Prosa: Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Teringat bahasa Gus Mus yang mana salah seorang kawan kembali membahasakannya: “Saya itu sudah jarang membaca Al Quran, musabab setiap kali saya membacanya, ia seperti membicarakan seluruh kejelekan diri saya secara pribadi. Maka, berbahagialah pada bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, yang masih senang membaca Al Quran meski pun tidak tahu maknanya.”
Teringat juga pada dua nabi yang berbeda zaman. Nabi Musa as., dan Nabi Isa as., yang mana mereka diperintahkan oleh Allah untuk mengurus Kaum Bani Israil. Sebagaimana yang sudah kita ketahui Bersama, bahwa Kaum Bani israil itu tidak bisa sabar pada hal apa pun yang tengah dihadapinya. Begitu pula ketika mereka sudah bisa merasakan kenikmatan dari sumber makanan yang langsung diturunkan dari surga, malah mereka kembali protes kepada Nabi Musa as.
Padahal kedua makanan yang bernama manna dan salwa itu merupakan dua hidangan spesial yang diturunkan kepada Kaum Bani Israil, saat mereka berada di padang gurun (tih). Dalam Al-Qur’an, kedua hidangan ini selalu disebut beriringan dan selalu menunjukkan citra dan rasa kenikmatan. Singkatnya, kedua hidangan ini disebut oleh Al-Qur’an sebanyak tiga kali, berbeda ayat dan surahnya.
Ketiga ayat tersebut, sebagai berikut: “Kami menurunkan kepadamu manna dan salwa.” [Qs. 2:57]. “Dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa.” [Qs.7:160]. “Dan Kami telah menurunkan kepada kamu manna dan salwa” [Qs. 20:80]. Ada pun jenis makanan Manna dan salwa sendiri merupakan satu hidangan yang belum pernah dikonsumsi oleh Umat Para Nabi sebelum Nabi Musa as, sebagaimana dalam penjelasan Al Quran [Qs. 5: 20]: “Dan (Dia) memberikan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain.”
Menukil dari teks safar al khuruj bahwa Kaum Bani Israil mengkonsumsi manna selama empat puluh tahun. Rasanya seperti roti yang dilapisi dengan madu. Bagi mereka, makanan ini sebagai pengganti dari roti. Namun, bukan berati mereka tidak memakan selain manna dan salwa. Mereka juga mengkonsumi daging hasil peternakan, tetapi mereka tidak mengkonsumsi tumbuh-tumubuhan dan kacang-kacangan.
Sedangkan kata salwa di dalam al-Qur’an menunjukkan salah satu jenis burung yang mirip atau sejenis dengan burung thamani (burung puyuh). Namun, dalam konteks arab, kata ini lebih masyhur diartikan dengan madu, sebagaimana pendapat Ibnu Manzur dalam kitab Lisan al-‘Arab.
Simpulannya, kedua hidangan ini tidak pernah habis meski dikonsumsi setiap hari. Sebab dari itulah, Kaum Bani Israil tidak perlu bekerja keras atau bersusah payah dan saling berebut untuk mendapatkannya, karena kedua hidangan ini diturunkan oleh Allah setiap hari secara cuma-cuma (kecuali hari sabtu). Musabab itulah Kaum Bani Israil tidak perlu menyimpan kedua hidangan tersebut pada tempat penyimpanan makanan, sebab kebutuhan pangan mereka benar-benar telah dicukupi oleh-Nya.
Keistimewaaan jenis hidangan ini secara umum, kedua hidangan ini tidak memiliki efek samping saat dikonsumsi oleh manusia. Boleh jadi, bahwasannya sumber dari kecerdasan Kaum Bani Israil itu dilatar-belakangi oleh konsumsi hidangan yang menyehatkan dan tersedia dalam jumlah yang sangat besar, selama empat puluh tahun mengkonsumsi kedua hidangan ini secara terus menerus. Bukankah seluruh kebutuhan pangan mereka tercukupi dengan sempurna, hingga mereka tidak pernah mengalami busung lapar.
Lepas dari itu sepertihalnya di zaman Nabi Isa as., yang tersurat dalam Al Quran [Qs. 5: 112-115] yang berisi: “Ingatlah ketika pengikut-pengikut Isa berkata, “Hai Isa putra Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” Isa menjawab, “Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kalian orang yang beriman.”
“Mereka menjawab, “Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.”
“Isa putra Maryam berdoa, “Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.” Allah berfirman,”
“Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepada kalian, (tetapi) barang siapa yang kafir di antara kalian sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia.”
Singkat kisahnya hal ini masih ada dalam lingkungan Madinah, sebagaimana kisah nabi Musa as., dan umatnya. Dan inilah kisah maidah atau hidangan dalam kisah Nabi Isa as., dan kaumnya, yang nama surah ini dikaitkan dengannya, karena itu disebut “surat Al- Maidah”. Hidangan ini merupakan salah satu bentuk nyata dari adanya anugerah Allah yang diberikan kepada hamba dan rasul-Nya, yaitu Nabi Isa as., kala memperkenankan doanya yang memohon agar diturunkan hidangan dari langit. Allah Swt., menurunkannya sebagai mukjizat yang cemerlang dan hujjah yang nyata.
Namun, dengan berbagai nikmat sebagai buah anugerah yang Allah berikan kepada Kaum Bani Israil, sebagian besar dari mereka tetaplah tidak bersyukur dan terus berbuat dosa bahkan melakukan penganiayaan. Simpulannya—apa pun yang mereka lakukan itu—pada hakikatnya tidaklah sedikit pun mereka bisa menganiaya Allah; justru mereka sendirilah yang berulangkali menganiya hidup mereka sendiri.
Sebagaimana pemaparan salah seorang kawan di itu waktu: “Kala laku diri kita mampu menengok ke dalam inti diri, benar bahwasannya laku diri ini; mutlak sudah masih seperti Kaum Bani Israil. Sulit untuk bisa bersyukur. Tidak bisa sabaran pada hal apa pun. Melulu yang diperebutkan itu isi perut. Ada materi ada kerja. Ada hidangan ada damai. Ada sampah cuci tangan. Ada konflik tiarap. Ada kisruh cari aman.”
“Ada penjajah berkuasa, beramai-ramai gabung menjadi pembelot bagi bangsanya sendiri. Ada hak guru dikebiri, malah kian dituding dan dibanting tak tahu diri. Ada dusta. Ada korupsi. Ada kolusi. Ada nepotisme. Ada rakus. Ada kemaruk. Ada busuk. Ada tusuk. Ada mampus. Ada berangus. Ada kudeta. Ada reka. Ada boneka. Ada bhineka. Ada sontoloyo. Ada udang di balik batu.”
“Ada-ada saja perilaku diri kita itu. Sudah merdeka malah membuat penjajahan sendiri. Tak suka pada kebohongan, tapi yang dipraktikannya melulu tipu dan muslihat. Tak suka melihat kemiskinan, tapi tak mau berbagi. Benci pada pengemis, tapi inten meminta-minta. Tak suka diperintah, tapi getol merintah.”
Kini kita kian paham saja, mengapa perintah sabar yang sebagian ulama tafsir menafsirkannya dengan puasa diturunkannya bersama ayat-ayat yang memperingati Kaum Bani Israil? (lihat QS. 2:140-146). Sebab saripatinya sumber segala kebajikan bermula dari mampunya laku manahan diri yang bisa membuahkan ketenangan dan kemaslahatan dalam saban laku diri yang jadi bermakna ibadah.
Sebagaimana kita diwajibkan untuk bisa dan mampu mentaddaburi Al Quran, toh sejatinya Al Quran—kala berkisah a, sesungguhnya untuk memaknai b. Sehingga zelf corrected terjadi dengan sendirinya, bagi yang berpikir. Jauhnya, mampu menjadi pedoman tetimangan di saban alur langkah kita, sebelum bunga rampai menghias tanah merah.
Ya, betapa mutlak dari gambaran Rahman dan Rahim-Nya itu merupakan wujud nyata dari buah anugrah Tuhan, bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia di bumi-Nya nan fana ini. Pantas saja Allah menekankan kalam-Nya; “Nikmat mana lagikah yang kau dustakan?” berulang kali diulangi dalam beda penegasan di surah Ar-Rahman. [Li]