Tasikmalaya – Ruangatas.com | Dalam peringatan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April pada setiap tahunnya, Doni M. Noor, seorang Penulis dan Pengamat Pendidikan, memberikan pandangannya mengenai peran penting dukungan lelaki di balik perjuangan dua tokoh perempuan pelopor pendidikan di Indonesia, yakni Raden Ajeng Kartini dan Raden Dewi Sartika.
Menurut Doni, perjuangan besar yang dilakukan oleh Kartini dan Dewi Sartika dalam mendirikan sekolah-sekolah bagi perempuan tidak bisa dilepaskan dari peran penting lelaki yang mendukung mereka.
“Kalau menurut saya mah begini, baik Rd. Ajeng Kartini atau Rd. Dewi Sartika, mereka bisa mendirikan sekolah itu téh karena adanya dukungan penuh dari seorang lelaki di belakangnya,” ujarnya kepada Ruangatas.com, Senin (21/4).
Doni menjelaskan bahwa Kartini bisa mendirikan Sekolah Putri di Rembang berkat izin dan dukungan penuh dari suaminya, Raden Adipati Joyodiningrat, yang kala itu menjabat sebagai Bupati Rembang. Bahkan, gedung tempat Kartini mendirikan sekolah itu kini menjadi gedung pramuka. Begitu juga dengan Dewi Sartika, yang berhasil mendirikan Sekolah Isteri berkat dukungan dari kakeknya, Raden Adipati Aria Martanegara, yang menjabat sebagai Bupati Bandung pada saat itu, serta bantuan dari Den Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran.
“Artinya, semandiri apapun perempuan perlu dukungan besar dari yang ada di belakangnya. Begitu pun lelaki, se-single fighter-nya lelaki, tidak akan bisa sukses kalau tanpa adanya dukungan kuat dari perempuan. Bisa karena motif cinta atau motivasi-motivasi yang tinggi dari perempuan-perempuan di belakangnya, seperti halnya Soekarno yang mendapat dukungan penuh dari Inggit Garnasih kala itu,” tambah Doni.
Doni juga menekankan bahwa dukungan yang diberikan pada Kartini dan Dewi Sartika saat itu bisa berjalan sukses karena kebetulan kedua pahlawan pendidikan tersebut didukung oleh petinggi tertinggi di daerah mereka masing-masing. “Bukan berarti hal ini menjadi citra buruk, justru hal inilah yang patut ditiru di zaman ini. Siapa pun yang menjabat harus bisa mendukung dengan penuh kalau memang cita-cita seorang itu demi kemajuan rakyat,” ujarnya. “Hal ini sebagai cermin mutlak dari memenuhi hak dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara, meskipun ide tersebut datangnya dari pihak keluarga sendiri. Artinya jangan asal-asalan mengusung dan mendukung.”
Menurut Doni, ada banyak pahlawan perempuan lain yang berjasa dalam perjuangan kesetaraan dan pendidikan untuk perempuan di Indonesia, seperti Rohana Kuddus dari Padang, Maria Walanda Maramis dari Minahasa, HR. Rasuna Said dari Maninjau, Lasminingrat dari Garut, serta Nyai Ahmad Dahlan dari Yogyakarta. Namun, ia mengingatkan bahwa fokus tidak perlu pada siapa yang didapuk, karena semua tokoh tersebut sudah tercatat sebagai pahlawan nasional.
“Yang harus kita ingat dari tonggak hari Kartini itu adalah perihal gagasan-gagasannya yang visionernya yang menjadikan Kartini sebagai pionir kebangkitan perempuan di Indonesia. Kita semua harus jujur, dalam momentum peringatan hari Kartini di napas merdeka ini, akankah melahirkan Kartini-kartini baru di satu detik ke depan dengan visionernya yang baru pula?” tandas Doni.
Lepas dari hal itu, tambah Doni, “Peranan seorang istri di dalam rumah tangga bukan sekadar mengurusi urusan dapur saja, melainkan harus mampu masuk ke ruang-ruang sunyi anak. Misalnya ke dalam kamar pribadinya. Jangan merasa nyaman dan aman ketika anak ada di dalam rumah dan berdiam diri di kamar. Karena kamar bisa juga jadi tempat paling sunyi tapi juga paling bising,” pungkasnya.
Doni juga membahas imbas dari dunia digital yang bisa masuk dengan leluasa tanpa batas. Ia bisa menjadi asupan yang mudah diterima bagi siapa pun terutama anak, perihal dari komentar kejam, konten-konten kelam pun panutan yang menyesatkan. Lewat gawai inilah anak-anak mudah terkontaminasi dan mudah terseret pada dunia asing yang kita sendiri pun sebagai orang dewasa belum tentu bisa memahaminya dengan benar. ***