Opini Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Di zaman serba instan ini semuanya ingin serba praktis plus tak mau rugi. Wajar kalau terjadi perang garansi. Garansi bertujuan untuk melindungi pembeli dari kerusakan atau cacat yang mungkin terjadi pada produk. Garansi dapat berupa: Perbaikan produk, Penggantian produk, Pengembalian uang. Pada umumnya gambaran garansi itu memiliki syarat dan ketentuan yang berlaku. Syarat-syarat tersebut biasanya tercantum dalam surat garansi, yang berfungsi sebagai jaminan atau tanggungan yang diberikan oleh penjual atau produsen kepada pembeli atas produk yang dijual.
Namun dalam kesunyataanya, garansi merambah ke segenap sektor, tampa lagi ada surat jaminan. Cukup dengan oral saja. Uniknya sampai terjadi di warung kali lima. Namun makna garansi mengalami perubahan nilai dan makna, tidak hanya ditukar dengan barang serupa, tapi bisa diganti dengan barang yang berbeda baik secara nominal lebih tinggi atau rendah, hanya cukup dengan diksi sepakat saja; akad terlaksana dengan lancar dan penuh keharmonisan. Umumnya kaum kapitalis dalam menggaet market kerap menggunakan hal itu, tak jarang juga diembeli dengan ganti rugi sepuluh kali lipat dari harga barang.
Di dunia-dunia hiburan pun sama, garansi jadi buruan prioritas bagi para konsumennya, semisal di klub-klub malam, seperti karoke, misalkan; konsumen bisa dengan leluasanya mengganti Pemandu Lagu, sesuai selera meski bukan giliran jam kerjanya. Nilai atau makna dari diksi garansi kian bergeser jauh, terpenting konsumen senang, nyaman, puas dan bahagia, tanpa lagi mempertimbangkan sisi lainnya. Imbas dari garansi ini lamat-lamat membunuh tanpa jejak. Mau tidak mau semuanya harus mengikuti sistem tersebut.
Service. Service! Service? Imbas dari menuhankan service demi kepuasan konsumen ini kian menjalar ke segenap sektor, termasuk ke ranah ritual. Hal ini bukan lagi momok wacana yang eksklusif melainkan masif dan terstruktur bak dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, kala berselancar di canal-canal medsos, dalam perspektif dakwah semisal tak jarang banyak para pendakwah menjaminkan dirinya bahwa dialah yang paling terbaik membawa umatnya sehingga beradu fatwa tanpa tedeng aling-aling, saling menjatuhkan. Padahal siapa orangnya yang bisa membodohi nuraninya sendiri?
Benar apa yang dikatakan pepatah, jika kita ingin mengetahui utuh dalaman sebuah bangunan maka berjaraklah dulu dengan objeknya. Katakanlah sebagai sampelnya itu agama. Agama Islam, misalkan. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh ustadz Felix Siauw dalam sebuah wawancara di sebuah podcast berkata; “Saya kalau belajar Islam dari muslim, maka saya gak bakalan masuk islam. Di situlah saya baru ngerti.” Maksudnya, beliau tidak akan masuk Islam kalau beliau belajar dari muslim. Jadi sebenarnya kalau kita mau.memperdalam islamnya saja; amat sangat damai.
Artinya Islam itu menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Namun yang sempurna itu kitab dan agamanya, bukan manusianya, tapi yang kita alami sekarang; manusia merasa Islam dan atau sudah menjadi muslim sejati dengan indikatornya adalah; Oh, agama saya itu sempurna. Kitab saya sempurna, berarti saya lebih sempurna ketimbang Anda yang bukan Islam dan atau muslim. Merasa dirinya begitu sempurna, bahkan merasa lebih unggul dengan sesama muslim pun, artinya; saya lebih baik daripada Anda. Jauhnya saya lebih taat. Saya lebih bijak. Di sini pun makna dan nilai garansi kembali bergeser dengan meg-garansi-kan dirinya sendiri dengan begitu pedenya.
Padahal, mendengarkan nasihat dari luar dirinya itu merupakan bagian dari kewajiban umat Islam, karena Islam adalah agama nasihat. Umat Islam juga dianjurkan untuk memberi nasihat kepada sesama muslim. Jika kita kembali menengok ke paraghraph atas, bahwa salah satu dari fungsi garansi itu adalah; garansi bertujuan untuk melindungi pembeli dari kerusakan atau cacat yang mungkin terjadi pada produk. Artinya yang sempurna itu kitab dan agamanya (produk). Kita sebagai pengamal (pengguna) ‘produk” sudah merasa sempurna dan tak perlu diperbaiki, sudah merasa mahir dalam menggunakan (menjalankannya) “produk”. Padahal jelas-jelaslah kita yang salah dalam (menggunakan) mengoperasikannya “produk’ itu. Namun dengan pedenya memberikan garansi kepada orang lain.
Begitu pun pada kontestasi pilkades, pilkada, pileg, pilgub, sampai pilpres, begitu pedenya saling melelang garansi jika terpilih. Lupa pada hakikat hidup yang sebenar-benarnya hidup dalam menjalankan roda hidup dan kehidupan di bumiNya. Lupa pada sabdaNya: “Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati”. [QS. Al Hadid : 6], “Sesungguhnya dia (Allah) maha mengetahui segala isi hati”. Allah SWT mengetahui apapun yang tersirat dan juga yang dilakukan oleh makhluknya”. [QS. Al Mulk : 13-14].
Dan “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang yang baik, maka sungguh, Dia Maha Pengampun kepada orang yang bertobat”. [QS. Al-Isra’ : 25]. Musabab dari itulah kenapa nurani tak bisa diintervensi baik oleh dirinya sendiri? Itulah garansi Tuhan atas Rahman-rahimNya untuk kita, guna bisa tetap di jalur yang Diridhoi-Nya. Laju pertanyaan turunannya adalah; adakah kita termasuk ke dalam orang yang tak pernah melakukan perbuatan dalam kriteria dzalim? Hanya masing diri pribadi lah yang mampu menjawabnya dengan baik dan sempurna. Waspadalah dengan garansi atau akad yang dipatenkan dan apungkan oleh laku diri kita sendiri.
Sebagai contoh mutlaknya yang ada di sekitar kita, banyak sudah yang beralibi tidak pernah membaca pesan WA dari yang menghubunginya. Selintas pintas, alibinya itu benar. Namun secara tabayun, ketika centang birunya dimatikan, objek lupa dalam pantauan subjek bahwa tulisan online akan menyala ketika pesan itu dibaca oleh si penerima dan si pengirim cukup senyum saja. Artinya kenapa wa menyediakan privasi sekaligus membocorkannya juga bagi yang sabar memantau? Jawabannya itu mutlak kembali pada garansi alias tidak ingin mengecewakan kedua belah pihak. Laju siapakah pelaku dzalim itu sesungguhnya? Tidak ada makhluk lain selain manusialah pelakunya, sebab hanya satu-satunya makhluk yang diberi akal di muka bumi ini.
Dari itulah mengapa akad itu penting sebelum mengambil putusan; apa pun itu persoalannya? Sebab akad atau perjanjian penting bagi manusia karena menjadi dasar, pedoman, dan pengikat hubungan antara pihak-pihak yang terlibat. Akad juga membantu memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Musabab itulah mengapa penekanannya sebagai berikut; akad yang telah memenuhi rukun dan syarat akad, dinyatakan sebagai akad yang sahih. Tindakan para pihak dalam melakukan akad berimplikasi pada timbulnya hak dan kewajiban. Maka, secara esensi dan atau maknawi, akad yang sahih itu bisa dikatakan garansi yang disahkan oleh hukum agama yang bersumber langsung dari sabda Tuhan: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”. [QS. Al-Maidah ayat 1]. Waspadalah! [Li]
***
Tulisan lainnya dari Lintang Ismaya bisa diakses di https://whatsapp.com/channel/0029Vb56zYQ6hENqDu