Prosa Lintang Ismaya: Hakikat Rem

Prosa: Lintang Ismaya | Ruangatas.com

Secara harfiah rem adalah komponen kendaraan yang berfungsi untuk memperlambat atau menghentikan laju kendaraan. Adakah rem pada tubuh manusia? Bukankah tubuh merupakan kendaraan ruh?

Bacaan Lainnya

Dalam agama samawi mengenal yang namanya puasa. Sebagaimana kaum Bani Israil sudah mengenal puasa. Hal ini tertulis tegas dalam kitab Al Qur’an: “Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” [QS. 2:183]. Kala itu kaum Bani Israil begitu tidak sabarannya pada hal apa pun termasuk pada nabi Musa as. Salah satunya perihal makanan. Mereka mengeluh kepada Musa as., musabab saban hari makanannya itu Manna dan Salwa saja. Padahal Manna dan Salwa itu atau keduanya itu merupakan sumber makanan langsung dari surga, tapi tetap saja ngeluh.

Di zaman kesempurnaan agama karakter seperti itu masih sangatlah banyak. Jadi kalau kita bicara perihal karakter kaum Bani Israil itu tidak usah menunjuk hidung orang lain, musabab dalam diri kita sendiri pun tanpa disadari masih saja menyimpan karakter Bani Israil. Seperti itulah salah satu fungsi Al Qur’an, meski mengisahkan karakter kaum Bani Israil, toh sejatinya guna untuk mentafakurkan kekurangan diri. Musabab itulah kenapa istilah dalam ayat puasa itu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu sebab hal ini merujuk secara husus turun untuk Kaum Bani Israil dan para keturunannya, seperti Bani Nadhiir, dan Bani Qaynuqa yang ada di Madinah, sebab salah satu sifat buruk Kaum Bani Israil di itu zaman perihal ketidak sabarannya. Singkatnya puasa menjadi budaya Yahudi dan Nasrani itu budaya Bani Israil. Namun dalam budaya Hindu pun ada tirakat puasa seperti itu.

Di Nusantara pun khususnya budaya Sunda dan Jawa mengenal istilah tirakat seperti itu, sebagaimana ketika punya hajat khusus mereka menempuhnya dengan jalan tirakat puasa. Pada dasarnya penyebaran ajaran puasa dalam agama islam di Indonesia, kesemuanya itu anjuran dari para kyai yang sudah khatam pada dalil. Salah satu di antara dalilnya itu supaya ingin cepat dikabulkannya doa harus menempuh jalan dengan tirakat puasa.

Puasa itu adalah Nishfus-Shobri, yang bermakna setengah dari kesabaran. Jadi inti puasa itu menahan diri, inti menahan diri itu sabar. Buahnya sabar itu pertolongan mutlak dari Allah. Sebagaimana kalimah dalam surah Al Baqarah ayat 45 itu wasta’iinuu bis-shobri yang mengandung makna meminta pertolongan dengan jalan sabar. Sebagian ahli tafsir menafsirkan sabar di sana oleh puasa. Sebab itulah mengapa bulan puasa itu masyhur disebut juga sebagai Syahrus-Shobri, yang artinya bulan kesabaran. Musabab itulah mengapa segala kebajikan bermula dari menahan diri. Menahan diri bakal berbuah ketenangan serta kemaslahatan.

Menahan diri bakal berbuah ketenangan itu maksudnya: Manahan diri dari perihal menjalankan laku negatif, seperti marah, membalas keburukan dengan keburukan dan lainnya. Seperti halnya semua kekacauan (chaos) yang kini terjadi itu pada dasarnya bermula dari tidak bisanya kita menahan diri yang pada akhirnya semua keburukan jadi tersebar di mana-mana. Utamanya di medsos. Dan maksud menahan diri bisa membuahkan kemaslahatan itu menahan diri dari hal-hal yang tidak penting, seperti menahan diri dari sifat konsumtif yang tidak perlu.

Kini, mayor krisis yang tengah terjadi di dalam laku diri itu adalah segala ingin (apa-apa mau) padahal tidak dibutuhkan yang pada akhirnya hal yang pokok tidak diperhatikan, hal yang sifatnya urgent tidak diprioritaskan.

Hakikat puasa secara inti itu adalah:
1. Puasa itu mengajarkan kita untuk bisa komitmen serta awas akan semua perintah Allah.

Artinya, puasa mengajarkan komitmen pada niat awal kita menghamba, seperti halnya kita komitmen pada niat puasa kita di malam hari, sehingga di siang hari kita pun tidak melakukan pembatalan puasa.

Andai komitmen seperti yang kita lakukan pada saat puasa bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam penghambaan kita pada Tuhan, niscaya, kita bisa memiliki karakter yang kuat dan integritas yang baik.

2. Supaya tahu bahwa nikmat dari Allah itu besar, sebab terasanya nikmat itu dari sesuatu itu, ketika sesuatu tersebut hilang.

Artinya, Kita seringkali tidak merasakan bahwa selama ini telah diberikan nikmat yang begitu melimpah, saking melimpahnya kita tidak menganggap lagi nikmat itu sebagai nikmat, padahal kita masih bisa makan dan minum setiap hari. Maka dari itu untuk mengingat bahwa hal itu adalah nikmat kita pun diperintah berpuasa, agar kita sadar pada nikmat-nikmat yang melimpah dan sering kita lupakan itu.

3. Melatih kepedulian terhadap sesama, utamanya pada orang-orang fuqara yang terkadang tidak bisa makan.saban hari.

Artinya, Kita seringkali kehilangan empati ketika kita tidak pernah merasakan kepedihan yang sama. Maka untuk bisa merasakan kepedihan yang sama yang sering dirasakan oleh orang-orang fakir miskin, kita pun diperintah untuk berlapar-lapar dengan puasa.

Secara simpulan hikmah dari puasa harus bisa menjamaahkan seluruh anggota tubuh supaya bisa selaras dengan makna hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan [QS 1:5] yang diimami oleh hatinya. Artinya jangan sekadar dalam lisan saja kita menyebut iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in itu tetapi harus diimami oleh hati dengan makmumnya pikiran, kehendak, hawa nafsu, mata, telinga, lisan, tangan, perut, kaki serta seluruh raga harus bisa menjadi makmumnya. Itulah berjamaah yang sebenarnya, tak terikat oleh waktu, tapi saban waktu, selamanya guna jadi Sholaatud-Daaim: sholat yang langgeng.

Tentu saja semua itu bisa teraplikasikan dengan baik ketika kita mampu memaknai puasa sebagai rem dalam saban laku diri di setiap detiknya. Sebab sumber segala kebajikan bermula dari manahan diri yang mampu membuahkan ketenangan dan kemaslahatan dalam saban laku yang jadi bermakna ibadah. [Li]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *