Prosa: Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Secara harfiah diksi tanya itu mengandung makna permintaan keterangan atau penjelasan. Adakah fungsi dari tanya itu untuk keberlangsungan hidup dan kehidupan di bumi? Yaitu tadi, sebagai rupa dari permintaan dalam paparan penjelasan akan satu hal yang tidak dimengerti subjek pada objek. Seberapa pentingkah objek menerangkannya pada subjek? Mari kita mencoba mensimulasikan makna tanya yang menjadi perihal tanya:
Berdasarkan hasil penemuan dari ilmuwan, bahwa keberadaan bumi itu bulat adanya. Siapakah yang bisa menerangkan hal tersebut? Kata siapa bumi itu bulat? Benarkah bumi itu seperti piring? Katanya bumi itu seperti telur angsa? Dari empat pertanyaan tersebut tentu akan menemukan ragam jawaban, baik secara kontra pun selaras. Bisa pula tidak mendapatkan jawaban. Benarkah?
Perihal puas dan tidak puasnya pada sebuah jawaban akan kembali melahirkan ragam tanya dari sebab yang bersebab menjadikan musabab dan kembali ke sebab. Adakah ihwal tanya itu terlahir dari sebab? Bisa jadi demikian adanya, bahwasannya sebuah jawabannya itu bukan terlahir dari sebab. Benarkah? Mari kita mensimulasikan lagi tanya:
Siapakah yang paling kaya di muka bumi ini: Nabi Sulaiman as., kah? Fir’aun kah? Qarun kah? Mansa Musa kah? Bill Gates kah? Atau orang yang tidak pernah ketinggalan shalat Qobliyah Shubuh? Pada akhirnya semua jawaban bisa menjadi benar, tergantung dari sisi mana memandangnya.
Kenapa ada waliyullah dan para pendakwah? Sesungguhnya keberadaan para waliyullah sebagai prototipe untuk kita contoh alur laku hidupnya. Demikian dengan keberadaan para pendakwah untuk kita aplikasikan petuahnya dalam saban langkah yang akan kita lakoni. Namun sejatinya manusia lebih senang bercerita perihal kebenaran, tetapi untuk mempraktikannya dalam laku diri pribadi, tak pernah sungguh-sungguh dalam menjalankannya. Hal ini bisa tercermin mutlak dari lingkungan yang ada di sekitar kita; baik di lingkungan keluarga, baik di lingkungan warga sekitar pun kala kita melihat langsung ke dalam laku diri pribadi. Benarkah? Mari kita mensimulasikan lagi tanya:
Kenapa harus menjawab pertanyaan, bukankah tugas kita di bumi-Nya itu sekadar untuk membaca? Ya, dalam perjalanan membaca ada banyak hal yang tidak dimengerti untuk jadi mengerti, sampai menjadi saripati, bahwa hidup adalah rangkaian pelajaran yang harus dihayati untuk dimengerti. Hal itu bisa terjadi dari hasil jejak baca yang melahirkan ragam pertanyaan dan untuk seterusnya harus mampu menemukan jawabannya. Jadilah buah renung sebagai bekal dalam sisa perjalanan usia. Benarkah? Mari kita mensimulasikan lagi tanya:
Kenapa ada banyak pilihan dalam hidup, bukankah sejatinya hidup dan kehidupan itu ada dalam kalang senda dan gurau belaka? Ah, Bukankah Tuhan Maha Serius? Pertanyaan demi pertanyaan selalu mencari jawabannya. Ada jawaban yang cocok. Ada pula jawaban yang di cocok-cocokan.
Pada akhirnya hidup dan kehidupan manusia tidak bisa lepas dari pertanyaan. Namun ketika menemukan jawaban, selalu saja ada dua sisi yang bertabrakan. Di sisi lain jawaban tersebut membawa kebaikan. Di sisi lain jawaban itu membawa keburukan. Baik dan buruknya sebuah jawaban itu bergantung dari kesiapan laku diri untuk menerimanya.
Sebagaimana peran pewarta yang hanya bertugas menyampaikan saja, tidak harus menyimpulkan. Namun dari jejak beritanya itu selalu saja ada yang mengkritisi. Sehingga tesis, antitesis dan sintesis kembali melahirkan hipotesa yang beragam. Bahwasannya hal itu terjadi, guna menunjukan bukan soal diterima dan ditolaknya itu jawaban dari tanya yang diapungkan, melainkan letaknya ada pada kesiapan laku diri dan atawa eksistensi. Sebagaimana berprilaku jujur itu bukanlah hal yang istimewa, melainkan sepatutnya-lah hidup itu harus demikian adanya dalam menjalankan roda kehidupan di bumi-Nya nan fana ini. Benarkah? Mari kita mencoba menjawab apa yang belum bisa dijawab dari perihal tanya di atas. [Li]