Oleh: Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Berbicara paradigma kemampuan tidak bisa lepas dari skill dan kemampuan itu sendiri. Singkatnya, kemampuan adalah kesanggupan atau kecakapan, sedangkan skill adalah keterampilan atau keahlian. Keduanya sama-sama menunjukkan kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu. Maka, makna dari paradigma kemampuan dan skill dapat diartikan sebagai kapasitas dan kecakapan yang dimiliki seseorang untuk melakukan sesuatu. Keterampilan dapat dipelajari dan dikembangkan melalui pengalaman, sedangkan kemampuan dapat dibuktikan saat ini.
Kemampuan dan skill itu mengandung makna yang utuh. Keutuhan makna itu merupakan perpaduan dari empat aspek, yakni pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan amanat (intention). Memahami aspek itu dalam seluruh konteks adalah bagian dari usaha untuk memahami makna dalam komunikasi. Musabab itulah dalam dunia presentasi atau kegiatan menyampaikan gagasan, ide, atau informasi kepada khalayak umum. Presentasi dapat dilakukan secara lisan atau tertulis. Namun dalam kenyataanya tidak semua bisa dipresentasikan. Seperti halnya para ahli atau tukang, mereka hanya menerima pesanan, tanpa perlu mempresentasikan terlebih dahulu. Hal itu pun bergantung dari pihak konsumennya.
Dalam lingkungan masyarakat kemampuan dan skill senantiasa berbenturan. Misalkan, seseorang bergelar Sarjana Seni. Paradigma di masyarakat selalu menganggap orang yang bergelar sarjana seni itu bisa menguasai semua bidang seni, tanpa ingin tahu spesialisasi kelulusannya apa. Sebagaimana spesialisasi sarjana hukum dapat meliputi hukum perdata, pidana, tata negara, administrasi negara, internasional, bisnis, dan litigasi. Dengan lulusan turunannya meliputi: Spesialisasi Hukum Perdata, Pidana, dan Tata Negara, Spesialisasi Hukum Bisnis, Spesialisasi Hukum Internasional, Spesialisasi Kemahiran Praktik Hukum, Spesialisasi Litigasi dan Pengadilan, Spesialisasi Corporate Lawyer, dan Spesialisasi Litigation Lawyer. Seperti itulah spesialisasi sarjana seni, ada spesialisasi musik, seni rupa murni, teater, tari, karawitan dan spesialisasi sarjana seni lainnya.
Dalam kasus lain di masyarakat, kemampuan dan skill selalu dihubungkan dengan gerak daya guna. Misal si (a) mampu bersosialisasi dengan baik, padahal tidak bergelar. Sementara si (b) yang bergelar malah introvert. Hingga menjadi momok di ruang-ruang pribadi dan komunal. Pada kasus yang lain di masyarakat, kemampuan dan skill selalu dihubungkan dengan bakti sosial, misal si (a) sebagai pekerja buruh pabrik mampu menyumbang materi cukup besar, sementara si (b) sebagai pengusaha hanya mampu menyumbang materi dengan ala kadarnya atawa galibnya saja. Hal ini pun kembali menjadi momok di lingkungannya.
Sebagaimana riset di sebuah kompleks perumahan elit yang notabene mayor penghuninya baik secara kemampuan dan skill beragam, tapi secara kemampuan materi, sangat mampu untuk melakukan bakti sosial secara serempak, misal jika diwajibkan untuk menyumbangkan kemampuan materinya dipukul ratakan sesuai dengan takarannya. Namun, hal itu tidak bisa terjadi begitu saja. Selalu saja ada sebab dan musabab yang menjadi alasan keberatan. Mengapa bisa terjadi demikian, adakah kemampuan dan skill (keterampilan) memengaruhi pola pikir? Pertanyaan inilah yang harus bisa dipecahkan.
Secara psikologis, pengaruh kemampuan dan keterampilan dapat memengaruhi kinerja akademis dan kesejahteraan secara keseluruhan. Kemampuan dan keterampilan dapat memengaruhi cara seseorang berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Kemampuan dan keterampilan dapat memengaruhi pertumbuhan pribadi. Singkatnya imbas dari kemampuan dan keterampilan pada psikologis itu dapat memengaruhi cara seseorang berpikir, berperilaku, dan berinteraksi dengan orang lain, sampai ke ruang atawa ranah sosial.
Sehingga kemampuan dan keterampilan secara interpersonal itu memiliki empati, meningkatkan kedekatan, saling memahami, saling membantu, meningkatkan produktivitas. Hal ini bisa terasa dengan nyata dalam ruang-ruang sosial yang mana kemampuan dan keterampilan itu dapat membantu memiliki hubungan yang hangat, memuaskan, dan saling percaya. Prihatin dengan kesejahteraan orang lain. Mampu empati yang kuat, kasih sayang, dan keintiman. Mengerti memberi dan menerima hubungan manusia. Seperti itulah gambaran idealnya.
Namun pada kesunyataanya, paradigma yang berkembang di masyarakat, bahwasannya kala berpangku tangan bukan hanya membuat orang tak mendapat penghasilan, tapi bisa juga menjerumuskannya pada perilaku buruk meminta-minta, bahkan merugikan orang lain, demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, hal itu benar adanya, di sisi lainnya lagi kewajiban manusia dalam poin ibadah itu harus bisa atawa mampu saling tolong-menolong. Laju di sisi lainnya pun dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai banyak pengangguran. Namun anehnya, secara bersamaan kita temui pula kasus susahnya mencari orang yang mau bekerja, padahal secara segi kemampuan dan skill memadai untuk diberdayakan. Imbasnya banyak sekali pekerjaan yang bisa dilakukan dalam hidup dan kehidupan ini terbengkalai begitu saja. Hal ini menunjukkan bahwa menganggur tak selalu identik karena tak adanya pekerjaan, melainkan bisa jadi karena kemalasan padahal secara kemampuan dan skill memadai.
Adakah hal ini berhubungan erat dengan paradigma logical fallacy; kesalahan dalam berpikir yang dapat membuat argumen terdengar lebih meyakinkan, padahal tidak relevan dengan kebenaran klaim tersebut, yang mana imbas dari logical fallacy dapat digunakan untuk propaganda, tipu muslihat, atau mempengaruhi orang lain. Di sisi lain, kewajiban manusia itu adalah berusaha, sedangkan soal mencapai target pendapatan tertentu adalah hal lain. Laju secara fitrah, manusia adalah makhluk sempurna yang memiliki kompetensi diri yang unik, beragam, dan sesuai dengan bidang pekerjaan tertentu. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, manusia memiliki potensi yang bisa digunakan untuk bekerja. [Li]