Opini Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama baik dalam ruang ilmiah seperti seminar dan belajar bahwa air merupakan unsur terbanyak yang ada di bumi, benarkah? Pada kesunyataanya air bukan unsur terbanyak di Bumi, melainkan oksigen. Namun, air merupakan senyawa yang sangat melimpah di Bumi dan menutupi sebagian besar permukaannya. Dan benar adanya bahwa pencemaran air dapat menurunkan kualitas air dan menjadi beracun bagi manusia dan lingkungan. Pencemaran air dapat mengakibatkan krisis air tawar, mengancam sumber-sumber air minum, dan kebutuhan penting lain bagi manusia dan makhluk hidup lain.
Terlepas dari unsur apa yang terbanyak ada di bumi, Flether Prouty pernah menjelaskan tentang penemuan dan penggunaan istilah “Bahan Bakar Fosil” dalam wawancara di tahun 1994. Dalam wawancara tersebut, Prouty mengklaim bahwa Rockefeller dan tim sainsnya yang mengusulkan istilah “bahan bakar fosil” pada Konvensi Jenewa 1982. Namun, klaim tersebut adalah hoaks. Istilah “bahan bakar fosil” sudah ada sejak lama, dan diciptakan oleh ahli kimia Jerman bernama Caspar Neumann pada tahun 1759. Istilah tersebut dapat ditemukan dalam indeks terjemahan dari buku The Chemical Works of Caspar Neumann yang diterbitkan pada tahun 1759.
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama dalam pelajaran IPA, minyak bumi adalah campuran hidrokarbon yang terbentuk dari sisa-sisa organisme yang tertimbun jutaan tahun. Minyak bumi dapat berupa cairan, gas, atau padat. Sementara dalam ilmu geologi, terjadinya minyak bumi itu dari adanya fosil hewan pohonan dan manusia yang sudah terkubur ribuan tahun. Singkatnya minyak bumi merupakan salah satu jenis bahan bakar fosil yang berasal dari sisa-sisa makhluk hidup masa lalu, seperti fitoplankton, biomassa laut, dan ganggang. Di sisi lain, wacana tersebut kembali mencuat ke permukaan, seiring harga minyak mentah naik di beberapa negara, sebagaimana di Indonesia sebagai salah satu penghasil minyak bumi mentah.
Menurutnya Minyak adalah cairan kedua yang paling banyak di bumi (setelah air). Menetapkan harga minyak seperti menetapkan harga air. Anda tahu, tidak ada biaya mentah pembuatannya di lapangan. Dan pada masa itu sebagian dari mereka hampir apa yang Anda sebut surface mining the oil itu tidak turun terlalu dalam, jadi untuk menaikan harga; mereka menemukan ide bahwa mereka harus membuatnya tampak langka, setelah kita mengambil beberapa barel berikutnya. Kita harus segera menutupnya.
Ya, hal semacam itu di tahun 1892 ada sebuah konvensi saintis di Jenewa untuk menentukan unsur organik makhluk hidup itu apa saja. Pada konvensi Jenewa ini Rockefeller memanfaatkan dengan mengirimkan beberapa ilmuan, mereka mendefinisikan minyak; mereka (satu kesatuan unsur minyak) merupakan sisa dari materi yang secara formal pernah hidup, hal itu menjadikannya bahan bakar fosil. Saya tidak tahu mengapa mereka memutuskan menggunakan kata fosil, tapi dikatakan bahwa materi yang hidup sebelumnya adalah fosil. Dan hal lain yang harus kita ketahui adalah bahwa tidak pernah ada fosil. Fosil asli ditemukan di bawah 16.000 kaki.
Sementara kita menambang minyak atau kita mengebor minyak pada kedalaman 30.000 kaki, 33.000 kaki, dan atau 28.000 kaki setiap hari dalam seminggu. Jadi, di situ kita mengesampingkan kemungkinan bahwa itu bukan bahan bakar fosil. Hal itu disebut bahan bakar fosil untuk pikiran masyarakat guna merasa bahwa itu adalah aset yang hampir habis. Dan sebenarnya jika Anda mengetahui persediaan minyak dunia bahwa itu tidak akan habis dengan waktu yang sangat lama. Yang menggangu saya adalah di buku geologi itu ada di sana, para ahli geologi mengatakan itu adalah bahan bakar fosil. Entah bagaimana, mereka dibeli untuk menciptakan harga dunia.
Dengan kata lain, tidak, harga di sana dan di sini berbeda. Tapi, mari kita tetapkan harga dunia. Itulah tujuan mereka. Mencermati pemaparannya yang singkat padat dan lugas ini, saya jadi teringat pada satu kata yang ada di dalam Al Qur’an, yakni kata mar’aa. Sebelum ke dalam Al Qur’an yang menyimpan diksi atau kata mar’aa, mari kita melihat dulu dalam makna bahasa arabnya terlebih dahulu; Diksi atau kata mar’aa itu dalam bahasa arab banyak maknanya: Bisa al-Kalaa’ dengan arti rumput. Bisa An-Nabaat dengan arti tumbuhan. Bisa al-dihnu dengan arti minyak. Bisa juga as-syahmu dengan arti lemak.
Jauhnya dalam kamus Al Munawir karya Ahmad Warson Munawwir makna kata mar’aa itu memiliki banyak arti serta makna turunannya, salah satunya ada kalimah amro’a ro’sahu bid-duhni yang bermakna meminyaki, mengusap dan menggosok. Musabab adanya imbuhan (me) itu adanya penambah Hamzah dari mar’aa/mar’un/mar’aa jadi amra’a. Seperti-halnya kata karoma yang artinya mulia yang ditambahkan Hamzah di awal jadi akhroma yang artinya jadi memulyakan.
Memang dalam bahasa arab, kata mar’aa pun bisa diartikan rumput. Namun pertanyaannya jenis rumput yang bagaimanakah yang bisa berbuih hitam kehijau-hijauan atau kemerah-merahan itu? Pertanyaan turunannya itu minyak mentah warnanya apa? Tida lain jawabannya sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama adalah hanyalah berwarna hitam ke hijau-hijauan atau hitam kemerah-merahan. Mari kita tengok QS. 70 : 46 : Akhraja minha maa-aha wa mar ‘aaha. artinya: Darinya Dia pancarkan mata air, dan (ditumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.
Simpulnya kata mar’aa dalam bahasa arab itu bukan sekadar dipakai untuk mengartikan rumput dan atau tumbuhan saja, tapi bisa juga memiliki arti minyak. Mari kita simak QS. 87 : 1-5: “Sabbiḥisma rabbikal-a’lā, allażī khalaqa fa sawwā, wallażī qaddara fa hadā, wallażī akhrajal-mar’ ā, fa ja’ alahụ guṡā`an aḥwā” artinya: “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.” Kelima ayat tersebut sebenarnya satu paket atau satu kesatuan utuh yang tak dapat dipisahkan yang mana makna utama nya ada dalam ayat ke lima.
Mari kita mencoba menganalisanya dari terjemahan tersebut; secara simpulan terjemahan tersebut terlalu dipersingkat, padahal kalau diartikan secara per kata dalam terjemahnya itu bakal berbeda. Kita ambil saja dari terjemahan ayat ke 4-5 maka akan memiliki makna sebagai berikut: “yang telah mengeluarkan rumputan/minyak, lalu menjadikannya berbuih kehitam-hitaman._ Jadi kata gutsaa’an yang akar kata-nya itu itu adalah ghotsia artinya: al-zabad, alias buih. Sementara kata ahwaa yang akar kata-nya dari kata hawiya itu memiliki dua makna: 1. Memiliki arti jam’un yaitu terkumpul. 2. Memiliki arti huwwatun, artinya hitam kehijau-hijauan dan hitam kemerah-merahan.
Jika ditelusuri lebih jauh, hal ini menunjukkan kembali kepada pertanyaan di atas: kalau minyak mentah itu warnanya apa? Tentu saja warnanya itu hitam ke hijau-hijauan atau hitam kemerah-merahan. Laju pertanyaan susulannya: kenapa di dua ayat tersebut memakai kata akhroja dua-duanya, yang artinya mengeluarkan? Sebab mar’aa itu adanya di dalam (perut) bumi. Musabab itulah dalam surah ke satu QS. 70 : 46 yang sebelumnya ada kata minhaa sebab bunyi ayatnya itu akhroja minhaa maa’ahaa wa mar’aahaa yang kalau diterjemahkan secara lengkap per kata maka akan memiliki arti sebagai berikut: “Ia telah mengeluarkan dari bumi tersebut air bumi dan minyaknya.” Dengan adanya pilihan bahasanya itu mengeluarkan, hal tersebut menunjukkan dari dalam.
Sebagai penegas sekali lagi: Memang dalam bahasa arab, kata mar’aa pun suka diterjemahkan rumput, tetapi pertanyaannya jenis rumput yang bagaimanakah yang suka berbuih hitam kehijau-hijauan itu? Sebenarnya ada juga ayat lain yang menunjukan sesuatu di dalam bumi itu yaitu QS. 38 : 27 : “Wa mā khalaqnas-samā`a wal-arḍa wa mā bainahumā bāṭilā, żālika ẓannullażīna kafarụ fa wailul lillażīna kafarụ minan-nār” Artinya: Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.
Petunjuknya dari surah di atas itu ada dalam kata bainahumaa yang artinya antara kedua nya. Jadi intinya itu langit, bumi, pun segala yang ada di antara langit dan bumi, dan segala yang ada di dalam langit, dan segala yang ada di dalam bumi itu tidak ada yang sia-sia. Kesemuanya itu memiliki hikmahnya masing-masing, dan ada manfaatnya.
Kembali ke Pokoh bahasan: Bahwa kesunyataanya bisa jadi juga, minyak bumi itu muasal bahannya dari rumputan; muasal penciptaannya. Atau bisa jadi juga yang dimaksudkan berbuih hitam kehijau-hijauan itu gunanya untuk menunjukkan perihal pupuk organik. Musabab itulah mengapa bahasa Al-Quran itu luar biasa, dari mar’aa saja sudah banyak tafsir, makna atau arti untuk jadi bahan renungan kita bersama. Intisarinya itu adalah kala mengartikan diksi mar” itu jangan sekadar mengartikan sebagai rumput saja. Soalnya adalah penggunaan kata mar’aa pun dalam bahasa arab itu suka diartikan sebagai minyak.
Sebagaimana dalam tafsir Durrul Mantsur itu karya Syeikh Jalaluddin As-Suyuuthi lebih menarik lagi, secara inti bahasanya sebagai berikut; Dalam isi tafsir kata mar’a itu ditafsirkan sebagai An-Nabaat, artinya tumbuhan, tapi kata gutsaa’an dan kata ahwaa dalam penafsirannya itu berbeda-beda; Ibnu Abbas itu nafsirkan kata gutsaa’an itu dengan kata hasyiim artinya kering; sementara kata ahwa ditafsiran oleh beliau itu dengan kata mutagoyyir artinya berubah. Sementara Qotadah menafsirkan kata gutsaa’an itu dengan kata as-syai’ al-baalii, artinya sesuatu yang rusak. Sementara kata ahwaa ditafsiran oleh beliau dengan kata: ashfar (kuning), akhdor (hijau), abyadl (putih), dan yaabisan (kering). Demikian juga dengan Mujahid bin Jabir menafsirkan kata gutsaa’an itu dengan kata gutsaa’as-saili artinya buih mengalir. Sementara kata ahwaa ditafsiran oleh beliau dengan kata aswad yang mengandung arti hitam.
Jadi, manakah yang benar itu secara tafsir? Wallahu a’lam. Terang dan jelas intisari dari kesemuanya itu bahwa Al-Qur’an membahasakan (menggunakan) kata mar’aa, kata gutsaa’an, dan kata ahwaa. Artinya, arti atau makna yang sebenarnya itu Wallahu a’lam. Lain halnya kalau kita menengok di luar bahasan ini, misalkan pada fenomena adu dalil dan Hadits, sebagai contoh kasusnya.
Ya, diakui atau tidak masih saja banyak pendakwah yang menentang pendakwah lain dengan Hadits nabi yang dibantah dengan Hadits nabi lagi. Bak dua materi terbesar sebagai penghuni bumi yaitu air dan minyak yang bermukim di dalam perut bumi, yang tak pernah mau menyatu.
Misalkan, pendakwah (A) menggunakan Hadits nabi. Kemudian pendakwah (B) kembali menggunakan Hadits nabi sebagai sanggahannya untuk pendakwah (A) yang lebih dulu ceramah dengan jamaah yang sama. Jelas sudah hal itu sama saja tengah mengadudomba diri nabi dengan perkataanya atau Haditsnya nabi sendiri.
Misalkan jawaban dari telaahnya itu adalah; Telaah punya telaah di situlah pentingnya mengetahui sejarah atau asbab turunnya Hadist tersebut dalam keadaan apa? Sebagaimana Hadits nabi untuk orang Badui dengan Hadist nabi untuk para sahabat sangan berbeda penjelasannya, meski bahasannya sama. Artinya di sini bukan tentang memperkarakan perbedaan madzhab, tarekat atau tafsir sehingga nampak berebut materi, tetapi telaah punya telaah, salah satu pendakwah itu tidak pernah mau tahu posisi jemaahnya itu (dengan jemaah yang sama) sudah sampai pada tingkatan makom apa, misalkan? Contoh sederhananya; apakah layak kaum “Muhajirin” atau kaum “Badui” langsung dikasih bahasan menggunakan kitab Hikam dengan Hadits nabinya pun yang bukan untuk kaum mereka, misalkan?
Fenomena seperti inilah yang kini tengah marak terjadi musabab tidak pernah ingin tahu asbab turunnya Hadits itu dalam keadaan apa, yang terpenting bisa mematahkan pendakwah sebelumnya. Jelas sudah tanpa disadari tengah mengadu domba rasul dengan Haditsnya sendiri. Andai kata rasul saw., masih ada, serta tahu hal itu niscaya beliau tidak akan pernah sakit hati, kemungkinan besarnya itu adalah beliau mendoakannya untuk lebih dibukakan pintu hidayah dalam memahami Hadits-haditsnya beserta penempatannya.
Kembali kepokok bahasan; secara logika apa yang dikatakan oleh Flether Prouty bahwa minyak bumi itu bukan berasal dari fosil dengan logika kedalaman mengebor bumi yang berbeda jarak sampai ribuan kaki, maka apa yang dikatakannya itu boleh jadi merupakan hal yang benar, dalam makna yang sebenar-benarnya benar, sebagaimana telaah dalam kandungan ayat Al Qur’an. Dimana posisi kita sudah terbawa arus globalisasi dengan kampanye akbar, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rockefeller dan tim sainsnya. Jauhnya merambah pada kesepakatan ilmu IPA dan ilmu geologi. Imbasnya kita menjadi korban dari kebohongan bersama dan celakanya lagi; kita tidak ingin tahu lebih jauh juga atau mencari kebenaran mutlaknya baik dalam ‘tabayun” pun “muhasabah.”
Padahal ayat pertama turun dengan diksi iqra (baca) yang bunyi lengkapnya: “Iqra bismi rabbika lazi khalaq” artinya “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. Atau bisa jadi juga dan jangan-jangan para ilmuwan penemu teori IPA dan Ilmu Geologi pun tidak pernah ingin mengoreksi kembali ketika teori minyak bumi itu bersumber dari hasil fosil, terpenting sudah menjadi teori baku yang sudah disepakati dunia. Atau jangan-jangan mengetahui, tetapi membiarkan kebohongan itu menjadi kebenaran. Imbas jauhnya bisa menggugurkan pembacaan dalam perkata di tiap ayat Al Qur’an, bagi yang iman dan taqwa-nya baru sebatas mulut belum sampai ke kerongkongan, sebagaimana para pendakwah karbitan, terpenting bisa dakwah sudah cukup, tanpa ingin memperdalam ilmu lagi hingga kian jauh mengetahui kebenaran sejatinya baik sejarah ayat pun Hadits. Boleh jadi juga, kita sebagai salah satu negara penghasil minyak mentah terbesar sudah mengetahuinya, tetapi hukum dunia berkata: kebohongan bersama dalam tubuh lembaga terkait itu wajib dipetakan demi harmonis tercipta. Wallahu’alam. [Li]