Ada Apa dengan Imigran; Dalam Retorika Berbahasa

Opini Lintang Ismaya | Ruangatas.com

Mengamati perjalanan penggunaan diksi imigran yang mengalami pergeseran nilai secara signifikan, menjadi menarik untuk dibahas sekaligus dibahasakan ulang. Dalam ensiklopedia, imigran diartikan sebagai orang yang pindah dari satu negara ke negara lain untuk menetap secara permanen, dengan tujuan tertentu, melalui proses perizinan dan dokumen resmi. Di luar jalur resmi, terdapat pula mereka yang disebut imigran ilegal atau pendatang gelap, yakni individu yang masuk atau tinggal di sebuah negara secara melanggar hukum—tanpa izin, tanpa dokumen sah, dan sering kali tidak melalui jalur perbatasan resmi.

Bacaan Lainnya

Motivasi di balik perpindahan para imigran ilegal ini beragam: dari konflik perang, keinginan untuk reuni keluarga, kemiskinan di negara asal, ledakan populasi, hingga praktik penyelundupan dan perdagangan manusia.

Namun, persoalannya tidak berhenti pada definisi legalitas semata. Diksi imigran kini mengalami pergeseran makna dalam percakapan sehari-hari—baik di warung kopi, komunitas kecil, hingga obrolan antartetangga. Imigran tak lagi sekadar menunjukkan orang yang berpindah tempat, melainkan berubah menjadi semacam kode atau penanda dengan konotasi yang bias bahkan negatif: imigran sebagai tamu, penyusup, pengacau, pembisik, mata-mata, penghasut, virus, racun, maling, pengutil, bahkan sebagai simbol ketidaktahuan diri. Semua sinonim tersebut menjauh dari makna asalnya.

Makna baru ini, meskipun muncul dalam bentuk metaforis atau sindiran, tetap bertumpu pada bayangan negatif yang kerap melekat pada keberadaan imigran. Persepsi ini tumbuh karena berbagai dampak sosial dari keberadaan mereka—baik dalam ranah ekonomi, budaya, hingga dominasi politik. Kita tentu tak asing dengan dinamika kehadiran imigran dari Cina dan Arab yang kini menetap secara sah dan beranak-pinak di negeri ini. Bahkan dalam narasi yang berkembang, keduanya terlibat dalam semacam perang identitas yang kini berlangsung dalam bentuk cyber war di ruang-ruang publik dan media sosial. Siapa korbannya? Lagi-lagi: pribumi.

Di tengah silang sengkarut ini, pihak ketiga—yakni kekuatan dari Barat—sering memanfaatkan kondisi tersebut, seperti yang terekam dalam sejarah. Portugis datang pada 1511 dengan pendekatan damai, namun VOC pada 1602 datang dengan niat menguasai—termasuk merambah ranah politik. Hasilnya: konflik pecah, perpecahan di tubuh masyarakat pribumi, dan luka sejarah yang masih membekas hingga kini. Maka, pertanyaan klasik muncul kembali: siapakah sebenarnya pribumi itu?

Pepatah Sunda mengatakan, jati kasilih ku junti—makna yang dalam jika ditelaah. Ketika kekuatan luar masuk perlahan, menyusup lewat jalan yang nampak baik, namun sebenarnya menyesatkan, kita sebagai tuan rumah kadang kehilangan kendali.

Dalam narasi global, problem imigran memang tak pernah surut. Dari Rohingya hingga India, dari Cina hingga Suriah—semua berkutat dengan isu yang sama: imigran, legal maupun ilegal, dan benturan sosial yang mereka timbulkan. Kasus Israel di tanah Palestina adalah contoh ekstrem: awalnya sebagai tamu yang diizinkan, lalu beralih menjadi penjajah yang mendominasi.

Kembali ke dalam negeri, Kota Kupang bisa menjadi cermin dari harmoni yang lahir dari keberagaman. Kota ini sejak lama menjadi rumah bagi berbagai etnis: Timor, Helong, Rote, Sabu, Flores, Alor, Sumba, Lembata, Tionghoa, Ambon, Bugis, Jawa, Bali, Batak, hingga keturunan Sri Lanka. Semua hidup berdampingan dalam harmoni. Bahkan, kini mereka menyebut dirinya dengan bangga: Beta orang Kupang. Ini adalah bukti bahwa imigran dan penduduk asli bisa hidup selaras dalam bingkai multikulturalisme—jika kedua belah pihak saling tahu diri dan menghormati.

Keramahan raja-raja Helong di masa lalu, seperti Raja Koen Lai Bissi, ataupun pendahulunya, Raja Nai Kopan (Lai Kopan)—yang nama beliau diabadikan menjadi nama kota Kupang—menjadi teladan bijaksana. Sejak era kolonial, mereka menyambut tamu dari luar dengan tangan terbuka, sebagaimana kedatangan Portugis (1645) selama tidak membawa kekacauan, mereka hidup rukun dan berdampingan sampai terjadi akulturasi budaya. Namun ketika dominasi dan kerakusan masuk, seperti yang dilakukan VOC (1653), konflik pun tak terhindarkan terjadi pada tahun 1653 dan 1749. Lagi-lagi: pribumi yang menjadi korban. Perang saudara terjadi.

Semangat para raja Helong itu mengingatkan pada kisah Anshar dan Muhajirin dalam sejarah Islam—ketika kaum Anshar membantu kaum Muhajirin yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah, lalu membangun peradaban bersama. Inilah imigran yang tahu diri. Bukan mereka yang membonceng pihak ketiga, menyusup diam-diam, memecah belah, lalu mengklaim sebagai pemilik sah dari rumah yang bukan miliknya.

Dalam konteks sosial hari ini, tamu atau imigran tetap harus menyadari batas ruang. Jangan sampai masuk ke dapur dan mengatur isi rumah. Teras dan ruang tamu adalah tempatnya. Menghormati tuan rumah adalah kunci harmonisasi. Seperti di Kupang, para imigran hidup berdampingan dengan sadar posisi, terlebih imigran yang terpilih dan diperbantukan dalam membangun tatanan, mereka tidak mengklaim, terlebih menghasut antarpribumi, tapi tetap bersuara: Beta orang Kupang—dengan penuh penghormatan terhadap akar sejarah dan ruang hidup masyarakat lokal.

Maka, ketika makna imigran bergeser menjadi kode dalam komunikasi—terutama dalam ruang privat atau lingkup tertentu seperti komunitas intelijen—itu menjadi cermin zaman. Begitu pula makna intelijen yang juga telah berkembang: bukan lagi sekadar pengumpul informasi, tapi bagian penting dari sistem keamanan dan strategi nasional. Dari BIN hingga Satintelkam, dari Kejaksaan hingga Bea Cukai—semuanya kini memainkan peran dalam ranah yang makin kompleks.

Pertanyaannya: apakah perubahan ini adalah tanda kemajuan atau kemunduran dalam berbahasa dan berkomunikasi? Disadari atau tidak, inilah wajah zaman. Karena napas manusia, sejatinya, adalah napas dari zamannya. [Li]

***

Tulisan lainnya karya Lintang Ismaya, bisa diakses di

https://whatsapp.com/channel/0029Vb56zYQ6hENqDuqTHc3j

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *