Prosa Lintang Ismaya: Manifestasi Kritis

Prosa: Lintang Ismaya | Ruangatas.com

“Nak, kenapa pemikiran kritis itu hanya lahir ketika berpuasa, saat Cahaya turun ke bumi? Di satu sisi, bumi memang sudah kodrat-Nya hitam kelam, bahkan merah api menyala. Ia akan seantiasa redup dan mawas saat cahaya-Nya turun pada selubung kalbu, hingga ke ulu hati.” Papar kiai Macan.

Bacaan Lainnya

Pertanyaan sekaligus penjelasan dari seorang guru pada muridnya tersebut harus mampu dijawab dalam laku renung. Tetiba saja sang murid teringat pada isi Surah Qaf ayat ke 16 yang pernah dikajinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,”

Singkatnya pikiran sang murid jadi menggelandang ke banyak ruang dan pereistiwa. Ia teringat pada kisah Sayyidina Ali Bin Abi Tholib ra., saban bulan puasa makanan yang dimakan oleh Sayyidina Ali ra, semakin sederhana meskipun beliau mampu untuk memakan makanan nan mewah:

“Tibalik jeung kaayaan diri uing sorangan, justru di bulan puasa sok ngadadak hayang ngadahar kadaharan anu mewah. Bahkan nepikeun ka lebaran.” Gumamnya. Padahal sang murid sadar betul bahwa salah satu esensi dari hakikat puasa itu untuk mengikis mental konsumtif.

Sepanjang ingatannya sang murid di daerahnya sendiri, justru transaksi di pasar pada bulan puasa itu mendadak laris manis. Kalau niat berbelanjanya untuk berbagi, tidak mengapa, sebab hal itu mengikuti kebiasaan Sayyidina Abu Bakar ra., dan Sayyidina Utsman ra., ketika menginjak bulan puasa, mereka kerap berbagi hadiah dan sedekah.

Ya, benar bahwa salah satu tujuan puasa itu supaya bisa menumbuhkan mental untuk berbagi. Musabab itulah kenapa akhir bulan puasa itu dipungkas dengan zakat fitrah. Inilah yang menjadi persoalan di masyarakat pada bulan puasa, selalu ingin banyak gaya; ingin terlihat wah oleh materi. Sebagaimana yang bekerja di luar kota, kala mudik, mayornya ingin terlihat sukses secara materi. Padahal aslinya itu jauh panggang dari api. Punya materi yang dibawa pulang kampung pun sejatinya hasil kredit, hutang dan rental. Ruang benaknya sang murid kembali teringat pada Tuan Syeikh Abdul Qodir Al Jailani seorang wali kutub yang pernah memeparkan perihal tiga tingkatan puasa; puasa syareat, puasa thoreqot, dan puasa hakekat.

Puasa syareat itu puasa yang hanya menahan haus, lapar dan jima di siang hari. Puasa thoreqot itu puasa dari menjalankan hal haram, larangan dan hal-hal buruk yang sifatnya ingin diakui oleh manusia (ria) dan sebagainya. Puasa hakekat yaitu puasa dari mencintai selain kepada Allah.

Sang murid menyadari bahwa ia hanya mampu berpuasa baru pada tingkatan syareat saja yang pada akhirnya sang murid kembali teringat pada Rasululloh saw., yang bersabda: “Kam min shoolimin laisa lahu min shiyaamihii illal-juu’ wal-‘atsy” artinya: betapa begitu banyak ragamnya manusia yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.

Sang murid kembali teringat pada sabda Rasululloh saw., selanjutnya; “Kam min shooimin mufthir, wa kam min mufthirin shooim.” Artinya, banyak sudah manusia yang berpuasa, tapi hakikatnya berbuka (batal), serta ada banyak pula manusia yang berbuka (tidak puasa), tapi hakikatnya berpuasa. Intinya, banyak sudah manusia yang menjalankan puasa, tapi mereka tidak tahu hakekat puasa yang sebenarnya.

Sebagaimana kebanyakan manusia yang berpuasa masih dalam tingkatan syareat, mereka mengartikan kegembiraan itu kala berbuka di waktu maghrib, tapi bagi manusia yang berpuasa dalam tingkatan thorekot dan hakekat itu makna kegembiraan yang mereka temukan kala berbuka itu paska meninggal dunia.

Intinya, gunanya menjalankan puasa thorekot dan puasa hakekat itu untuk menumbuhkan kesadaran sebagaimana yang dipaparkan dalam hadits qudsi: “Al insan sirrii, wa anaa sirruhuu” artinya, manusia itu rahasia Kami (Allah), sedangkan Kami (Allah) adalah rahasia manusia. Ada pun arti makna luasnya yaitu harus sadar, keberadaan adanya kita di bumi-Nya itu atas kehendak Allah, sejatinya kita itu milik Allah, dihidupkan dan dimatikan pun oleh Allah.

Secara esensi mengandung arti agar manusia sadar pada kewajibannya diri kita tiada lain harus bisa mengenal secara ma’rifat kepada Allah, supaya kita sadar akan tidak ada lagi tugas kita selain menghamba kepada Allah, serta tidak ada lagi yang layak untuk dicintai (mahabah) kecuali Allah semata.

Sang murid, dalam geming duduk renungnya, ia kembali melihat ke dalam dirinya; “Ka ayaan diri kuring kiwari, geuningan ibadah teh teu dibalikeun ka Allah. Dibalikeunna ngan saukur jang kapentingan diri. Matak kunaon diri kuring teu bisa nepi-nepi ka Allah na. jeung hararese bisa jaradi wali na. Raejun kuring getol puasa, getol solat, getol berjamaah, tujuanna mah hayang gampang hirup. Lah, riweuh pokona mah. Nuantukna teh geus rajin-rajin ibadah, ari hidup hese jeung susah wae. Tungtungna mah pan ngarasula. Nya atuh da salah niyat alwalna ti awak kuring sorangan!” pungkasnya bersepuh linang air mata yang menjadi air terjun, menuruni tirus pipinya—laju jatuh entah ke mana.

Kembali ucapan gurunya teringang dalam igatan dan pendengarannya: “Nak, kenapa pemikiran kritis itu hanya lahir ketika berpuasa, saat Cahaya turun ke bumi? Di satu sisi, bumi memang sudah kodrat-Nya hitam kelam, bahkan merah api menyala. Ia akan seantiasa redup dan mawas saat cahaya-Nya turun pada selubung kalbu, hingga ke ulu hati.” Di luar kobong, deras hujan menjengkali lingkar bumi. [Li]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *