukkan dunia. // Diamlah diam! // Biarkan tubuh bicara /dengarkan sunyi bicara// puisi ini dituliskan Babeh pada 21 April 2025. [Li]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *