Prosa: Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Ungkapan “kita adalah sisa-sisa” mengandung makna mendalam tentang posisi manusia dalam arus waktu dan peradaban. Manusia, sebagai individu maupun kolektif, adalah produk dari sejarah panjang yang penuh dengan peristiwa, gagasan, dan pencapaian. Setiap generasi mewarisi warisan dari generasi sebelumnya, baik berupa pengetahuan, teknologi, maupun nilai-nilai budaya. Namun, warisan ini tidak pernah diterima secara utuh. Manusia selalu memilih, memodifikasi, dan menafsirkan ulang warisan tersebut sesuai dengan konteks dan kebutuhan zamannya. Dalam proses ini, beberapa aspek dari warisan tersebut akan hilang atau terlupakan, sementara yang lain akan tetap relevan dan berkembang.
Dalam konteks peradaban, ungkapan kita adalah sisa-sisa menyoroti sifat dinamis dan siklus dari peradaban itu sendiri. Peradaban tidak pernah statis, melainkan terus mengalami perubahan, pertumbuhan, dan kemunduran. Setiap peradaban meninggalkan jejaknya dalam bentuk artefak, bangunan, teks, dan gagasan yang kemudian diwarisi oleh peradaban berikutnya. Namun, tidak semua aspek dari peradaban tersebut akan bertahan. Seiring waktu, beberapa aspek akan hilang atau terlupakan, sementara yang lain akan tetap relevan dan mempengaruhi peradaban berikutnya. Dengan demikian, setiap peradaban adalah “sisa-sisa” dari peradaban sebelumnya, yang terus berproses dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Manusia, sebagai bagian dari peradaban, juga merupakan “sisa-sisa” dari masa lalu, yang terus berproses dan beradaptasi dengan perubahan zaman.
Benarkah bahwasannya keberadaan kita adalah sisa-sisa dari perenungan yang sudah ada? Sebagaimana kala teringat Chairil Anwar, aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang. Teringat Putu Wijaya yang kerap menyuguhkan teror mental dalam ragam pertunjukannya. Teringat Bani Israil yang gemar protes dan klarifikasi. Teringat Mansa Musa yang gemar berbagi dan bersedekah. Teringat Fir’aun yang mengaku Tuhan sehingga sumber hukum kebenaran itu mutlak ada pada dirinya semata. Ihwal yang menjadi landasan keberagaman berpikir inilah yang menjadikan momok wacana di ruang-ruang privasi. Adakah kondusif atau pengkondisian? Entahlah.
Terang dan jelas kala dunia diciptakan-Nya, guna untuk mengasah kepekaan sehingga jalan keabadian nampak terbuka lebar. Hal itu pun bagi yang berpikir, sifatnya. Adakah paraghraph di atas mengandung makna sifat? Secara harfiah sifat adalah ciri khas atau dasar watak yang dibawa sejak lahir. Sifat juga bisa diartikan sebagai rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda. Sementara dalam Bahasa Inggris, sifat dapat diterjemahkan sebagai characteristic atau trait. Jika dipecah secara umum, maka makna sifat terbagi menjadi tiga; sifat pada manusia, sifat pada benda dan sifat dalam bahasa.
Sifat pada manusia meliputi watak dan karakteristik fundamental, seperti cara berpikir, merasa, dan bertindak. Maka makna turunannya sifat pada manusia dapat dilihat dari ucapan dan tindakan yang dilakukan seseorang, yang mana sifat pada manusia dapat dibagi menjadi sifat baik, sifat buruk, dan sifat lemah. Sedangkan sifat pada benda dapat berupa rupa dan keadaan yang tampak secara lahiriah. Hal ini menunjukan bahwa sifat pada benda itu dapat berupa ciri khas yang membedakannya dari benda lain. Sehingga sifat pada benda dapat berupa peri keadaan yang menurut kodratnya ada pada benda tersebut.
Sementara sifat dalam bahasa merupakan bentuk dari kata sifat itu adalah kata yang menerangkan ciri yang ada pada sesuatu, sehingga membedakannya dari yang lain. Artinya, kata sifat dapat dibagi menjadi kata sifat tunggal dan kata sifat berimbuhan, yang mana makna turunannya menjadi kata sifat dapat dibagi menjadi kata sifat kualitatif, kata sifat kuantitatif, dan kata sifat numeralia.
Kembali pada bahasan paraghraph pokok, adakah karakteristik atawa sifat pada manusia itu dipengaruhi oleh sifat benda yang mengatmosfer di sekitarnya, sehingga sifat pada bahasa yang dilahirkan dari rahim pikirannya itu menjadi cerminan wujud laku pribadinya? Tentu saja, kita tidak bisa serta merta dalam menjawabnya dengan segera, sebab hal ini memerlukan penelitian panjang, sampai menemu titik komprehensif.
Komprehensif adalah sesuatu yang dapat dilihat dari segala sisi secara menyeluruh. Hal ini berhubungan erat dengan koherensif ketika dijabarkan menjadi hasil dari hipotesanya. Musabab itulah mengapa koherensif sangat penting dalam memahami isi wacana, sebab paragraf yang koherensif memiliki keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Hal ini sesuai dengan makna kata koherensif sendiri, yaitu hubungan logis antara bagian-bagian yang saling berkaitan, sehingga kalimat memiliki kesatuan makna. Koherensif juga dapat diartikan sebagai keserasian atau perpaduan gagasan, ide, dan fakta yang mudah dipahami.
Sebagaimana Mansa Musa yang lahir di Negara Mali. Pada masanya, Negara Mali merupakan penghasil emas terbesar di dunia, dan Mansa Musa merupakan salah satu orang terkaya dalam sejarah. Konon jumlah kekayaannya terlalu besar sehingga tidak dapat diperkirakan secara pasti. Salah satu kisahnya yang paling dikenal adalah saat ia pergi untuk menunaikan ibadah haji di Makkah. Singkat Al kisahnya:
Dalam perjalanannya, ia sangat dermawan dan membagi-bagi emasnya, tetapi tindakannya ini konon malah merusak ekonomi di Kairo, Madinah, Mekkah dan kota-kota lain yang dilintasinya, karena nilai emas langsung jatuh dan harga-harga pun naik. Namun, Mansa Musa tidak berdiam diri begitu saja, untuk memperbaiki keadaan ini, yang disebabkan berbagi hadiah dan sedekahnya tersebut, dalam perjalanan pulangnya, ia mencoba meminjam semua emas yang dapat ia bawa dari peminjam uang di Kairo dengan bunga yang tinggi, tetapi upaya ini kurang berhasil. Hal ini merupakan satu-satunya peristiwa dalam sejarah ketika satu orang mampu mengendalikan harga emas secara langsung di Kawasan Laut Tengah.
Kemudian kalau kita melihat latar belakang pendidikan Putu Wijaya yang menyandang gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, maka sangatlah wajar kalau karya-karya teater yang dipentaskannya tersebut selalu mengusung konsep teror mental, yang mana makna dari teror mental adalah upaya untuk menyerang dan memengaruhi mental lawan dengan cara verbal dan non-verbal. Teror mental juga bisa diartikan sebagai perang psikologis. Meski bahasa yang dipanggung kannya itu non verbal atawa mini kata, artinya lebih pada bahasa visual seperti bahasa tubuh dan permainan benda, seperti boneka, kursi, panji, suara-suara alam yang bising, suara sepatu lars, musik yang menghentak dan kain dengan ukuran besar yang menyerupai layar panggung pertunjukan teater. Pada kesunyataanya, ragam rupa yang dihadirkannya tersebut sudah mampu menampakan bentuk dari pola wujud teror mental bagi para apresiatornya.
Bagaimana dengan Chairil Anwar, Fir’aun dan Bani Israil? Secara simpulan, laku manusia menjadi beragam itu musababnya adalah secara kodrati, kala manusia diciptakan-Nya sebagai makhluk yang berpikir dengan adanya komponen akal. Inilah ihwal yang menjadi landasan keberagaman berpikir tersebut menjadikan momok wacana di ruang-ruang privasi. Dari ragam buah pikirannya manusia tersebut, adakah kondusif atau pengkondisian, sehingga kita adalah sisa-sisa? Entahlah. [Li]