Prosa: Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Sejatinya Samudra tak bisa dipagari. Namun kreativitas manusia sudah menjadi tradisi, meski mengancam ekosistem pesisir. Sebagaimana pasir besi dikeruk habis dari landai pantai yang menjorok ke daratan, meski abrasi mengancam. Namun kesemuanya itu menjadi hal yang lumrah bagi yang mampu serta bisa berkuasa dalam memangku kebijakan. Sebab ragam dalih yang diterbitkannya selalu ada dalam kalang logis, guna income dari pendapatan devisa menambah dan tujuan dari reklamasi demi mengatasi populasi manusia.
Toh, Tuhan sendiri tidak pernah melarang pada apa yang ingin kita perbuat. Sebagaimana judi, mabuk, zina dan segala hal yang diharamkan oleh kalam-Nya itu hanyalah berlaku bagi yang beriman dan bertaqwa pada perintah dan larangan-Nya semata. Tuhan pun menegaskan bahwa sejatinya hidup dan kehidupan di bumi-Nya ini hanyalah senda dan gurau belaka, dengan catatan apa pun yang sudah diperbuat dalam alur laku diri kita harus mampu mempertanggung- jawabkannya, kelak, di hadapan-Nya.
Ya, betapa bijaksananya Tuhan pada setiap mahluk yang diciptakan-Nya itu. Sehingga kita bisa bebas melenggang di bumi-Nya, tanpa beban sedikit pun atas maunya laku diri kita. Namun dalam sebuah lirik syairnya Iwan Fals pernah mengingatkan kita bahwa; “Keinginan adalah sumber penderitaan.” Benar apa yang dikatakannya itu sebagaiman Khalil Gibran yang pernah menulis; “Bukan makanan yang masuk ke tubuh kita, yang membuat kita sakit, tetapi ada pikiran- pikiran lain yang menggerogoti tubuh kita.” Dua esensi yang berbeda, tetapi menyimpan makna nan sinambung.
Teringat pula pada seorang kawan yang pernah berkata: “Kotoran tak pernah bisa masuk ke dalam mulut, melainkan yang keluar dari mulut itulah sumber inti dari segala kotoran berada. Sehingga nafsu lebih beringas dari birahi itu sendiri.” Teringat bujuk rayu Azazil pada Adam as., sampai Hawa pun kena imbas dari godanya. Singkatnya, mereka diturnkan ke bumi.
Sampai akhirnya setan bisa leluasa berenang di urat nadi manusia, dari sinilah alur peradaban manusia yang kian berat melawan hawa nafsunya sendiri dimulai, yang mana hawa nafsu sebagai sumber dari segala ihwal hasrat dan inginnya laku diri. Diriwayatkan, sewaktu diturunkan dari surga ke bumi-Nya, Nabi Adam as., terbakar kulitnya oleh matahari, sehingga tubuhnya menghitam. Singkatnya al kisah; Malaikat Jibril mendatanginya, menyuruh Nabi Adam as., untuk berpuasa selama tiga hari guna tubuhnya kembali memutih. Puasa ini disebut dengan puasa ayamul bidl atau hari-hari putih.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai tafsir penggalan ayat “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” [QS. 2:183] ada pun bahwa maksud orang-orang terdahulu di sana—di antaranya adalah Ahli Kitab, dalam hal ini adalah Kaum Yahudi, sebagaimana dalam riwayat Mujahid dan Qatadah. Dalam riwayatnya, Qotadah memaparkan, “Puasa Ramadhan itu telah diwajibkan untuk seluruh umat manusia di bumi-Nya, sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang sebelum mereka. Sebelum menurunkan kewajiban Puasa Ramadhan, Allah menurunkan kewajiban puasa tiga hari setiap bulannya.
Sebagian mengatakan, maksud dari penggalan ayat itu [QS. 2:183] adalah adanya kesamaan kewajiban puasa antara umat terdahulu dengan umat islam. Sedangkan waktu, cara, dan lamanya tentu saja berbeda, seperti puasa Dawud, puasa ‘Asyura bagi Umat Yahudi, puasa ayaumul bidl yang biasa dilakukan oleh nabi Nuh as., nabi Adam as., dan Rasulullah saw., sebelum turunnya perintah Puasa Ramadhan.
Ada lagi yang menafsirkan isi ayat [QS. 2:183] tersebut dikarenakan adanya kesamaan kewajiban puasa, baik waktu mau pun lamanya seperti puasa Ramadhan bagi umat Nasrani. Mereka wajib menjalankannya pada Ramadhan selama 30 hari. Namun karena keberatan kemudian mereka mengalihkan puasanya itu ke pertengahan musim panas dan dingin dengan penambahan hari. Mereka berkata, “untuk menebus apa yang kita kerjakan, kita akan menambahkan puasa kita sebanyak dua puluh hari.” Dengan begitu, puasa mereka menjadi 50 hari. Tradisi Nasrani itu juga masih terus dilakukan oleh kaum Muslimin, termasuk oleh Abu Qais ibn Sirham dan Umar ibn al-Khathab. Maka Allah pun membolehkan mereka makan, minum, zima suami-istri, hingga waktu fajar. Hal itu seperti yang dikutip al-Thabari dari Musa ibn Harun, dari ‘Amr ibn Hammad, dari Asbath, dari al-Suddi.
Adakah korelasinya perintah puasa dengan pagar laut? Pikiran itu harus bisa mengendalikan badan. Bukan badan yang mengendalikan pikiran. Luasnya laut seumpama besarnya hasrat atau keinginan yang menggebu—bak debur ombak menghantam batu karang dan dinding daratan. Sebagaimana pagar laut—betapa eloknya dalam fungsi—jika pagar tersebut berada tepat di garis territorial. Dari itulah sumber hasrat atau keingingan harus dipagari dengan jalan tirakat puasa. Sebab saripatinya puasa itu merupakan sumber dari segala kebajikan, bermula dari mampunya laku manahan diri yang membuahkan ketenangan dan kemaslahatan dalam saban laku diri yang jadi bermakna ibadah.
Pada akhirnya fenomena pagar laut jadi semiotik untuk kita tadabburi. Dengan mampunya kita meredam ragam hasrat lewat jalan tirakat puasa yang diwajibkan-Nya kepada seluruh manusia, niscaya segala keputusan yang akan terlahir dari rahim pikiran, mulut dan laku diri, senantisa akan berpijak pada tatanan kemaslahatan demi terciptanya tentram dalam keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia.
Janganlah terlalu fokus dalam kalang rakus dan rampus, sebab sejatinya pewaris mutlak bumi ini adalah anak cucu kita sendiri. Benar. Tuhan sendiri tidak pernah melarang pada apa yang ingin kita perbuat. Namun kesemuanya itu sebagai wujud rupa dari cerminan mutlak siapakah sesungguhnya diri kita ini di hadapan-Nya, hingga berani membangkang pada segenap kalam-Nya sebagai pedoman hidup untuk kita jalankan di muka bumi-Nya ini. Benar. Bahwa sejatinya manusia itu pembangkang, tetapi kita pun dituntun untuk bisa menghindar dari segenap bisikan setan yang mana selalu membangkitkan segenap hasrat, hingga lupa daratan.
Benar. Sejatinya manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan sempurna. Namun kesempurnaannya itu memerlukan elemen-elemen lainnya, agar bisa berjalan dengan sempurna. Musabab itulah Tuhan menurunkan pedoman hidup untuk melakoni kehidupan di bumi-Nya nan fana ini. Dari al kisah nabi Adam AS., sebelum diturunkan ke bumi merupakan cerminan mutlak untuk kita jadikan pedoman dalam mawas diri, siapakah sesungguhnya kita?
Benar. Jika Tuhan berkehendak, niscaya tidak ada satu pun manusia pembangkang, tapi salah satu tugas kita diturunkan ke bumi untuk mencari kejatnikaan yaitu sejatinya jati diri, selagi umur merapat ke liang kubur. [Li]