Prosa Lintang Ismaya: Mudik Sejati

Prosa: Lintang Ismaya | Ruangatas.com

Kala berbicara soal mudik secara makna itu adalah pulang ke kampung halaman atau ke rumah. Istilah ini berasal dari bahasa Jawa Ngoko, yaitu “mulih dilik” yang berarti “pulang sebentar”. Singkatnya aktifitas mudik merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat perantauan untuk kembali ke kampung halaman saat momen penting, seperti Idul Fitri.

Bacaan Lainnya

Idul Fitri juga dikenal dengan istilah Lebaran, yang dirayakan setelah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Kata “Idul” berasal dari bahasa Arab yang bermakna “hari raya” atau “perayaan”. Ada juga yang mengartikan makna ‘iid itu adalah kembali. Sedangkan kata “Fitri” berasal dari kata “Fithrah” yang juga dalam bahasa Arab, yang berarti “suci”, “bersih”, atau “murni”. Ada juga yang mengartikan makna Fitri itu buka, kebiasaan. Jadi, secara harfiah, “Idul Fitri” dapat diartikan sebagai “hari raya yang suci” atau “perayaan yang bersih”. Namun secara makna simbol, yaitu kemenangan atas diri sendiri setelah berhasil mengendalikan hawa nafsu dan menahan diri dari godaan.

Berbicara tentang godaan tidak bisa lepas dari yang namanya pilihan itu sendiri sebagaimana kita hidup di bumi-Nya ini bukan pilihan, tetapi hidup menyuguhkan banyak pilihan. Kembali berbicara tentang godaan, jadi teringat Syeikh Juned Al-Baghdadi yang pernah berkata dalam Kitab Mukasyafatul Qulub, karya Imam Al-Ghazali: “Cobaan (balai) itu adalah penerang untuk orang-orang ahli ma’rifat, pengingat untuk manusia yang menuju ke Allah, kemaslahatan bagi manusia yang beriman, kehancuran bagi manusia yang lupa (melupakan) kepada Allah. Seorang manusia tidak akan menemukan buah manisnya iman sehingga balai (cobaan) datang kepadanya laju ia rido dan sabar”.

Demikian juga Rasulullah Saw., pernah bersabda: “Siapa pun orangnya yang sakit semalaman kemudian ia sabar dan rido kepada Allah SWT., maka orang tersebut mampu keluar dari dosa, ibarat bayi yang baru terlahir dari rahim ibunya (dalam hal kesuciannya). Teringat juga pada Syeikh Al-Dlohak yang pernah berkata: “Siapa pun orangnya yang tidak diberikan cobaan di antara 40 malam oleh satu cobaan (balai) atau oleh satu ke bingungan atau oleh satu musibah maka orang tersebut di sisi Allah tidak punya kebaikan sama sekali.

Adakah korelasinya dengan esensi puasa? Ya dan tidak, artinya kompleks. Kompleks bagaimana? Sebelum menjawabnya, mari kita menyimak sabda Rasulullah Saw., yang bersabda: “Terangilah hati kalian semua oleh lapar, perangi nafsu kalian semua oleh lapar dan dahaga, biasakan (matuh) mengetuk pintu surga dengan cara lapar, sebab pahala lapar itu seperti pahalanya oreng yang berjihad di jalan Allah, dan sesungguhnya tidak ada amal yang lebih dicintai kecuali Allah ketimbang rasa lapar dan dahaga. Tidak akan bisa masuk ke kerajaan langit, orang yang penuh perutnya (kenyang). Siapa pun orangnya yang penuh perutnya (kenyang) maka akan hilang darinya buah manisnya ibadah”.

Abu Bakar As-Shiddiq pernah berkata: “Saya tidak pernah kenyang sejak saya masuk Islam, karena saya ingin menemukan buah manisnya ibadah pada Tuhan saya.” Kemudian Luqman al-Hakim pernah berkata pada putranya: “Janganlah engkau memperbanyak tidur dan makan sebab orang yang berlebihan akan hal tersebut bakal datang di hari kiamat sebagai orang yang potol (terpenggal) dari amal Soleh”.

Sebagaimana Rasulullah Saw., bersabda: “Janganlah kalian mematikan hati kalian oleh memperbanyak makan dan minum, sebab hati bakal mati, seperti matinya pepohonan yang kebanyakan air (kebanjiran/tenggelam).”

Semua pemaparan di atas inilah yang menjadi kompleks tersebut. Sebagaimana godaan bisa datang kala tengah mengalami cobaan pun godaan bisa hadir kala tengah merasakan rasa lapar, dahaga dan tidur menerjang, sehingga rasa kenyang dan puas menjadi tidak ada. Justru yang ada menjadi tamak atawa rakus. Kemudian kalau kita elaborasikan dengan esensi mudik yaitu pulang ke kampung halaman, yang mana kampung halaman sejati itu sebagai implementasi mudik, sebagaimana Tuan Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani pernah berkata, bahwa; kampung halaman sejati itu adalah Allah. Artinya kampung halaman dan tanah air sejati itu hanyalah Allah.

Kini soalnya adalah, adakah fokus rindu kita tengah merindukan kampung halaman sejati, selagi nyawa di kandung badan? [Li]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *