Prosa Lintang Ismaya: Dialektik Surti

Prosa: Lintang Ismaya| Ruangatas.com

Akhir-akhir ini makna dari diksi surti disadari tanpa disadari sudah masuk ke dalam ranah global. Baik dalam ranah perintah, ranah hukum, ranah belajar, ranah pribadi, ranah rutinitas, ranah kerja, ranah usaha pun ranah kolaborasi, hingga menciptakan ruang di sebalik ruang yang menjadi misteri. Adakah ini sebagai penanda dari majunya peradaban, sehingga makna surti sudah menjadi kelaziman untuk dijalankan dalam alur hidup dan kehidupan.

Bacaan Lainnya

Makna kelaziman sendiri secara harfiahnya adalah kebiasaan, kegaliban, atau prevalensi. Kelaziman juga dapat diartikan sebagai norma yang diikuti tanpa berpikir panjang, melainkan didasarkan atas tradisi atau kebiasaan. Sementara, dalam konteks perpajakan, kelaziman dapat dikaitkan dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Prinsip ini diterapkan dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan.

Selanjutnya pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transfer pricing membandingkan kondisi dan indikator harga transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dengan kondisi dan indikator harga transaksi independen. Adakah makna surti tersirat di dalamnya jika dilihat dari berdasarkan norma kelaziman, yang mana makna dari norma kelaziman adalah norma yang diikuti tanpa berpikir panjang, melainkan didasarkan atas tradisi atau kebiasaan. Norma ini tidak memerlukan sanksi atau ancaman hukuman untuk berlakunya. Lupakan.

Teringat Dongeng Si Kabayan yang menjengkali dinding rumah orang yang sedang punya hajat dengan telanjang dada. Dilakukannya berulang dengan nada cukup tinggi sambil membilang tiap jengkalnya, sampai orang yang punya hajat ke luar dari rumahnya, musabab merasa terganggu atas perilakunya Kabayan tersebut, laju menghampirinya: “Nanaonan maneh teh siga budak bolon wae, ngerakeun pisan kalakuan siga kitu teh, jeung teu di baju deuih!”

“Nya lamun aing geus jebrog mah pasti di ondang, atuh!” Jawab Kabayan pada yang punya hajat. Peristiwa tersebut jika dilihat selintas pintas, apa yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut sebagai laku konyol, meski mengandung satir bagi keduanya. Namun secara maknawi, Kabayan menekankan pada orang yang punya hajat untuk berlaku surti kenapa Kabayan tidak di undang ke hajatannya tersebut. Tentu saja ada alasan tertentu kenapa Kabayan tidak di undang. Bisa jadi karena lupa. Bisa pula disebabkan oleh hal lain dengan ragam alasannya.

Dalam Bahasa Sunda, diksi surti mengandung makna kemampuan untuk memahami maksud orang lain dengan cepat, bahkan hanya dengan isyarat. Bisa pula mengandung makna yang lebih dalam, seperti pesan-pesan yang tidak dapat disampaikan dengan kata-kata. Apakah hanya mengandung dua makna saja? Hal inilah yang harus dipecahkan baik secara pengamatan pun secara diksi itu ketika dipraktikkan dalam laku diri di keseharian.

Pengertian surti dalam laku budaya buhun orang sunda itu kalau dipinta (apa pun itu motif permintaannya) pada objek oleh subjek. Misalkan ketika meminta pertolongan, barulah objek bergerak sesuai dengan petunjuk, guna tidak terjadi kesalahan fatal akan suatu hal yang tengah dijalankan oleh subjek. Laju makna surti yang kedua pada itikad baik dalam perkara apa pun. Artinya kalau subjek ada itikad baik pada objek dalam perihal apa pun itu kasusnya, tidak harus mempersulit.

Kini, makna surti itu sudah bergeser jauh nilainya. Misalkan, langsung menyibukkan diri tanpa dipinta plus tanpa tahu petunjuknya atau datang tanpa diundang. Dua contoh kasus tersebut sebagai penanda penegas paradoks pada makna nilai tersebut, secara tanpa disadari menghilangkan adab dengan perlahan, yang mana ajaran pokok agama samawi itu begitu sangat menekankan kewaspadaan pada tiap individu yang menjalankannya. Sebagaimana diturunkannya agama islam itu guna penyempurna dari agama samawi terdahulu, khusunya untuk menyempurnakan akhlaq yang didalamnya tertulis dengan tegas; menyimpan pasal-pasal adab.

Bahasan turunannya adalah adakah makna adab itu surti atau sebaliknya; adakah sinonim surti itu adab? Sementara makna surti dalam Bahasa Jawa itu mengandung arti hemat. Hemat bukan berarti bermakna pelit, melainkan pandai dalam menempatkan posisi. Artinya bisa bermakna penuh perhitungan dan kewaspadaan. Adakah di sini kita menemukan korelasinya utuh dari segenap bahasan di atas untuk seterusnya di-elaborasi-kan? Mari kita mencoba mencari makna di sebalik makna surti yang sudah mengalami pergeseran nilai dalam makna laku pun makna harfiahnya. [Li]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *