Prosa: Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Roda hidup dan kehidupan di bumi tidak bisa dilepaskan dengan yang namanya aktifitas sampai menjadi rutinitas dan kesibukan. Adakah definisi rutinitas dan kesibukan itu sama?
Rutinitas berasal dari kata rutin yang berarti prosedur yang teratur dan tidak berubah-ubah. Rutinitas adalah tugas, pekerjaan, atau kewajiban yang lazim yang harus dilakukan secara teratur atau pada interval tertentu. Pada akhirnya makna dari rutinitas adalah suatu hal yang sering dilakukan berulang kali dalam waktu yang lama sehingga menjadi kebiasaan yang melekat dalam diri kita. Sehingga rutinitas menjadi buah kegiatan yang dilakukan secara teratur dan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Kesibukan adalah kata sifat yang berarti banyak hal yang harus dikerjakan atau keadaan sibuk. Kesibukan juga dapat diartikan sebagai kegiatan atau usaha yang harus dikerjakan. Artinya, kesibukan dapat dikaitkan dengan aktivitas yang baik dan positif, seperti: Menebar kebaikan, Mensyukuri hidup, Memberi pelajaran, Membantu orang lain yang membutuhkan kepedulian, Menjaga tradisi baca dan budaya literasi masyarakat. Secara inti makna utama dari kata sibuk itu menekankan pada aktivitas dan bukan pada kemalasan atau waktu luang.
Uniknya, rutinitas dan kesibukan menjadi sebuah identitas bagi masyarakat kota. Sedangkan bagi masyarakat desa, rutinitas dan kesibukan adalah hal yang wajar, sebab apa pun rutinitas dan kesibukannya sama saja, sekadar menjalankan roda hidup dan kehidupan. Singkatnya ada banyak rutinitas dan kesibukan. Misalkan, rutinitas masyarakat pabrik dari mulai masuk kerja sampai jam kerja berakhir, hanya mengerjakan pola nan sama di saban harinya. Demikian juga dengan pola kesibukan pelayanan adalah suatu kegiatan dalam memberikan pelayanan atau melayani dengan waktu yang sangat terbatas.
Namun ada yang menarik dalam masyarakat kota atawa perkotaan yang mana rutinitas dan atawa kesibukan bisa meningkatkan branding image seseorang di masyarakatnya. Misalkan seseorang ketika pulang kerja kantoran, laju mengurus organisasi kemasyarakatan yang ada di daerahnya. Habis itu mengurus usaha rumahannya. Pola rutinitas dan atawa kesibukan seperti ini dianggap sebagai sebuah prestasi. Padahal disadari tanpa disadari oleh kita, bahwa kesunyataanya jebakan dunia paling halus, tapi mematikan itu bernama rutinitas dan kesibukan. Sebagian orang paling senang dianggap sibuk. Sampai-sampai mereka tak bisa membedakan antara aktivitas dan efektivitas.
Ada banyak alasan yang melatarinya, diantaranya: kejar setoran, mumpung masih muda. Namun di balik itu tersimpan sebuah ironi dengan alasannya produktif agar tak dianggap pasif. Namun kenyataannya yang paling bahaya dari rutinitas dan atawa kesibukan itu membuat kita punya mindset besarkan gaji, lupakan identitas diri. Lama-lama lupa pada rambu-rambu yang harus dijalankan. Sebagaimana kesibukan di perempatan jalan kalau lampu merah menyala, banyak sudah yang berani menerobos lampu merah. Atau ketika palang pintu kereta api sudah menghalangi badan jalan, banyak juga yang melakukan penerobosan, disamping melupakan keselamatan pribadinya pun menyibukkan penjaga pintu rel kereta api yang keluar dari rutinitas bakunya sekadar menaik-turunkan palang pintu.
Secara filosofi kalau kita di jalan kena lampu merah, jangan dulu marah, mungkin dunia sedang mengajak kita untuk berhenti sejenak, karena hidup tidak melulu tentang selalu bergerak. Sebenarnya apa yang sedang dikejar? Kalau semua kebut-kebutan dan tak paham aturan di jalan otomatis tabrakanlah yang terjadi. Makna dari diksi jalan dan diksi tabrakan di sini menjadi kaya makna. Jalan, bisa berarti pola rutinitas dan atawa kesibukan yang sudah biasa dikerjakan, tapi ketika sudah melupakan rambu maka mangprang lah yang terjadi, tanpa disadari ada yang terserempet dan ada yang merasa tersaingi. Ada yang merasa terlamgkahi dan ada yang merasa tak dihormati. Serta ragam tafsir lainnya.
Makna tabrakan sendiri bukan sekadar berbenturannya antara dua benda atau objek, melainkan berani melanggar banyak hal. Berani melanggar aturan yang sudah dibakukan, sampai berani melanggar hukum, baik hukum negara pun hukum agama. Kembali pada esensi rutinitas dan atawa kesibukan. Adakah rutinitas dan atawa kesibukan itu bagian dari aktivasi hawa nafsu, yang mana hawa nafsu sendiri merupakan anugerah dari Allah yang harus dikendalikan, bukan dibiarkan menguasai diri. Hawa nafsu yang dikendalikan dengan baik akan membawa manusia kepada kebaikan dan kebahagiaan.
Sementara esensi dari aktivasi hawa nafsu adalah dorongan atau keinginan yang berlebihan yang dapat menjauhkan seseorang dari kebaikan. Hawa nafsu dapat berupa keinginan duniawi maupun mental. Singkatnya, aktivasi hawa nafsu itu mencakup keinginan yang berhubungan dengan tubuh, seperti makan, minum, dan berhubungan seksual. Aktivasi hawa nafsu juga mencakup keinginan mental; seperti ambisi, keserakahan, dan kebencian. Jika demikian adanya, maka sebuah aktifitas dan atawa kesibukan yang terlahir dari aktivasi hawa nafsu; apa pun itu aktifitasnya, tidak bakalan bisa lepas dari yang namanya godaan. Jauhnya bisa terjerumus pada maksiat.
Kata maksiat berasal dari bahasa Arab, yaitu “ma’siyah” yang artinya durhaka. Maksiat adalah perbuatan yang melanggar perintah Allah dan bertentangan dengan ajaran agama. Maksiat dapat berupa dosa besar atau kecil. Adapun yang termasuk contoh dari perbuatan maksiat itu diantaranya adalah berbohong, mencuri, perzinahan, kezaliman, konsumsi riba, penggunaan alkohol dan narkoba, meninggalkan solat fardhu 5 waktu, tidak berpuasa di Bulan Ramadhan, tidak membayar zakat untuk harta yang disimpan bila cukup tempo, menjadi saksi palsu, korupsi, serta perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Sesuai dengan janji Iblis dalam Qs. 15 : 39 : Iblis berkata, “Aku akan menjadikan mereka (manusia) memandang indah perbuatan maksiat di muka bumi. Dan pasti aku akan menyesatkan mereka semua kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis”. Sebagaimana quote dari KH. Yusuf Chudlori; “Jika iblis gagal membuat orang menjadi jahat, maka ia akan membuat orang itu merasa paling baik” quote tersebut saripati dari beberapa ayat yang ada di dalam Al Qur’an.
Secara simpulan, bahwasannya imbas dari maksiat dapat menyebabkan perbuatan dari menghalalkan segala cara untuk menutupi kemaksiatannya tersebut. Lepas dari itu, bicara tentang istilah rutinitas dan kesibukan, sebenarnya merupakan hal yang netral, dalam artian bisa berimbas baik pun bisa berimbas buruk.
Misalkan dalam hal rutinitas ibadah, seperti halnya solat lima waktu yang mempunyai durasi tetap (matuh) dalam saban harinya. Rutinitas seperti itu jika dijalankan dengan konsisten maka ke-istiqomah-an terjadi secara otomatis dan mempunyai poin baik, tapi kalau fokus rutinitasnya dalam hal keduniawian yang menyebabkan lupa pada ibadah, secara otomatis mempunyai poin buruk; sebagaimana dicela dalam segenap kandungan ayat [lihat] QS. At-Takatsur.
Demikian juga dengan kesibukan; di satu sisi kesibukan itu dipuji, sebab ketika generasi muda itu bisa rusak tatkala tanpa adanya kesibukan, tapi di sisi lain hal itu dicela; misalkan terlalu sibuk mengurusi kekurangan orang lain yang berdampak buruk bagi pelakunya. Laju, dalam hal kesibukan, sesungguhnya Allah sendiri Maha Sibuk sebagaimana yang tertulis dalam QS. Ar-Rahman ayat 28: “Siapa yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap hari Dia menangani urusan”.
Secara simpulan hal yang dilarang itu ketika sudah merasa melakukan perbuatan (berbuat) dan beramal (amal) kebaikan yang sebaik-baiknya, padahal kesunyataanya itu merupakan rutinitas dan atawa kesibukan yang sia-sia. Sebagaimana yang tercantum dalam [lihat] QS. Al-Kahfi ayat 104., sebagaimana Tafsir Tahlili memaparkannya: “Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam menghimpun kebaikan di dunia, mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan yang diridhoi Allah dan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya. Kemudian ternyata mereka telah berbuat keliru dan menempuh jalan yang sesat sehingga amal perbuatan yang telah mereka kerjakan itu tidak memberi manfaat sedikit pun bagaikan debu yang terbang habis dihembus angin.” [Li]