Fase Sepi Seorang Istri: Jejak Sunyi dalam Bahtera Rumah Tangga

Prosa Liris: Agni Winaya | Ruangatas.com

Ada kalanya seorang perempuan setelah menikah, harus meninggalkan rumah orang tuanya. Hal yang wajar, tentu saja, meski hatinya tak bisa berdusta. Sebab, ketika ijab kabul terucap, hak seorang ayah atas dirinya berpindah kepada lelaki yang kini menjadi suaminya.

Bacaan Lainnya

Hari-hari awal pernikahannya adalah fajar kebahagiaan. Sebulan, dua bulan, ia melayang dalam manisnya kehidupan baru. Dunia terasa begitu sempit, cukup ada dia (suaminya) di sisi.

Namun, waktu berjalan. Memasuki bulan ketiga dan keempat, mereka mulai menapaki realitas. Perlahan, mereka menyusun mimpi-mimpi bersama, menciptakan rencana demi rencana, berusaha membangun masa depan tanpa sedikit pun ingin membebani orang tua.

Lalu datanglah bulan kelima, keenam, ketujuh, hingga kedelapan. Sang istri mulai berpikir lebih keras. Bukan lagi soal cinta yang berbunga-bunga, tetapi bagaimana cara bertahan. Bagaimana agar kehidupan mereka tak sekadar berjalan, melainkan bermakna dalam setiap kisahnya.

Sembilan, sepuluh, sebelas, hingga genap dua belas bulan usia pernikahan mereka. Entah sejak kapan, keluhan-keluhan kecil mulai tumbuh, lalu menjalar diam-diam di sudut pikirannya. Tentang pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Tentang beban yang terasa hanya dirinya yang memikul. Tentang rasa kesepian yang makin merayap meski lelaki itu (suaminya) ada di rumah.

Sang suami, bangun pagi, bergegas kerja. Pulang malam, masih disibukkan dengan tugas-tugas lainnya. Ada kalanya, kawan-kawannya datang ke rumah, bercengkerama, berdiskusi, bersenda gurau. Sementara sang istri memandang itu sebagai penghalang, seolah waktu berdua yang ia dambakan dirampas sedikit demi sedikit.

Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, “Di mana aku di hatinya? Kenapa aku tak lagi jadi prioritas?.”

Hari-hari berikutnya, keluhan itu semakin menjamur, seperti lumut yang tumbuh liar di batu yang lembap. Ia tak sadar, suaminya bekerja keras bukan untuk menjauh, melainkan untuk memperjuangkan kehidupan mereka. Pertemuan sang suami dengan kawan-kawannya bukan untuk mengabaikan dirinya, tetapi untuk menjaga tali persaudaraan. Karena sejak dulu, lelaki itu memang seseorang yang aktif, seseorang yang selalu mengulurkan tangan bagi siapa saja yang membutuhkan.

Memang, apa yang dilakukan suaminya tak selalu menghasilkan pundi-pundi rupiah, tapi ada satu hal yang terkadang luput ia sadari: balas budi. Kehidupan sosial bukan hanya soal uang, melainkan soal kehadiran. Sang suami tahu, hari ini ia membantu kawannya, esok atau lusa, kawan itu akan membantunya.

RENUNG

Cerita ini bukan soal betah atau tidak betah di rumah bersamanya. Ini tentang jati diri manusia, tentang ruang yang dibutuhkan seseorang untuk tetap bertumbuh. Bukan hanya sebagai suami, melainkan juga sebagai sahabat, rekan, dan bagian dari masyarakat.

Dan jika kenyataan ini terasa berat bagi perempuan itu, tak apa-apa. Ia tidak bersalah. Ia hanya butuh waktu — waktu untuk menerima bahwa cinta tak selalu berarti hanya tentang berdua, melainkan tentang bertumbuh bersama, meski kadang harus berjalan di jalur yang berbeda.

Sebab, cinta sejati bukan soal bagaimana memiliki seseorang sepenuhnya, melainkan bagaimana saling memahami dan menguatkan, bahkan ketika dunia di sekitar mereka terus bergerak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *