Prosa: Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Kenapa ada perkawinan? Tentu jawaban pokoknya adalah adanya rasa saling mencintai serta adanya rasa saling memiliki dan adanya rasa tidak mau kehilangan. Namun pada kesunyataanya tidak demikian juga: Ada yang melaksanakan perkawinan karena keterpaksaan atawa hasil perjodohan sebagaimana zamannya Sitti Nurbaya sampai kini. Adanya perkawinan menjadi dan bisa dikata ada indikasi rudapaksa karena menjunjung tinggi adat dan tradisi di daerahnya. Adanya Atawa terjadinya perkawinan karena terlilit hutang. Terjadinya perkawinan disebabkan mencari perlindungan. Ada juga terjadinya perkawinan sebagai media mengumbar nafsu dan berbagai-bagai alasannya.
Namun normalnya perkawinan, perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, serta bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kepuasan dalam rumah tangga maupun masyarakat. Musabab itulah kenapa dalam agama islam sangat menghormati perempuan dalam memilih pasangan. Islam melarang seorang wali memaksakan kehendak kepada anaknya dalam memilih calon suami. Sebagaimana undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa:“Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian Perkawinan dapat dipahami sebagai sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berkomitmen untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Perkawinan sejatinya dilakukan sekali seumur hidup, namun dalam perjalanannya, seringkali perkawinan yang diawali dengan semangat untuk bersama, akhirnya, berakhir dengan perceraian di Pengadilan Agama.
Kenapa pula harus ada perceraian, buat apa menikah? Pertanyaan umum ini tak semudah untuk menjawabnya, sebab banyak hal yang melatarinya sehingga banyak ragam jawabannya pula. Sebagaimana mengambil contoh umum saja dalam gambaran berumah tangga. Dari segi perempuan selalu menjadi sosok yang unik. Dewasa dan keibuan sebelum menikah, tapi paska menikah menjadi kekanak-kanakan alias manjanya minta ampun. Dari segi laki-laki, disamping manja, senangnya dipinta bantuan dan senantiasa memberikan perlindungan full sebelum menikah, tapi paska menikah menuntut mandiri pada pasangannya. Bisa kah gambaran umum ini menjadi point penting adanya perceraian? Tentu saja jawabannya ya dan tidak, sebab ada banyak element dan poin-point tertentu yang menjadi pertimbangan dalam latar belakangnya sebuah perceraian.
Perempuan selalu merasa kesepian dan dipojokan ketika tidak diajak ngobrol dengan kawan-kawan suaminya yang datang ke rumah. Ia menganggap dirinya babu bagi mereka yang sekadar melayani atau memfasilitasi kebutuhan guna rutinitas ngobrol berada dalam koridor nyaman. Sekadar untuk kembali menyeduh kopi yang sudah habis atau membuatkan cemilan, misalkan. Di sisi lain, lelaki selalu tidak sadar dalam laku kemanjaannya yang melebihi manjanya istri, yang tanpa disadari oleh dirinya sudah berlaku raja. Sketsa di atas merupakan sebuah dinamika perkawinan, artinya cara pasangan suami istri berinteraksi satu sama lain. Dinamika perkawinan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya, tradisi, dan emosi.
Kondisi gambaran umum seperti di atas inilah yang tanpa disadari semakin jauh dari hakikat perkawinan itu sendiri, sebagai mana makna dari hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan juga merupakan ibadah, perjanjian agung, dan panggilan hidup. Sementara dalam agama samawi sebuah pernikahan itu harus mampu membangun rumah tangga pada derajat sakinah, mawadah, warohmah. Ada pun maksud dari sakinah bisa dimaknai tentram sedangkan mawaddah bermakna kasih yang ditandai adanya rasa cinta yang diwujudkan mau saling memberi. Sementara warohmah bermakna sayang yang berwujud mau saling menerima kekurangan masing-masing.
