Oleh: Lintang Ismaya | Ruangatas.com
AMBANG GERBANG
Ada banyak warisan dari sastrawan Indonesia sebelum mereka tidur tenang di kedalaman tanah. Salah satunya Gendre Puisi Sonian yang dicetuskan oleh penyair Soni Farid Maulana (SFM), merupakan seorang penulis puisi religius yang mengarah pada sufistik, lahir di Tasikmalaya pada tanggal 19 Februari 1962. Sebagaimana sejumlah karya puisinya SFM yang sudah mendunia pun dengan Gendre Puisi Sonian yang dicetuskannya mendapat sambutan hangat di mancanegara; diantaranya Malaysia, Brunai, Singapore dan di negara lainnya.
Di Indonesia sendiri Gendre Puisi Sonian pernah booming dan menjadi pembahasan hangat di sejumlah platform media sosial dan cetak. Sampai kini Gendre Puisi Sonian masih banyak ditulis orang dengan adanya bukti penerbitan Antologi Puisi Sonian baik tunggal pun bersama. Sastrawati Ewith Bahar mengungkapkan: “Sonian memiliki unsur fun atau kegembiraan sekaligus tingkat kesulitan dalam menuliskannya, mirip bila kita sedang bermain puzzle atau mengisi teka-teki silang.”
SFM sendiri mengungkapkan: “Jika diibaratkan dengan mata panah yang terbalik, maka jelas sudah, bahwa pola tuang pusi sonian kian bawah kian runcing adanya. Ini terjadi karena saya ingin di negeri ini punya puisi pendek sejenis haiku. Namun demikian kembali saya tegaskan bahwa sonian bukan haiku. Jika pada masa awal pertumbuhannya haiku berbasis pada Zen Buddhisme, maka sonian berbasis pada nilai-nilai islami. Dalam berkembangnya lebih lanjut, bisa berbasis pada agama apa saja. Toh dalam penulisan haiku yang bebas, ia bisa juga diisi oleh nilai-nilai islami.”
Pada akhirnya, logika bahasa sangat menentukan kualitas karya apa pun itu bentuknya. Ketika logika kata dalam satu kesatuan yang utuh rancu maka akan mengaburkan makna. Artinya apa yang akan disampaikan buntu dalam satu kesatuan utuh.
Pengerucutan; dalam puisi apa pun itu gendre puisinya, selalu mengutamakan kejernihan logika baik menggunakan metafora, simbol, pun lambang. Misal kita belajar membuat Puisi Sonian yang mana terpatok dengan pola suku kata pada tiap baitnya: 6-5-4-3
PUING
Sisa-sisa jejak
Menanak bayang
Jalan-jalan
Membiru
Selintas pintas ini sudah menjadi puisi sonian yang kental dengan imaji. Namun ada satu yang dilupakan dari makna harfiah puing itu sendiri: puing; kepingan atau sisa peninggalan reruntuhan bangunan, gedung, pesawat terbang, dan sebagainya: akibat gempa bumi yang hebat, kota itu menjadi timbunan –; [KBBI]. Artinya dalam puisi di atas makna puing berubah menjadi makna simbolik tentang perjalanan aku lirik yang tengah mengenang masa lalunya.
Lain halnya kalau puisi itu ditulis seperti ini
PUING
Memuingkan puing
Berpuing-puing
Puing-puing
Puingmu
Puisi ini ditulis dengan memainkan satu diksi puing yang dikasih imbuhan. Tidak ada yang spesial dalam puisi ini. Namun ketika ada imbuhan -mu, maka aku lirik dalam puisi tersebut adalah pihak ke tiga yang mengamati tentang alur hidupnya si –mu yang memainkan retorika diksi puing dengan imbuhan awal –mem, ber- dan imbuhan akhir(an) –kan, –mu. Maka siapa pun yang membaca puisi PUING (2) ini akan menemukan misteri dari puisi yang ditulisnya itu, artinya akan punya tafsirnya sendiri. Beda dengan judul PUING (1) di atas.
Ada pun contoh kerancuan logika dalam penulisan puisi sonian seperti ini;
PUING
Bak tumpukan awan
Bergulung hampar
Kabar duka
Berpuing
Secara selintas pintas, tidak ada yang rancu dalam penggambaran imaji dalam puisi tersebut. Namun benarkah tumpukan awan itu seperti puing atawa puing-puing? Kemudian dengan kalimat penentu yang dipertegas dengan (ber)puing. Kenapa penegas akhir puisinya harus berpuing? Bukankah ketika kita memilih diksi PUING sebagai judulnya, kita tidak usah lagi mendefinisikan puing. Hal inilah yang menjadi logika logis tidak terjadi dan gagal makna.
Misal ada beberapa kalimat dalam puisi itu dipakai dalam arti direvisi:
PUING
Bak di gunung padang
Bertumpuk hampar
Kabar duka
Kekasih
Maka apa yang terjadi dari puisi ini; jelas sudah disamping metafora Hadir, secara umum si pembaca akan merasakan duka dari aku lirik yang menuliskan puisinya tersebut dengan kunci judulnya mengambil diksi PUING dimana bayang-bayang kenangan seolah terhampar bak puing-puing atawa tumpukan batu-batu yang seperti tiang tiang atawa reruntuhan bangunan batu yang disebut puing di Gunung Padang.
POKOK MATERI
1. Sonian adalah puisi pendek Indonesia terdiri atas empat larik dengan pola tuang/ucap 6-5-4-3 suku kata setiap baris.
2. Penulis puisi harus jeli dalam pemilihan kata dimana fokus menjurus runcing ke akhir bait di baris empat.
3. Dalam puisi tersebut pemilihan kata juga harus jelas dan bermakna dalam batasan suku kata.
4. Khas puisi ini berisi nilai-nilai kehidupan, moral dan agama dengan berbagai tema. Sehingga penulis harus mampu menghidupkan karya dan perasaannya.
Beberapa puisi yang dibentuk dalam gaya Sonian dan ditulis oleh Soni Farid Maulana (sebagai pencipta puisi sonian) sendiri bisa kita mencerapnya dalam buku kumpulan puisinya berjudul Ranting Patah (Basabasi, 2018) seperti pada puisi “Kubur”, “Sedalam Kalbu”, “Rohingya”, “Dermaga”, dan “Paris”. Di sini, saya akan mencoba mengutip keseluruhan puisi yang berjudul Paris:
/1/
Sedingin uap es
dalam kulkas; kau
peram aku
o, Paris.
/2/
Koak burung gagak
mengguncang kota.
Maut datang
mengincar.
2016
Maka yang harus digaris bawahi dalam menulis puisi Sonian itu Intina jangan terjebak dengan pola 6-5-4-3 nya, justeru yang harus dibangun itu bukan reportase murni melainkan reportase abstrak guna tetap bermakna sastrawi misal;
/2/
Koak burung gagak
mengguncang kota.
Maut datang
mengincar.
2016
Judulnya Paris. Identitas burung gagak di Negeri Salju memang itulah adanya, seperti dalam lukisan lukisan hiperlrealistiknya Vann Gogh yang selalu identik dengan kota Paris, ladang dan gagak.
Mari kita coba membedahnya;
Koak burung gagak
Mengguncang kota.
2 bait awal ini ini sebagai reportase. Kemudian di bawahnya ada 2 bait lagi;
Maut datang
mengincar
Identiknya simbol burung gagak adalah penanda kematian (baik dalam kisah fiksi pun mitos), tapi sunyatanya burung gagak memang pemangsa burung atawa predator.
Namun makna;
Maut datang
mengincar
Jika disimbolkan dengan kehidupan hedonis kota Paris; masuk juga, sebab Paris sebagai kota peradaban mode hingga kini. Siapa yang ketinggalan mode maka maut(lah) baginya sehingga diksi maut sebagai simbolik saja. Kenapa maut? Sebab dunia citraan kapitalis diciptakan seperti itu, tidak bisa dikatakan sukses kalau kita belum bisa mengenakan produk mereka di keseharian. Jelas sudah makna diksi maut di sini bukan makna yang sebenarnya.
Adakah bahasan lainnya dari puisi di atas (Paris). Ada. Di mana? Kita bisa membedahnya dengan Teori Triadik Hermeneutika secara utuh, misalkan.
KEMBANG RENUNG
Tidak menutup kemungkinan dalam Gendre Puisi Sonian kedepannya yang terus diciptakan dan dieksplorasi oleh para pegiatnya kini, pusi sonian bisa ditulis dengan full majas metafora. Hal ini saya serap dari ungkapan SFM sendir: “Semakin bawah seorang penyair menulis sonian, maka semakin sulit, karena kata-kata yang dibutuhkan semakin sedikit jumlahnya. Hal ini dimaksudkan, agar puisi yang ditulis dalam bentuk ini tidak pecah, melainkan kian fokus pada pengalaman batin macam apa yang ingin diekspresikan.”
Berpijak pada ungkapannya tersebut, tidak menutup kemungkinan Gendre Puisi Sonian bisa seperti haiku yang mengandung tanka, kireji semisal. Dan banyak lagi kemungkinan yang bisa ditransformasi sebagaimana perkembangan Sonet di Indonesia yang berubah pesat dari masing para penulisnya yang sudah tidak lagi berpatok pada elemen-elemen penting dalam teknik menulis puisi sonet. Hal ini bukan berarti tindakan vandal melainkan dalam menuangkan pengalaman secara sublim menjadi sebuah karya sastra puisi tidak selamanya bisa berpatok pada pola elemen sonet yang sudah dibakukan.
#semua contoh puisi yang berjudul PUING karya Lintang Ismaya