Cerpen Lintang Ismaya: Bulan Retak

Cerpen: Lintang Ismaya | Ruangatas.com

Saya sudah bercerai!

Bacaan Lainnya

Saya bercerai bukan berkhianat pada pernikahan suci. Saya bercerai bukan menantang Rabbi untuk membenci pribadi. Saya bercerai, ada hal-hal lain yang tak logis. Coba tafakuri sendiri—bilamana terjadi kepadamu, oke?

Bagi saya, cinta itu tak ada hubungannya dengan agama, adat dan keluarga. Ketika semua menyatu dalam intimidasi, inilah kekeliruan saya selama ini. Sesungguhnya yang saya temukan dari hakikat cinta adalah masalah sikap dalam langkah pribadi ketika menentukan pilihan sesuai nurani, bukan dari hasil provokasi.

Selama ini saya sering keliru. Bukankah hakikat ibadah langkah napasnya bersumber dari kenyamanan batin? Bukankah pernikahan itu sendiri ibadah? Jadi bagaimana saya bisa ibadah dengan sempurna ketika kenyamanan jiwa saya tak ada?

Masalah anak, itu urusan saya yang lambat-laun pasti mereka memahaminya ketika sudah dewasa. Ya, saya bertanggungjawab penuh pada perkembangan psikologis mereka dan tentu saja saya pasti berkata apa adanya pada mereka, kelak. Ya, jangan sampai mereka mengikuti jejak saya ketika mengambil langkah dalam hal perkawinan.

Dalam hati kecil saya Dom, benar apa yang pernah kau katakan; rasa tak bisa dibohongi. Akal memang bisa mengelabui, tapi hati? Sejatinya hati tak bisa menipu dan ditipu—baik oleh pribadi sekali pun. Oh.. yap, bay the way; kapan kau mau menikah?

Saya yakin banget bahwa gadis pilihanmu bersumber dari lubuk hati—bukan hasil intimidasi, iya-kan? Saya percaya itu, sebab setidaknya saya sedikit tahu tentang pribadimu. Sebagai sahabat, saya sangat senang bilamana kau sudah halal dengannya.

Yups, tentu saja kedepannya saya ingin menjadi karibnya, seperti denganmu selama ini; bukankah sahabat tak pernah mengenal kata putus? Coba pikir, bilamana di usia rawan kita pacaran, tentu kini—kau mantanku dan saya bekasmu. Heheu… konyol bukan? Memangnya baju apa, ada bekas segala ahahahaha…

Heum … tadi siang saya ke pasar, coba bikin kolak pisang yang dicampur singkong. Pakai gula merah, pandan dan santan. Likat dan rasanya manis—semanis senyummu yang bikin ngangenin selalu… ahahahaha… ups … maaf, ini bukan gombal, tapi kebiasaan wajib di usia rawan yang masih terbawa hingga kini; selalu merayu lelaki yang sudah punya gebetan serius.

Eeeeeh … jangan marah gitu dong sayang, entar cepat tua lho? Nah… begitu … sebaiknya ceria, tapi jangan lama-lama senyumnya ya, apalagi sampai nongol semua gigimu, disamping offside, entar dapat kartu kuning, mending kalau satu… nah, kalau dua gimana? Merah dech, gak bisa lanjut tuch… gak bakalan bisa berpetualang ke gua garba, iya-kan?

Heuheu… makanya warna favoritmu itu jangan merah, gak bisa bergerak selamanya alias berhenti di tempat, iya-kan? Eeeeeh, malahan nambah ngakak, keras lagi… senyum itu jangan keras-keras, pamali tahuuuuu… dan efeknya, kalau kamu terus ketawa seperti itu; entar gigimu bisa kering lho, gak percaya?

Lagian pasta gigi, kini harganya mahal gara-gara be-be-em naik terus, mending es-em-es gratisan saja ya, biar irit buatmu, oke? …, …, …, Apa? …, …, …, Oooooh… kan sejak dulu, kamu itu tikus kampus, mana mampu beli… biasanya juga nyomot dari punya saya plus numpang mandi di kost… pasti sekarang juga masih gembel, iya-kan? Ahahahaha…

Ups … lupakan tentang canda saya yang jelek, sejelek tulisanmu itu tahuuuuu … ahahaha…  ah, saya masih ingat dan yakin banget; kamu itu Dom, tak pernah bisa marah, bisanya hanya nangis, iya toh? Dasar laki-laki cengeng, ahahaha… mending kalau Kinoy, laku main sinetron boneka Si Unyil ahahaha…

Wiss ah, bercanda melulu. Dom, ceritanya saya inikan tengah galau, tapi ingin berbagi pengalaman walau sedikit bin rada-rada narsisme gitu lho, gak apa-apakan? Heum, sebaiknya saya lanjutkan lagi, kembali ke fokus; Dom, masalah usia jangan dipikirkan, saya yakin bahwa Mataya Sutiragen alias calon binimu itu bisa imbangi pola pikirmu yang bagi saya terlalu cerdas nalarmu.

Hey… ini bukan pujian lho, melainkan fakta; terbukti dari sejak kita sebangku kuliah hingga pertemuan yang terakhir di acara seminar setahun silam. Saya salut dengan isi teks materimu tentang isu akulturasi budaya yang bisa merambah ke segala sektor, hingga akhirnya monopoli dalam kapitalis bisa memanfaatkan lajunya dengan membuat penjara manja untuk terus menikmati budaya konsumtif.

Benar juga Dom, kapan ya bangsa kita bisa memproduksi sendiri dengan kualitas yang mampu bersaing secara internasional? Tetapi bukan itu juga persoalannya, seperti kau bilang; kapitalis begitu piawai membangun citra individu. Seseorang bisa dikata sukses, kalau sudah bisa melaksanakan visi dan misi mereka.

Ya, saban hari kita disuguhi visi dan misinya mereka via iklan yang tak henti, baik di canal-canal teve, radio, situs sosial media, billboard dan promosi baik secara door to door pun dalam ragam event. Ya, pokoknya hadir di saban ruang dan peristiwa dech, yang pada akhirnya setiap hari kita disuapi oleh visi dan misinya itu dan tidak ada kesempatan untuk kita balik memberikan asupan visi dan misi pada mereka.

Ya, kita juga yang salah—tidak punya visi dan misi yang jelas dalam melakoni alur hidup dan kehidupan, betul gak? Dalam hal ini saya bersetuju dengan pendapatmu, bahwa dengan kita diasupi visi dan misi mereka setiap hari, lama-lama kita sendiri tidak pernah lagi mau berpikir tentang tujuan hidup kita sendiri, misal; asal dari mana, mau ke mana dan pulang hendak ke mana?

Lama-lama kita menjadi bodoh. Benar katamu bahwa lama-lama agama menjadi ilmu pengetahuan saja. Seperti itulah—kalau kumpulan keluarga, semisal; jika saya tidak berdandan, dari mulai pakai bedak, lipstick, make-up, aksesoris, baju bermerk dan lainnya—tidak bisa dikatakan sukses dalam pengertian cantik.

Di sini jelas sudah—bagi mereka itu—bahwa sejatinya yang bisa dikatakan cantik itu sudah bisa berdandan dengan produk yang kaum kapitalis ciptakan dan diiklankan oleh artis papan atas. Sedangkan yang tidak berdandan tidak bisa dikategorikan ke dalam pengertian cantik.

Sukses. Sukses! Sukses? Ya, saya sendiri tidak menyangkal bahwa sukses itu penting, tapi nyaman jiwa lebih utama. Dan tentu saja pengertian sukses yang mana dulu yang saya pilih sebagai wakil dari visi dan misi dalam melakoni alur hidup dan kehidupan pribadi saya selama ini. Tentu saja, hakikat sukses bagi saya, beda betul dengan pengertian sukses yang dikeluarkan mereka.

Kapitalis. Seperti itulah Dom, dulu saya ternina-bobokan atas semua ucapan yang mengatmosfir dari lingkungan, hingga terlena. Yups, pada akhirnya kini saya sadar—bukan materi dan tampan fisik yang saya cari selama ini, melainkan kenyamanan jiwa. Yups, ketentraman hati.

Dari itu saya yakin banget; kelak, bilamana kau menikah dengannya, niscaya bahagia lahir dan bathin, why? Sebab welas-asih kalian murni, tidak terlahir dari hasil intimidasi, seperti yang kau bilang sehabis seminar. Dan ini yang paling penting Dom; ternyata tampan itu bukan jaminan untuk bangkitkan libido—jika hati tak pernah bisa mempersilahkannya untuk menggauli.

…, …, …, Apa Dom? Ooooo… kenapa waktu dulu suka marah kalau kau menyuruh saya untuk bikin kopi? Habisnya… jujur saja ya Dom, bolehkan? Saya tidak bisa bikin kopi. disamping itu ketika saya selesai menyeduh kopi untukmu selalu kemanisan … ya seperti paras saya yang manis ini ahahaha… narsisme sedikit boleh kaaaaan… kaaaaan?

Tapi tenang saja, hobi saya sekarang sama denganmu, suka minum air kopi hitam. Kau tahu Dom? Ah, tentu saja tidak tahu bukan? Sekarang saya sudah bisa meracik kopi, kau mau mencobanya gak? …., Saya gratisin dech buatmu, mau?  …, Idiiiiih, kata siapa racikan secangkir kopi saya tak enak?

No… no… not… Dom, gratis itu bukan berarti tak enak, camkan itu di benakmu, oke? Ah, pokoknya kau harus mencobanya Dom. Saya jamin kau pasti ketagihan oke? …, Oh, tidak usah ragu Dom, seperti kau bilang di itu waktu bahwa saya harus berubah… yups, dan saya kini sudah berubah… bumi berubah. Semesta berubah. Zaman pun berubah; kini zaman kesempurnaan agama. Semua berubah, iya-kan?

Apa lagi sih Dom, nanya melulu? Iya dech… kau benar Dom bahwa kopi bisa membakar lemak dan membuat pikiran kita lebih cerdas… Ya, tentu saja kedepannya pun saya berencana bikin Café. …, Justru inilah masalahnya itu Dom, saya kurang pandai berbisnis. Kalau bisa juga tolong carikan tempat yang strategisnya, oke?

Oh…  iya, hampir saja saya lupa; minta nama yang bagus juga ya buat branding cafenya? …, Ya, tentu saja nanti saya bayar Dom, oke? …, Jangan khawatir soal itu …, iiiiigh, bawel amat sich? Ya, pokoknya berapa pun bayarannya yang kamu mau, saya bayar, oke? Nah… gitu dong, senyum…  Ahahaha…

Ya, harus saya amini bahwa kaulah yang selalu mampu membuat saya tersenyum. Heeeeem… pegang erat-erat tuh hidungmu yang pesek itu, awas nanti lepas dan melangit, hayooooo… mati saja lho… ahahahahaha… haduh, ketawa melulu nich…  rasa-rasanya saya harus ke kamar mandi dulu Dom, sebentar ya? Eh, toiletnya di sebelah mana sih? Oh… di situ rupanya… tunggu sebentar, oke?

Heeeeem, rasanya lega dan plong plus semriwing… ya, bagaimana tidak lega dan plong—ada banyak kotoran yang terbuang dari air seni yang saya keluarkan. Apa Dom? …, Ooooo…. yups, benar adanya; walau pada akhirnya dalam hubungan rumah-tangga—pertikaian itu senantiasa ada, dan itu bumbunya harmonis dalam bingkai romantis. Seperti-halnya kita pernah mendayung rakit di Tasik Situ Gede;

Seperti itulah hakikat pernikahan, satu mendayung—satunya lagi mengarahkan dalam arah yang akan dituju bersama, atau yang satunya lagi hanya menjadi penumpang saja yang ingin dilayani sepuas dan semana ia suka. Heum, ribet-kan?

…, …, …, Apa kau bilang? …, Sembarangan! Enak saja kalau kau ngomong, hati-hati dengan mulutmu itu Dom; mulutmu—harimaumu, oke? Nah, gitu dech minta maaf. Senyum. Saya jadi ingat juga pada apa yang pernah kau katakana di itu waktu; orang yang punya cinta belum tentu pemaaf, tapi orang yang mampu memberi maaf sudah barang tentu punya cinta.

Haduh … iya, saya lupa; habisnya ngalor-ngidul gini sih berceritanya, maafin saya ya? Begini, perceraian saya itu Dom sababiyahnya bukan malas dan melulu ingin dilayani—tetapi saya harus mengerti—ada kalanya kenyataan tak bisa dilawan, bahwa hidup punya aturan yang tak bisa dilanggar.

Hakikat dari kata langgar inilah yang ingin saya ceritakan semuanya padamu sampai tuntas … tas … tas .. tas … dan tas ke akar-akarnya. Ya, hanya padamu saya ingin berbagi kisah; padamu semata. Dom, mugia kau belum pindah alamat—tentu saja surat panjang saya bisa kau baca dengan sempurna.

Heheu… sebaiknya saya sudahi dulu surat panjang ini. Oh… yups … sekalian minta nomor kontakmu yang baru ya, bolehkan? Jawab dong! Ups … bilamana surat panjang saya ini sampai di tanganmu, belum tentu juga kau mau membacanya, iya-kan? Haduh, akhir-akhir ini saya orangnya jadi pelupa Dom. Satu lagi, akhir-akhir ini juga saya sedang intens belajar menulis puisi, seperti yang sudah menjadi kebiasaanmu itu;

Mungkin kau lupa akan raut wajahku

Mungkin kau lupa akan bentuk tulisanku

 

Tapi aku masih setia padamu

Kau, mampu menarik pintu sukmaku

Dengan doa-doa paling inti

 

Dengan tali kesabaran; kau

Mampu menuruni bahkan memahami

Palung jiwaku yang kelam

 

Rindu Cahaya Maha Cahaya

Datanglah dengan segenap rindu

Ke ranjang hatiku yang sunyi!

 

Dom, tolong dikoreksi ya kelemahan puisi saya itu, dan minta saran untuk judulnya juga oke? Dom, bolehkan kalau saya rindu kamu yang dulu, yang selalu mengerti apa dan adanya pribadi saya? Bay … bay … Dom. Eh … Dom, apa kau masih menyimpan rasa kangen untuk Santa Genet? Kalau saya sich… jangan ditanya, oke? Cie … cie … ahahahaha … muuuuuuach! [LI]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *