Oleh: Yusran Arifin
Salah satu problem krusial Parpol adalah kesulitan mencetak kader potensial untuk dijadikan calon pemimpin, yang akan disertakan dalam kontestasi Pilkada. Hal ini terindikasi dengan adanya Parpol yang gamang menentukan kader yang pantas mendapat mandat, maju sebagai kandidat ke arena kontestasi.
Banyak Parpol kebingungan dan gamang, kurang siap menentukan kandidat untuk disodorkan ke masyarakat pemilih. Lebih lucu lagi, ada yang tidak percaya pada kadernya, malah lebih tertarik figur lain dari luar Parpol.
Bisa saja, sikap seperti ini bukan sebab ketidakpercayaan terhadap kader sendiri, atau takut kalah atas Parpol lain. Mungkin semacam strategi, untuk mendapatkan Balon lebih berkualitas yang akan disembahkan kepada masyarakat. Indikasi ini dibuktikan dengan proses seleksi yang ketat. Demi mendapat kandidat mumpuni, dibutuhkan antrian panjang para Balon mendaftar dengan banyak syarat yang rumit.
Ketidak-percayaan pun tidaklah mutlak sebab alasan kualitas yang disangsikan. Ketidak-percayaan Parpol terhadap siapapun, baik kader organik maupun “naturalisasi”, semata sangat relevan dengan popularitas dan elektabilitas Balon, demi kemenangan. Hal ini pun, sangat terkorelasi dengan kesiapan Balon memiliki modal atau ada sponsor yang mensuport.
Ketidak-percyaan ini, berakibat pada banyak balon “naturalisasi”, bukan kader organik mengantri daftar untuk minta dipilih, ditetapkan menjadi calon yang dipercaya mewakili Parpol tersebut. Apakah tindakan Parpol seperti ini, merupakan satu kecerdasan atau sikap tidak percaya diri, tidak kah justru mendegradasi marwah parpol yang akan memperburuk kepercayaan masyarakat akan kiprah Parpol dalam proses pengkaderan?
Apakah sikap seperti ini tidak malah membuka peluang terjadinya keretakan di tubuh Parpol, mengakibatkan dukungan menjadi tidak utuh dalam satu komando saat mengikuti pertarungan Pilkada? Terbukanya peluang “khianat” kader yang tak mendapatkan kepercayaan, mungkin akan menggembosi Parpolnya sendiri?
Ketidakpercayaan diri pun tampaknya dipicu oleh kuatnya ambisi yang membebani pundak Parpol untuk memenangkan kontestasi dan berkuasa. Tampaknya dari hasrat berkuasa ini, jangankan hal yang dibolehkan, bahkan suatu yang dilarang pun kadang dilakukan Parpol demi kemenangan. Keinginan yang terlampau kuat, seringkali mengalahkan keinginan lain yang tidak relevan dengan keinginan utama.
Memang dalam pertarungan perebutan kekuasaan antara para kandidat yang di belakangnya nota-bene ada kekuatan Parpol tak lagi bisa diharuskan adanya sikap ksatria atau sportivitas pertarungan, seperti yang seharusnya dalam aturan, justru sering terjadi adanya beberapa indikasi kecurangan yang merusak tujuan dari kebaikan-kebaikan yang tengah dibangun.
Hasrat berkuasa yang tinggi, kemampuan yang terbatas kerap memaksa siapapun melakukan apapun, sikap tidak jujur dan tidak adil menjadi suatu hal yang lumrah dilakukan, untuk meraih tujuan, menjadi sebuah anomali dari jargon-jargon yang kerap diteriakan oleh Parpol. Sering kali narasi adil dan jujur hanya hiasan orasi belaka.
Apa masih mungkin bisa diharapkan suatu kebaikan jika akhirnya, proses yang dilalui oleh sebagian Parpol menghalalkan segala cara? Jika “kecurangan” dianggap suatu yang biasa sebagai hiasan permainan? Akan seperti apa jadinya para kandidat yang terpilih, di mana kelak akan melakukan pekerjaan yang menghasilkan pasal-pasal, sekaligus menjalankannya, demi kebaikan hidup rakyat?
Kenapa pula tak sedikit dari Parpol lebih percaya menitipkan pesan kemenangan kepada kandidat lain yang bukan kadernya sendiri? Sebegitu yakinkankah sebuah Parpol percaya keistiqomahan figur dari luar partai, untuk bisa diamanati pesan-pesan ideologis partai? Apakah kemenangan berkuasa jauh lebih menyilaukan mata dari pada kemaslahatan dan keutuhan partai?
Parpol bukanlah sebuah lembaga nilai-nilai atau situs tempat menempa diri menjadi seseorang yang diharapkan menjadi teladan hidup, seperti Ponpes untuk menggembleng para santri, calon Kiyai. Parpol adalah tempat menempa calon pemimpin Negara atau kelembagaan yang bersifat mengurus hal-hal yang berhubungan dengan kenegaraan.
Walaupun tidak mutlak harus mencetak orang-orang yang berakhlak, atau nilai-nilai kebaikan lainnya, tidak berarti Parpol harus bebas bisa berbuat semaunya. Melahirkan pemimpin yang berintegritas itu, jauh lebih baik dan lebih dirindukan masyarakat, juga kehidupan. Sebab kebaikan itu lebih mungkin akan melahirkan kebaikan pula.
Tasikmalaya, 28 Juni 2024