Opini Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Pada dasarnya, dunia teater, merupakan dunia pertunjukan di atas panggung yang melibatkan banyak element dan atau unsur-unsur seni lain di dalamnya. Maka wajar jika teater dikatakan sebagai induk seni atau kesenian itu sendiri. Hal ini bisa terjadi demikian, tidak bisa lepas dari yang namanya muatan teks drama itu sendirian yang akan dipentaskan. Sebagaimana lakon drama Nata Sukma yang akan kembali dipentaskan di atas panggung.
Berbicara teks drama nata Sukma karya Tatang R. Macan., itu berbicara prihal transformasi. Baik transformasi dari wawacan. Baik transformasi dari para tokoh pejuang kemerdekaan dan tokoh lainnya. Lantas apa yang ingin disuguhkan dalam pementasan ini? Terlalu porno kiranya kala membedah isi teks naskah, sebab apresiator yang baik itu adalah apresiator yang tidak digiring dengan wacana, baik mulai dari sinopsis dan segi lainnya.
Namun di sisi lain, dalam makna simpulan global pada teks naskah drama Nata Sukma ini mencerminkan sebuah teks lakon drama propaganda yang ditulis secara kontemporer atawa teks sastra kontemporer dengan menghadirkan tiga tokoh yang beda waktu kehadirannya, meski masih berada di Wilayah Indonesia, tepatnya Pasundan. Transformasi naskah ini dibentuk dengan tidak menghilangkan pikiran utama dari Wawacan Nata Sukma yang menjadi menarik bagi Tatang R. Macan, bahwa di Tatar Sunda pada abad ke 18 Masehi pengarang Wawacan Nata Sukma (anonim), sudah bisa membuat teks agitasi atawa propaganda.
Pementasan teks drama Nata Sukma karya dan sutradara Tatang R. Macan ini, akan digelar di Taman Budaya Jambi pada tanggal 26-27 April 2025, dengan peran-peran dalam Nata Sukma ini: Nata Sukma diperankan Dwi Setiawan, Marhaen diperankan M. Andreanda D’Putra, Multatuli diperankan Tatang R. Macan dan Para Marhaenis diperankan Muhammad Arif dengan Ananda Rahmat. peran tokoh “Ibu” dibawakan Puspita Sari. Dan pada tanggal 25 April akan diselenggarakan workshop teater dengan salah satu pematerinya Tatang R. Macan.,
Secara esensi, lakon teks drama Nata Sukma, ingin mengajarkan menata kembali keimanan hidup manusia menggunakan hati nurani, bukan bertumpu pada keinginan hawa nafsu. Sehingga pencerahan hati itu akan memberi cahaya bagi kegelapan. Sebagaimana tindakan korup atawa prilaku yang menumbuhkan kegelapan Indonesia kini, karena manusianya serakah melebihi binatang. Selamanya tidak menggunakan perasaan hati sebagai pusat Cahaya.
Secara edukasi tentang perkembangan teater. Tentunya berharap mampu mendorong perkembangan teater yang semakin fakum dalam dekade kekinian. Karena teater tampak telah ditinggalkan apresiator-nya. Di pihak lain, pertunjukan ini berhasrat memberi pemahaman pada apresiator bahwa yang disebut “tanam paksa” oleh pihak kekuasaan harus dicermati dan dikritisi karena kekuasaan selalu cenderung menggunakan tangan besi sebagai tindak kejahatan pada masyarakat.
Sebagaimana teks drama Nata Sukma yang berkisah tentang tiga tokoh Marhaen, Multatuli dan Nata Sukma sendiri. Mereka adalah tokoh pergerakan sewaktu zaman penjajahan. Secara saripati ketiga tokoh tersebut mempunyai pola pikir yang sama; berontak dari yang namanya segala bentuk penjajahan baik tanam paksa pun pemerkosaan hak-hak hidup lainnya. Sebagaimana gabungan dari korporasi di ini zaman yang masih bermain memeras keringat rakyat. Pada akhirnya rakyat kehilangan Cahaya Maha Cahaya yang semestinya menjadi pedoman hidup untuk dijalankan. Baik dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana yang sudah diketahui bersama bahwa lakon teks drama merupakan sebuah dunia wacana yang lebih dominan berkutat pada persoalan psikologi atau kejiwaan seorang tokoh yang terlahir dari pecahnya konvensi di masyarakat, dimana seorang pemeran bermain dan memainkan jiwanya tokoh tersebut dalam situasi dan kondisi apa pun, yang tentu saja sesuai dengan alur kisah pada teks drama yang tengah didalaminya itu dengan tentu juga tidak bisa dilepaskan dari hasil eksperimen dan eksplorasi sehingga mampu mewujudkan tokoh utuh di atas panggung, ketika tengah diperankan.
Lantas apakah yang akan terjadi di atas panggung pertunjukan, apakah akan tetap menyuguhkan naratif yang sama, sebagaimana teks drama ini pernah dipentaskan di UTM Selangor Malaysia pada tanggal 16 Oktober 2024., Teater Arena Isi Padang Panjang, 12 Oktober 2024., Gedung Kesenian Kota Palembang pada tanggal 27 Oktober 2024, ataukah akan ada perubahan wacana dalam teks, interteks, dan konteksnya? Mari kita mengapresiasinya bersama. [LI]
***
Tulisan lainnya karya Lintang Ismaya, bisa diakses di
https://whatsapp.com/channel/0029Vb56zYQ6hENqDuqTHc3j