Dunia Ambang: Cerpen Syifa Siti Sofia

Cerpen Syifa Siti Sofia | Ruangatas.com

Pada ranting pohon asem jawa yang menjorok ke jalan raya, seekor ulat hijau berhasil dipatuk laju ditelan oleh seekor burung Ciblek. Aku yang tengah duduk di halte sambil menunggu angkot datang. Angkot 09 jurusan pasar dan kota. Pohon asem jawa itu tumbuh di tengah-tengah halte, tepat posisinya berada di punggung halte.

Bacaan Lainnya

Di atas cabang dahan yang lain, pada sebuah ranting yang lain, seekor kupu-kupu hinggap di antara bebungaan bakal buah asam. Ia nampak begitu nyaman hinggap di sana. Bisa jadi sambil menghisap sari-sari bunga. Ya biang madu. Madu hidup dan kehidupan. Gelisahku yang tengah menunggu angkot sedikit terhindarkan dalam renung. Kembara mata selalu memberi hal-hal yang tak terduga; panorama yang tak tergambarkan sebelumnya dalam imaji.

Di atas ubin trotoar, tepat di depan sepatu kiriku, sepasukan semut begitu kompak menggotong seekor bangkai kecoak. Entah mau di bawa ke mana, yang jelas mereka nampak semangat membopongnya, ada juga pasukan lain yang tak ikut menggotong, mereka seperti sibuk mengarahkan jalur. Aku mencoba memainkan kakiku dengan bersengaja sepatu yang kupakai menghalangi lajurnya. Namun mereka tak nampak ada ketakutan sedikit pun, justeru yang terjadi mereka semakin semangat mencari jalur lain.

Aku dibuat tersenyum oleh ulahku dan laku mereka. Jika menengok kalender musim yang sudah tersimpan abadi di keropak ingatanku, ini memanglah sudah bulannya musim penghujan, tapi hujan baru turun sekali saja. Ya, dua hari yang lalu. Benar, meski baru turun sekali, tapi sudah mampu memberi gairah sungguh pada pohon asem jawa dengan menumbuhkan bunga-bunga. Kebetulan atau tidak, jelasnya air hujan itu rahmat sekaligus berkah dariNya.

Keberadaan ku di halte ini bukanlah faktor kebetulan. Memang, saban harinya aku selalu menunggu angkot 09 di halte ini. Disamping rutinitas kerja, sesekali pergi ke pasar dengan menggunakan angkot yang sama: 09. Seperti biasa aku selalu berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Barangkali para sopir angkot sudah mengenaliku. Meski posisiku sebagai guru honorer, tapi beban dan tanggung jawab sebagai tenaga pendidik dalam ruang kelas, tak ada bedanya.

Hari ini, sebenarnya aku tak ingin masuk ruang kelas dikarenakan anak sulung ku mengalami diare. Seorang ibu selalu lebih khawatir pada sikon anaknya dibandingkan bapaknya. Klise memang, tetapi hal itu bukan berarti mutlak dalam sebuah penilaian:

“Pergilah sekolah, kasihan murid-muridmu. Sebentar lagi ujian nasional. Materi harus sampai semua guna dapat dipahami oleh anak didik mu!” Sebuah kalimat yang keluar dari mulut suamiku yang membuatku bisa berada di halte siang ini. Namun anehnya sudah satu jam lebih, tak kunjung juga angkot 09 ada yang lewat. Jangan-jangan ada demo di kota, hingga laju angkot tertahan? Ya. Demo.

Seperti berita-berita di televisi dan radio, demo sedang terjadi di mana-mana, ikhwal protes tentang imbas kebijakan dari pemerintah pusat. Namun sayangnya aku tak terlalu paham tentang perkembangan beritanya. Disamping tak punya teve dan radio pun kali setiap aku pulang mengajar di sore hari, anak-anak tetangga sudah berada di beranda rumah.

Mereka yang datang dengan kesadaran sendiri ingin bisa membaca Al Qur’an. Melihat semangat mereka, rasa lelahku hilang. Oh, ya, aku bisa menonton teve di ruang guru, hal itu pun tanpa unsur kesengajaan, sekadar menunggu giliran jam masuk lagi. Gelisahku kembali meraja, musabab angkot 09 belum juga ada yang datang. Mana tidak membawa gawai. Hendak jalan kaki, percuma juga rasanya meski pepatah tak pernah salah: biar lambat asal selamat. Matahari kian meninggi.

Jalan raya terasa semakin lengang. Dengan perut keroncongan, aku masih setia duduk di bangku halte menunggu angkot 09 datang. Di salah satu tubir ranting pohon asem jawa yang menjorok ke jalan raya, seekor bunglon terjatuh menimpa jalanan aspal hitam; terguling seterusnya membetulkan posisi tubuhnya laju berlari menyeberangi jalan yang lengang, sepi dari pelancong:

Seiring tempat itu berubah secepat kilat menjadi sebuah telaga dan aku masih terduduk di bangku; aku mendengar sebah nada musik Beethoven no 9 yang hilang seketika juga disapu suara menutup pintu kamar laju digantikan sebuah suara yang tak asing dalam pendengaranku: “hallo… Maaf. Semalaman tak tidur, menjaga anak kami yang sedang sakit diare. Mohon maaf atas ketidak Hadirannya ke sekolah.” aku yang membuka mata, anak sulung ku tertidur lelap di pelukku. []

***

Foto Penulis, Syifa Siti Sofia

Syifa Siti Sofia, pemilik nama pena Mataya Sutiragen merupakan Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Siliwangi, Guru Bahasa Indonesia SMAN 9 Kota Tasikmalaya. Tulisan karya sastranya sempat tersebar di beberapa media baik lokal, daerah, dan nasional. Seperti Surat Kabar Priangan, Radar Tasikmalaya, Pikiran Rakyat dan Jurnal Sajak. Serta dalam beberapa antologi bersama, di antaranya; Puandemik (JBS, 2021, Sang Pewaris (Langgam Pustaka, 2022) dan antologi bersama lainnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *