Sampah !!! Perspektif dari Seorang Penulis

Oleh : Yusran Arifin

Mengatasi problem, tidak akan bisa tuntas mutlak sempurna. Ketika menghadapi masalah, acap kali terjadi problem baru datang mengganti. Tapi yang aneh, malah datang dari media solusi yang dipakai untuk mengatasinya

Bacaan Lainnya

Dalam mengatasi problema penyakit, tidak seorang dokter pun akan sanggup memberikan resep (obat) yang sempurna, untuk mengatasi penyakit, tanpa efek samping.

Dalam sebuah cerita dari China, ada kisah seorang tabib memberikan obat kepada pasiennya dengan 50 butir obat tradisional. Konon hanya satu butir obat yang fokus untuk penyakit si pasien. Sedang yang 49 butir lagi merupakan obat untuk mengatasi efek samping dari obat yang diberikan itu dengan masing-masing mengatasi efek samping berikutnya.

Apakah keadaan seperti ini merupakan sunatullooh? Apakah manusia masih dibolehkan melakukan upaya yang bisa menuntaskan secara komprehensif?

Seperti halnya problem sampah di sekitar kita. Di halaman dan juga di jalan-jalan yang kita lewati. Konsekuensi sampah itu sendiri, merupakan efek dari upaya mengatasi problem. Bahwa sampah yang terproduksi manusia tidak pernah berdiri sendiri tanpa adanya mata rantai kausalitas yang saling melepaskan diri.

Sampah yang diakibatkan dari bungkus lemper, misalnya, berawal dari manusia untuk mengatasi  problem, salah satunya masalah lapar. Bagi banyak orang bila berada dalam perjalanan, solusi paling sederhana untuk mengatasi persoalan perut untuk tetap bertahan dalam rasa aman, maka seseorang bisa dengan sedehana membawa lemper.

Tapi lemper pun bisa lebih dari sekedar solusi agar seseorang bisa tetap bertahan hidup, lebih kompleks dan ada banyak relevansi, semisal dengan produksi pertanian; gabah dan beras, jasa perdagangan, kuli di sawah, pabrik pupuk, vestisida, dsb. Semuanya itu, beresiko menghasilkan sampah pula.

Intinya sampah relevan dengan berbagai kegiatan hidup manusia. Dari satu cara mengatasi problem hidup ke berbagai problem hidup lainnya. Intinya, sampah suatu keniscayaan untuk ditolak dari kehidupan.

Dalam konsep alam tak ada istilah sampah. Sampah adalah material kehidupan merupakan bagian dari siklus yang tak putus, tak berujung. Semua yang berlaku secara alami akan kembali didaur ulang oleh kesanggupan alam lainnya menjadi fungsi baru. Ketika mahluk hidup mulai kehilangan daya hidupnya, ia akan didaur oleh kekuatan lain dari alam.

Semisal pohon yang berdahan dan berdaun. Daunnya mengalami penuaan dan gugur, jatuh ke tanah dan tanah akan meleburnya menjadi humus baru. Maka kebaruan humus itu akan menjadi pupuk bagi tumbuhan lain yang masih bertahan hidup.

Hanya dalam konsep manusia, kemudian daun yang jatuh ke halaman rumah, lahir istilah sampah. Bisa terdefinisikan, sampah adalah benda-benda sisa yang tak lagi bermanfaat bagi kehidupan. Jika dibiarkan akan menimbulkan masalah baru bagi hidup manusia.

Sampah yang ada di sekitar kita, umumnya di Kota Tasikmalaya, masih saja menjadi problem krusial yang masih sulit solusinya. Apa lagi bila ditarik benang merah dari tagline Kota Tasikmalaya, “Tasik Kota Resik” secara maknawi narasi filosofis ini menjadi anomalistik yang kerap sulit menemukan ujung benangnya.

Pasca Kota Tasikmalaya “menetas” dari Kabupaten Tasikmalaya tahun 2001, dengan bayang-bayang Adipura nota bene sebuah penghargaan atas prestasi kebersihan, terasa anti klimaks dan sampai kini belum memberi visual konkret tentang itu untuk bisa kembali maujud. Adipura serasa anomalis mengejek kita. Sebab kebersihan yang menjadi saksi atas hadirnya Adipura baru (2023), mungkin hanya disekitar yang tertangkap kamera kurator?

Itu adalah sampah dengan wujud verbal. Jika ditarik secara konotatif, maka definisi sampah bisa lebih universal. Misalnya sampah masyarakat, sampah pikiran. Apakah itu tidak lebih rumit untuk mengatasinya?

Teringat perbincangan dengan Pangersa KH. Aminuddin, Cawalkot dari Ponpes Silalatul Huda, Paseh.

“Persoalan apa yang dihadapi Kota Tasikmalaya paling krusial saat ini untuk dibenahi, Pak Kiyai?”

“Akhlak, Kang!” Ujarnya.

Teringat pula ucapan Pangersa Ustad H. Dede Muhammad Muharam, Cawalkot dari PKS. Kerap menggunakan pepatah ini, “Ikan busuk berawal dari kepala, bila pemimpinnya kurang baik akan berpengaruh buruk kepada bawahannya.”

Maka secara majaj, ternyata sampah itu lebih banyak lagi. Perlu perjuangan keras semua masyarakat untuk bersinergi. Terutama kerja keras dan keinginan pemimpinnya (Wali Kota), agar semua menjadi bersih. Baik verbal maupun bersih konotatif. Bersih itu indah. Kebersihan itu sebagian dari iman,

”Annadhofatu Minal Iman.”

Adakah pilkada 2024 ini kita akan menemukan seorang calon pemimpin yang konsen dan istiqomah ke arah tagline itu? “Tasik Kota Resik”. Setidaknya punya gagasan serta konsep konkret yang bisa dipahami di ruang logik?

 

Tasikmalaya, 12 Juni 2024.

Penulis adalah penyair.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *