Ruangatas.com | Pasca membaca teks, interteks, dan konteks dari naskah drama Anak Panggung di Negeri Panggung karya Ab Asmarandana, ingatan saya langsung melayang pada krisis naskah drama, kala itu saya mendapatkan kesempatan untuk mewakili Indonesia dalam ajang Majelis Sastra Asia Tenggara. Apakah ini yang menjadi sebab mengapa banyak penulis kini enggan menulis naskah drama? Entahlah. Ujar Doni M Noor, pegiat sekaligus pemerhati teater.
Namun jika melihat lebih dekat ke dalam naskah tersebut, baik dari teks, interteks maupun konteks, tampak muatan pesimisme terhadap nasib pelaku, pekerja, atau praktisi teater. Namun di balik nada lirih itu, tersimpan pula satire kehidupan anak panggung—yang getir sekaligus menyimpan tawa laku ke dalam diri.
Singkatnya, pasca membaca naskah secara utuh, ditambah menyaksikan enam pementasan dari enam kelompok berbeda yang mengusung ragam konsep panggung, memori saya kembali mengingatkan pada beberapa nama pegiat teater Indonesia. Apakah ini yang dulu diantisipasi oleh WS Rendra lewat Bengkel Teater-nya? Ia membentuk ekosistem bagi para anggotanya, bukan sekadar menambah metode latihan yoga dan meditasi saja, artinya mereka tak hanya berteater, tapi juga bisa bercocok tanam, memelihara ternak, mengurus empang, bahkan menyisihkan hasil panen untuk bersedekah pada warga sekitar.
Atau barangkali inilah yang dilakukan Teater Koma di bawah manajemen N. Riantiarno—membangun sistem yang solid hingga mampu menjual satu tiket dengan harga jutaan rupiah. Masa depan anak panggung pun tak lagi sekadar dibayar dengan sebungkus nasi seusai pementasan.
Mungkin pula ini yang coba dirintis Ateng Japar melalui konsep ngarayuda dalam tradisi longser, memastikan setiap pentas meninggalkan bekas—bukan hanya tepuk tangan, tontonan dan tuntunan, tapi juga hasil yang nyata.
Saya juga teringat almarhum Cupit Danuarta, pendiri Teater Polos, yang setiap pementasannya mampu menjual lebih dari seribu tiket, hasil dari kerja sama dengan sekolah-sekolah tingkat SMP dan SMA di Tasikmalaya. Ini menunjukkan bagaimana teater bisa menyentuh publik luas jika dikelola dengan strategi yang tepat.
Atau, jangan-jangan Ab menyimpan sandi lain dalam wara-nya: bahwa teater bukan hanya sarana terapi, tapi juga kawah candradimuka untuk mematangkan keaktoran. Sebab modal aktor bukan hanya bakat akting, tapi juga kecerdasan dalam mengambil keputusan laku, termasuk kemampuan improvisasi. Bahkan aktor-aktor film besar, baik di Indonesia maupun luar negeri, nyatanya hampir semua berasal dari panggung teater, katakanlah seperti: Jim Lim, Jim Carrey, Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Wulan Guritno, Reza Rahadian, Happy Salma, Chelsea Islan, Butet Kartaredjasa, hingga Laudya Cynthia Bella.
Sementara itu, Doni pernah menyatakan bahwa seni longser bagi dirinya itu adalah merupakan sebuah bentuk dramaturgi teater mutakhir Indonesia karena mengandung unsur musikal, tari, musik, akting, nyanyian, serta artistik—baik yang imajinatif maupun realistis. Jauh ke depan, longser berpotensi menjadi jembatan menuju teater opera-nya Indonesia.
Bagi saya, keberhasilan naskah Anak Panggung di Negeri Panggung terletak pada kemampuannya memuat teks, interteks, dan konteks secara kuat. Naskah ini menertawakan kekonyolan dirinya sendiri—sebagaimana Ab yang telah menjadi praktisi teater sejak masa SMA—namun secara dramaturgi, ia menyimpan sandiwara dengan dua tafsir yang saya uraikan di atas.
Ada satu pesan penting yang menurut saya paling menohok dalam naskah ini: bahwa mementaskan teater tidak bisa asal jadi. Di sinilah letak pertaruhan aktor. Berhasil atau tidaknya teks dipanggung ditentukan oleh aktor sebagai medium penyampai bagi para apresiator.
Bagaimana mungkin kita berharap mendapat banyak penonton jika pementasan hanya digarap seadanya? Jangan sampai proses teater yang panjang itu hanya berakhir pada pementasan beberapa hari, lalu dilupakan begitu saja.
Dari enam penampil, dengan naskah yang sama, tapi menjadi judul yang berbeda, menurutnya semua kelompok tersebut berhasil mengadaptasi dari segi dramaturgi. Ada pun penampil yang berkesan dalam memaknai tafsir pemanggungan di luar dugaan, yaitu penampil dengan judul “NAIFISME” yang dimainkan oleh Rika Jo dan Kribo. Mereka bermain dengan begitu atraktif, teatrikal, kadang kekanak-kanakan tapi justru di situlah kekuatannya, jujur dalam menggambarkan catatan hidup anak-anak panggung yang menertawakan dirinya sendiri, bahkan luka-lukanya sendiri.
Eksplorasi dan improvisasi yang seadanya, selayaknya menemukan naskah baru untuk dipanggungkan. Sadar panggung modal pondasi seorang aktor sehingga dengan menghadirkan konsep artistik yang bergerak tak menghalangi laku akting, justru jadi pendukung khayali yang bisa terbang melayang dari ruang imaji si pelakon. Singkatnya menjadi ruang tafsir yang hidup—yang terus mempertanyakan, menguji, dan merayakan ketahanan jiwa anak-anak panggung.
Dan di sinilah letak esensi dari teks naskah itu ada, bahwa metateater bukan sekadar panggung hiburan, melainkan panggung kehidupan itu sendiri. Sebagaimana Peter Brook pernah menulis: “Teater hidup bila ia menjadi cermin yang retak”. Artinya, kita bisa melihat kompleksitas di dalamnya, termasuk absurditas di atas panggung realita yang dipanggungkan guna kembali mempertanyakan batas antara realitas dan fiksi, adakah selamanya mimesis?
Satu sisi lain yang tersembunyi dari refleksi konkret pada isi teks naskah drama ini, yaitu pada sebuah pertanyaan simpulan saya pribadi dari jejak renung, apakah; hidup untuk seni atau seni untuk hidup? Pungkasnya. (Pakesit)***