Satu Sisi Idul Fitri Sebagai Momentum Refleksi Kebangsaan

Opini Lintang Ismaya | Ruangatas.com

Ada banyak kata yang ingin keluar, tapi kosakata terbungkam jejak baca, maka jadilah tulisan sederhana dalam sebuah simpulan. Saripatinya adalah perihal momentum 3 April, yakni tanggal bersejarah diusulkan dan diterimanya Mosi Integral Natsir pada tanggal 3 April 1950 di forum Sidang Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Di samping itu pada tanggal 31 Maret 2025 pemeluk agama Islam yang bermukim di wilayah Indonesia merayakan hari raya Idul Fitri.

Bacaan Lainnya

Kembali ke pokok: Bung Hatta, sebagai mantan wakil presiden Indonesia yang dikenal akan komitmennya terhadap sistem demokrasi dengan mengeluarkan Maklumat X yang menjadi tonggak awal demokrasi di Indonesia. Pada 1956, ia mundur dari jabatan wakil presiden. Beliau pernah mengatakan bahwa tanggal 3 April 1950 saat Mosi Integral Natsir tentang kembalinya Indonesia dari bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) ke NKRI yang disetujui oleh Parlemen saat itu disebut sebagai Proklamasi kedua setelah Proklamasi pertama pada tanggal 17 Agustus 1945. Simpul bahasannya adalah mengingat jasa Dr. Mohammad Natsir (M. Natsir) dalam mengembalikan Indonesia ke NKRI melalui Mosi Integral.

Kala itu, tokoh Partai Masyumi di Parlemen, M. Natsir, mengajukan gagasan penting, yakni kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). RIS, saat itu dibagi menjadi 16 negara bagian. Sedangkan Wilayah Negara Republik Indonesia hanyalah di sebagian Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. Hal ini imbas dari Konferensi Meja Bundar (KMB); pertemuan antara Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg) yang dilaksanakan pada 23 Agustus hingga 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. Salah satu putusannya yaitu Indonesia harus menerima menjadi Negara Serikat sebagai konsekuensi dari adanya (KMB) di Den Haag, Belanda.

Kurang dari setengah tahun dari sana, sebagai negarawan sejati, M. Natsir melihat ragam krisis di Bumi Pertiwi. Singkatnya, untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah, beliau menyarankan seluruh Negara Bagian bersama-sama kembali ke NKRI melalui prosedur Parlementer via Mosi Integral dan tidak lama dari sana dengan melewati ragam pertimbangan, Presiden Soekarno membubarkan RIS, Pada 17 Agustus 1950 dengan adanya pembubaran RIS ini, maka Bumi Pertiwi resmi kembali diproklamirkan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Betapa besar jasa M. Natsir untuk Bangsa dan Negara yang besar ini, jika kita memandangnya dari sisi sudut pandang refleksi kebangsaan, bahwa kesunyataanya itu adalah M. Natsir sampai detik ini keberadaan beliau di mata rakyat tidak menjadi milik perseorangan dan atau sekelompok organisasi, sehingga sampai detik ini kita bersama-sama dapat belajar untuk menjadi negarawan yang menjembatani nilai-nilai keislaman serta kebangsaan secara menyeluruh dan bersatu, meski perbedaan pendapat yang ada di dunia kebangsaan di itu waktu dalam Organisasi Politik, Masyarakat, Dakwah maupun Sosial, tanpa memandang suku, ras dan agama; bisa bersatu padu dalam satu kesepakatan dalam mufakat, yaitu Bhineka Tunggal Ika.

Benar, bahwa bangsa yang besar bermula dari sosok negarawannya. Sebagai mana Soekarno, Hatta dan M. Natsir sendiri yang sudah memberikan cermin mutlak sebagai guru bangsa jauh dari karakter mitomania dalam jiwa kepemimpinannya, baik dari segi strategi atau sifat berbahaya. Dalam ilmu kejiwaan atau psikologi: Mitomania atau mythomania merupakan suatu kondisi di mana penderitanya memiliki kebiasaan berbohong yang tidak dapat dikendalikan. Kebohongan ini juga dikenal dengan sebutan pathological lying. Mythomania syndrome pertama kali ditemukan oleh psikiater asal Jerman bernama Anton Delbrueck. Pada tahun 1891, Delbrueck memberikan nama pseudologia fantastica untuk menggambarkan sekelompok pasien yang kerap membual disertai unsur khayalan atau fantasi dalam cerita mereka.

Singkatnya, penderita mythomania juga seringkali tidak memiliki motif atau alasan untuk berbohong. Mereka hanya mengucapkan kebohongan itu begitu saja, tanpa alasan atau tujuan tertentu. Parahnya bagi orang yang mengidap mitomania, kebohongan sudah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Kondisi tersebut kemudian merusak nama baiknya. Tak jarang orang dengan kondisi ini memercayai dusta yang diucapkannya, sehingga tak bisa membedakan lagi mana yang fiktif dan mana yang nyata. Simpulnya, dorongan kompulsif untuk berbohong tentang hal besar dan kecil, terlepas dari situasi. Bohong patologis.

Sebagaimana sosok negarawan yang mengalami gangguan kejiwaan ini kita bisa melihatnya dari beberapa contoh tokoh dunia, seperti; Adolf Hitler (Jerman Nazi): ia begitu leluasa menggunakan propaganda besar-besaran untuk membenarkan perang dan genosida. Richard Nixon (AS): Terbongkar dan terlibat secara langsung dalam skandal Watergate dan berbohong kepada rakyat hingga akhirnya mengundurkan diri. Joseph Stalin (Uni Soviet): Ia berperan bak David Copperfield kala beraksi di atas panggung pertunjukan, ia menciptakan ilusi kesejahteraan rakyat, padahal banyak orang kelaparan dalam panggung realitanya.

Seiring waktu yang terus melaju, dunia berubah. Segalanya berubah. Kini, di zaman cyber war ini, kebohongan sengaja diternakkan hingga beranak pinak, melahirkan buzzer-buzzer digit, sebagaimana propaganda Israel pada dunia. Namun bukan hanya dalam sektor kepemimpinan saja, merambah juga pada ragam iklan atau propaganda marketing baik makanan pun obat-obatan yang sesungguhnya bisa membahayakan keberlangsungan hidup bagi si pengonsumsinya di masa depan. Dari itu, laku waspada harus menjadi tanggung jawab bersama demi terjaga dan utuhnya dalam menjalankan hidup dan kehidupan bangsa dan bernegara.

Benar, bahwa kesunyataanya berbohong itu diwenangkan oleh agama sebagai contoh mutlaknya yang sebagaimana kita ketahui bersama, ada seseorang yang dikejar-kejar hendak di bunuh lantas seorang lainnya menyembunyikannya. Namun hal itu merupakan sisi lain yang bukan menjadi kebiasaan atau karakter dan sifatnya, melainkan darurat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kesunyataanya dalam refleksi kebangsaan ini, sudah sejak dari dahulu bahwa guru bangsa kita ini disamping sebagai Negarawan dan atau Nasionalis pun Agamawan sebagaimana contoh mutlaknya adalah Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto., disamping pendiri sekaligus ketua pertama organisasi Sarekat Islam, beliau pun yang melahirkan tiga serangkai atau lengkapnya sebagai guru dari Soekarno, Semaoen, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Alimin, Musso dan Tan Malaka.

Lantas apa hubungannya refleksi kebangsaan dengan hari raya Idul Fitri? Secara umum makna sejati dari Idul Fitri adalah sebuah bentuk syukur dan kebahagiaan setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Secara khusus makna dari idul Fitri adalah kembali ke Fitrah (kesucian jiwa) Kata Fitri dalam Idul Fitri bisa bermakna ‘fitrah’ (kesucian). Idul Fitri adalah momen kembalinya seorang Muslim ke keadaan suci, sebagaimana bayi yang baru lahir, setelah menjalani puasa dan ibadah lainnya di bulan Ramadan.

Kegembiraan menyambut kemenangan ini masih terasa sampai tulisan ini dituliskan, yang mana momentum refleksi kebangsaan sebagai satu sisi kembalinya NKRI dari RIS, sebagai salah satu dari cerminannya yang terbebas dari rongrongan godaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan jumlah penduduk terbesarnya beragama Islam. Sudah sepatutnyalah sebagai umat terbesar harus mampu menjaga keutuhan NKRI ini dari segenap rongrongan sehingga makna suci dalam arti komplek bisa terus dirasakan oleh pewaris mutlak bangsa ini, yaitu anak-cucu kita di masa depan. Dengan merapatkan barisan, bersatu teguh menjaga kedaulatan dari ragam tipu daya yang membahayakan seluruh elemen bangsa. Waspadalah! [Li]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *