Esai Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Berbicara ucapan selamat hari raya idul Fitri yang berseliweran, utamanya di canal-canal media sosial pada dasarnya copy paste. Jarang sekali dengan yang murni dibuat dari hati terdalam si pengirim. Meski secara esensi mewakili si pengirim. Namun tak bisa sampai pada hati si penerima.
Berbicara kata-kata tak bisa dilepaskan dari rasa itu sendiri. Sebagaimana sabda Rasul yang bisa sampai ke lubuk hati. Atau sebagaimana para sastrawan yang menuliskan buah pikirannya meski kaya dengan metafora, kala kita membacanya ada daya mistis dan tenung yang mengantarkan kita untuk sampai ke lubuk bahasa.
Kata-kata memang sekadar kata-kata, tak ada yang berubah secara drastis dalam susunan kamus pun dengan pembendaharaan kata di ruang ingatan masing pribadi insan. Hal ini membuktikan minimnya jejak baca para pengirim ucapan. Jika dihubungkan dengan konsep ibadah shalat, sekadar cupar kana kawajiban ukur cukup ngalaksanakeun sholat tanpa didasari khusyuk.
Sebagaimana laku diri kita di keseharian dengan rutinitas kerja yang sudah terpola dengan sistematis. Masih saja ingin mempersingkatnya, yang terpenting benang merahnya sampai. Padahal, tidak semua orang bisa mengerti secara singkat dan padat tentang sampai pada makna. Ada juga yang perlu dengan pembahasan verbal. Hal ini berhubungan erat dengan intelegensi masing pribadinya yang tak bisa lepas dari ruang sosiologi dan psikologinya.
Lantas harus bagaimanakah semestinya kala mengucapkan selamat dan permohonan maaf, apakah harus murni dari bahasa sendiri yang keluar dari kalbu? Tentu saja jawaban ini pun bisa dikata ya dan tidak, mengapa? Sebab secara teknis, getar rasa untuk kembali lagi dirasakan oleh rasa si penerima itu memerlukan resonansi yang sama.
Kembali pada fenomena ucapan selamat dan permohonan maaf, apakah sekadar copy paste itu salah? Jawabannya kembali pada dua makna ya dan tidak, mengapa? Ada banyak hal untuk bisa menjawabnya, salah satunya yaitu menengok atmosfer zaman yang sudah serba instan. Makanan instan secara tanpa disadari memengaruhi pola pikir instan. Jauhnya sekadar cukup dalam penuhi kewajiban. Imbasnya dengan basa basi saja pun sudah merasa cukup untuk diapungkan dalam sapa ucap selamat dan permohonan maaf.
Dan banyak lagi jawaban lainnya untuk dituliskan dan atau dibahasakan dalam penjabaran bahasan. Dunia memang berubah bukan sekadar konteks peradaban saja melainkan dalam pola pikir yang kembali didukung dengan Hadirnya aplikasi AI. Sehingga kita adalah sisa-sisa kian mengokohkan identitas siapa sebenarnya kita hari ini dan masa depannya akan seperti apa, sudah bisa tersketsa sejak dini. Meski pun jawabannya kembali pada ya dan tidak.
Lepas dari itu, berbicara tentang konteks peradaban, ungkapan kita adalah sisa-sisa menyoroti sifat dinamis dan siklus dari peradaban itu sendiri. Peradaban tidak pernah statis, melainkan terus mengalami perubahan, pertumbuhan, dan kemunduran. Setiap peradaban meninggalkan jejaknya dalam bentuk artefak, bangunan, teks, dan gagasan yang kemudian diwarisi oleh peradaban berikutnya. Namun, tidak semua aspek dari peradaban tersebut akan bertahan. Seiring waktu, beberapa aspek akan hilang atau terlupakan, sementara yang lain akan tetap relevan dan mempengaruhi peradaban berikutnya. Dengan demikian, setiap peradaban adalah “sisa-sisa” dari peradaban sebelumnya, yang terus berproses dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Manusia, sebagai bagian dari peradaban, juga merupakan “sisa-sisa” dari masa lalu, yang terus berproses dan beradaptasi dengan perubahan zaman.
Ungkapan “kita adalah sisa-sisa” mengandung makna mendalam tentang posisi manusia dalam arus waktu dan peradaban. Manusia, sebagai individu maupun kolektif, adalah produk dari sejarah panjang yang penuh dengan peristiwa, gagasan, dan pencapaian. Setiap generasi mewarisi warisan dari generasi sebelumnya, baik berupa pengetahuan, teknologi, maupun nilai-nilai budaya. Namun, warisan ini tidak pernah diterima secara utuh. Manusia selalu memilih, memodifikasi, dan menafsirkan ulang warisan tersebut sesuai dengan konteks dan kebutuhan zamannya. Dalam proses ini, beberapa aspek dari warisan tersebut akan hilang atau terlupakan, sementara yang lain akan tetap relevan dan berkembang.
Sebagaimana fenomena tahunan dalam ungkapan ucapan selamat dan permohonan maaf merupakan bukti konkret yang otentik bahwa kita adalah sisa-sisa dari ungkapan dan bahasa yang sudah ada dengan cukup mengcopy paste saja. [Li]