Meski peran Pengadilan Agama sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mempunyai kewenangan menerima, memeriksa, dan mengadili perkara yang salah satunya adalah perkara perkawinan yang meliputi perceraian dan persoalan-persoalan lainnya yang masuk dalam lingkup perkawinan. Hal ini bukanlah serta merta melegalkan perceraian sebagaimana dalam agama samawi bahwa perceraian itu ibarat pintu darurat sebagaimana dalam ajaran agama Islam yang menerangkan bahwa perceraian tidak dilarang, tetapi dibenci oleh Allah. Perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh jika semua cara untuk mempertahankan rumah tangga sudah dilakukan.
Sebagaimana etika perceraian dalam ajaran islam: Mencoba untuk memperbaiki hubungan, Memberikan nafkah kepada mantan pasangan, Menghindari segala bentuk permusuhan dan konflik, Menceraikan istri dalam keadaan suci, Menghindari membuka aib masing-masing setelah berpisah. Pada akhirnya hukum perceraian dalam Islam dapat berubah-ubah, tergantung pada kondisi pasangan suami istri. Dengan demikian, maka penting untuk melihat sejauh mana keberpihakan hukum terhadap perempuan yang diceraikan pun sebaliknya sama lelaki yang digugat cerai. Disinilah pentingnya kembali mengingatkan pada prosesi perkawinan yang diawali dengan akad, yang memiliki hakikat makna mitsaqan ghaliza (ikatan yang kuat) yaitu perjanjian agung, kuat dan berbeda dengan yang lain, sehingga perkawinan bukanlah hal yang dianggap biasa. Agama merupakan unsur terpenting dalam perkawinan, karena agama menggambarkan kepastian hukum yang menjadi pokok utama sebagaimana di dalam maqasid syariah yaitu hifdzudddin (menjaga agama).
Di sisi lain kita bisa melihat, banyak sekali jargon kepentingan negara dalam keluarga yang hanya berhenti sebagai pemanis belaka, misalkan: “Keluarga adalah benteng terakhir dari arus globalisasi”, “Keluarga adalah pilar negara”, “Ketangguhan negara tergantung dari ketangguhan keluarga”, dan lain-lain. Namun kesunyataanya, banyak sekali persoalan dalam keluarga, baik disebabkan oleh kemiskinan, ketidakadilan terhadap perempuan, dan sebagainya. Sehingga jargon-jargon yang hanya menjadi kalimat manis itu menjadi cermin kesadaran negara yang belum melibatkan aparatnya untuk memperhatikan kepentingan keluarga. Harus diakui oleh bersama bahwasannya dalam hal sinergitas antara pihak pemerintah, tokoh masyarakat dan warganya sendiri bagai bumi dan langit, yang mana hal ini didukung berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2023 adalah 463.654 kasus.
Kembali ke pokok bahasan: kenapa ada perkawinan? Tentu jawaban pokoknya adalah adanya rasa saling mencintai serta adanya rasa saling memiliki dan adanya rasa tidak mau kehilangan. Namun pada kesunyataanya banyak yang bercerai? Salah satu penyebabnya yaitu tadi, saban ganti pemimpin yang mana menjadi sebuah kebijakan atau perhatian kepala negara dan pemerintahnya juga terlihat kurang serius dalam permasalahan keluarga. Misalkan dengan membuka lapangan kerja besar-besaran untuk tenaga asing dengan alasan kualitas dan kuantitas, sementara warga pribuminya masih banyak sekali yang menganggur dan menjadi pengangguran abadi yang mana secara skill mampu bersaing dengan tenaga asing.
Kembali ke pokok bahasan: Bukankah salah satu pondasi langgengnya berumah tangga itu ekonomi? Artinya punya lapangan pekerjaan yang menjadi rutinitas dan kesibukan di saban harinya. Sebagaimana kita bisa belajar langsung dari ibu kita, ayah kita, saudara perempuan kita, saudara laki-laki kita, teman-teman dan sahabat kita. Kala mereka langgeng dalam berumah tangga itu musababnya faktor ekonominya kuat atawa punya pendapatan tetap dari hasil kerja yang disediakan oleh pemerintah. Pandangan umum ini tentu saja terlepas dari iman dan taqwa dari para pelaku perkawinan yang kembali bercerai. Masalah iman dan taqwa pun yang mana hal ini bisa dipelajari secara segi ilmu, siapa lagi kalau yang harus berperan lebih depan selain negara dan segenap pemerintahannya? [Li]