Dilematika Hajat

Oleh: Yusran Arifin

Hampir mutlak hidup manusia sangat tergantung pada uang. Memang benar, uang bukan segalanya. Tapi hampir segala urusan, kebutuhan hidup manusia tak bisa lepas dari ketergantungan pada uang.

Bacaan Lainnya

Kandidat penguasa yang terkorelasi dengan sebuah kontestasi proses pemilihan, sangat tergantung modal untuk menutupi kebutuhan keikutsertaannya. Hal itu tak ada yang paling mungkin yang sanggup menopangnya, kecuali ia sendiri orang kaya, setidaknya punya cukup uang untuk budget keikutsertaannya. Atau dukungan pengusaha, pasti dengan kesepakatan tidak untuk rugi.

Di sisi lain, rakyat sebagai satu-satunya pemilik kemutlakan, penentu kemenangan bagi calon penguasa, hampir tidak lagi berpikir tentang kalkulasi logik yang mengacu pada kepentingan hidup berkah dan idealis . Karena ada semacam traumatik atas pengulangan peristiwa yang sama, membuat tergerusnya trust kepada semua hajat berbau Pemilu.

Adanya kecenderungan sikap apatis, sepertinya konsekuensi dari kelelahan menanti perbaikan hidup dalam banyak hal yang dijanjikan politisi, pada setiap hajat lima tahunan, kerap hanya omon belaka. Lebih buruk dari itu, tidak sedikit kekecewaan rakyat didedahkan dengan perilaku lebih “brutal” dengan jargon “wani piro?”

Persoalan dasar yang krusial Pemilukada saat ini, terbelahnya sikap partai politik di antara dua “Ruang Ijtihadah”, antara kebutuhan kandidat yang berkualitas dengan kepentingan menang dengan kalkulasi elektabilitas.

Sayangnya, alih-alih partey ingin mendapat berkah dengan pilihan ideal, yang ada malah mempercayakan pilihanya untuk tisodorkan kepada rakyat penentu keputusan sebagai manefestasi demokrasi, sering dilematis dan lebih cenderung asal menang dengan segala cara. Peduli amat soal kualitas, asal menang! Peduli amat kehidupan rakyat asal berkuasa.

Rakyat hanya disodori pada pilihan yang tak bisa dihindari, selain memilih yang ada. Rakyat kian dibingungkan oleh keputusan Partai Politik yang lebih mementingkan kemenangan dari pada menawarkan pilihan yang benar-benar ideal untuk sebuah perubahan dan perbaikan.

Pertemuan antara ambisi kandidat bersama Parpol nota bene yang “ambisius” sering menghalalkan segala cara, salah satunya, serangan fajar (money politik) dengan dilematika rakyat yang menanti pemimpin impian seperti menunggu godot, yang tak kunjung datang dan rasa kesal dan kecewa itu, ditumpahkan dengan, menunggu janji yang tak pasti mending sekarang, dengan uang receh berapapun, asal real bisa dimakan.

Pertemuan antara ambisi Parpol dengan kekecewaan publik yang bermuara pada money politik akan terus berlanjut, jika dibiarkan tanpa upaya pencegahan. Akan semakin sulit jika ini telah menjadi budaya yang dianggap suatu kewajaran dan hal biasa. Kebiasaan salah yang dibiarkan terlalu lama akan menjadi kebenaran.

Apakah peristiwa money politik ini akan berlaku juga di Pilkada 2024 di Kota Tasikmalaya? Tampaknya sebuah peristiwa akan tetap berulang jika pada Pemilu yang lalu pernah terjadi ada kasus seperti ini. Sejarah akan selalu mengulang dirinya di tempat dan peristiwa yang sama.

Cag!

Tasikmalaya, 13 Juni 2024.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *