MANTAN TAPOL ATAWA FILOSOFI SINGKONG
Monolog: Lintang Ismaya
NIGHT. DI SEBUAH RUANGAN. RUANG WAWANCARA
Sebenarnya aku tidak ingin mengingat hal itu lagi, tapi … MENARIK NAPAS PANJANG Ya, kalian sebagai kuli tinta tentu memerlukan berita. Kalau tidak ada berita yang naik cetak, dari mana keluarga kalian bisa makan? Hidup dan kehidupan di dunia ini memang tidak bisa dipisahkan dari symbiosis mutualisme. Ya, kan? HENING
BERGUMAM Ah, ijinkan aku mengenangmu kekasih. HENING. Ya, dari pertanyaan sepele kekasih itulah pangkal semuanya terjadi. Kekasihku bertanya begini: Kang apa yang kau pahami tentang petak-petak atau kotak-kotak? Mendengar pertanyaan itu tentu saja aku sebagai sarjana politik langsung saja mengasumsikan pada hal-hal yang berbau rasisme dengan sepuhan radikal dan agak kekirian sedikit.
Apa? Ya, tentu saja aku tidak menjawabnya dengan segera. Aku hanya berkata di itu waktu padanya: pertanyaan nan gemilang, cerdas, dan bernas. Kau memang belahan jiwaku nan mistis. Nanti saja jawabannya akan akang buatkan artikel khusus untukmu! Ucapku di itu waktu sambil meremas gemas kenyataan utuh ubur-ubur yang tumbuh subur di bagian tubuh dadanya dengan disepuh kecupan lembut.
Tepat. Dunia seolah milik kami berdua. Disamping ruang dan peristiwa mendukung dan tentu saja waktu yang mengikat kami di sebuah ruang. Berdua. Ya, berdua saja. MENATAP. Apa? Ah, itu pikiran keliru. Kenapa harus membawa setan sebagai pihak ke tiga? Kasihan dong setan selalu dijadikan kambing hitam terus? Terang dan jelas manusia diwarisi nafsu purbawi sejak kali pertama diturunkan ke bumi. Ya kan?
Oh, ya, singkatnya bengini; Ruang-ruang dicipta jadi petak-petak. Berebut dalam lembar sejarah. Partai berdiri sebagai wujud filter. Ragam narasi jadi dalih opossisi, guna tak ada retak. Alamat-alamat diciptakan. Jalan-jalan dipertegas. Ragam alur diperjelas, sampai terlukis bak gelusur ular, terlihat cantik dalam liuk, tapi?
Kekasihku, bagiku petak-petak tak ubahnya dari input yang melahirkan output. Sebagaimana kesukaanmu itu pada makanan yang bernama combro. Bahan dasarnya adalah singkong. Di negeri fufufafa yang kita cintai ini, orang-orangnya paling jago dalam hal output. Lihatlah dari inputnya singkong bisa menjadi apa saja; bisa menjadi goreng singkong, kolak singkong, kulub singkong, keripik singkong, onggil-onggol, awug, aci singkong, cilok, getuk, jiwel, opak beca, citruk, comet dan lainya.
Dari sinilah petak-petak terjadi, sampai punya kaumnya tersendiri. Lama-lama perang strategi tercipta. Jadi ragam jualan dengan iklannya yang beragam. Begitu pun dalam hal beragama yang melahirkan banyak organisasi. Padahal inputnya sama; islam, tapi jadi ada NU, muhammadiyah, persis, aswaja, ahmadiyah, syiah, hizbutahrir, LDII, mu’tazilah dan lainnya. Lebih parah lagi dalam hal berpolitik yang banyak melahirkan partai-partai tidak jelas dalam kontribusinya pada negara.
MENATAP FOKUS. Ya, seperti yang sudah kalian ketahui, apa sih fungsinya partai itu sesungguhnya? MENYIMAK. Benar. Partai itu alat filter untuk menyaring calon-calon pemimpin. Berdasarkan analisa umum, partai-partai yang ada sekarang tidak melakukan hal itu, justeru yang ada saling koalisi menitipkan jagoannya di ranah eksekutif, yudikatif dan legeslatif untuk saling memfilter dalam bagi-bagi kue!
Seperti halnya dalam beragama. Agamanya itu satu, tapi bisa melahirkan ragam tafsir yang berbeda dalam konsep menjalankannya. Hal ini yang menjadikan perbedaan itu buruk. Seharusnya perbedaan bisa menjadikan harmonis. Sehingga harmonisasi terjadi, tapi apa yang terjadi? Saling berebut umat. Saling sikut. Saling mengunggulkan golongannya. Demikian juga pada tubuh-tubuh partai, yang terjadi hanyalah saling berebut kekuasaan. Saling adu domba. Saling bintih, dan saling berebut artis guna bisa menggaet masa.
Padahal bagiku sangatlah sederhana: seperti yang engkau ketahui bahwa aku lebih suka keripik ketimbang combro, tapi cintamu tidak goyah sekali pun dengan perbedaan selera dalam arti makanan favorit kita yang berbeda. Justeru engkau datang menanyakan bagaimana aku kalau membuat keripik itu? Ya, kau tanyakan utuh prosesnya. Seperti yang aku bilang kepadamu, mula-mula aku mengupas singkong itu kemudian di iris-iris. Laju direbus barang tiga menit saja. kemudian ditiriskan. Diberi garam secukupnya. Lalu digoreng. Jadilah keripik renyah di lidah, tak membuat gigi sakit dalam gigit terlebih ada rasa ngilu yang mampu masuk ke gigi grahamku yang bolong.
Kau begitu khidmat mencerna setiap ucapanku. Kemudian kau memberikan asupan: kang, sekarang sudah ada serbuk keju, cobalah habis digoreng kau tambahkan serbuk keju ke kripik kemudian digoyang-goyang, sampai terlihat hasilnya merata. Tentu saja hal itu yang membuatku kian mencintaimu bahwa aku bisa merasakan varian keripik singkong dengan rasa yang berbeda, tapi tidak merubah esensinya yang tetap keripik. Seperti goyanganmu yang berubah-ubah, tapi tidak merubah gelitiknya dalam geli. Ah, ya tentu saja engkau benar, wahai kekasihku; jika ini diterapkan dalam hal beragama, saling menambahkan dalam selera, tentu saja akan lain cerita.
Demikian juga ketika pendapatmu itu diterapkan dalam hal berpolitik, saling menambahkan pada selera, tentu saja tidak akan terjadi sikut-menyikut. Heterogen akan terjadi. Kebersamaan tercipta. Gotong-royong tumbuh subur. Rakyat tidak lagi ada yang tertindas dan kelaparan. Seluruh umat dari ragam golongan harmonis dalam sahaja. Rukun tetangga tercipta. Petak-petak atawa kotak-kotak yang kau pertanyakan itu menjadi utuh dalam wujud bhinneka yang tunggal dalam ika. Sebagai contoh bahasan kecilnya dalam satu sisi saja; jika dalam forum-forum majemuk, tidak usahlah membicarakan tentang perbedaan dan saling mengunggulkannya, tapi sumber utamanya tidak dibahas dengan tuntas. dan ditinggalkan begitu saja.
Cukuplah berbicara tentang singkongnya saja, bagaimana cara menanam singkong itu dengan baik. Bisa subur. Bisa berbuah besar. Bisa tidak kebas dalam hasil panen. Saling memberikan resep adalah kuncinya. Saling menambahkan pengalaman adalah solusinya. Bukan saling menggaungkan selera. Padahal inputnya saja sudah sama, yaitu singkong. Konsep inilah, sebagai bentuk nyata dari perwujudan berbangsa, bernegara, dan beragama sehingga regenerasi bangsa bisa hidup rukun dan sejahtera, humanis, saling rukun dalam tata, tatanan dan menata, tidak lagi diribetkan dengan perbedaan yang terus dipaksakan sebagai asupan doktrin yang harus terjadi dan tumbuh di setiap tubuh generasi bangsa.
Ya, berjualan boleh saja sebab itulah hukum dunia, tapi yang harus diingat jangan memperbesar selera dengan saling mengkhunuskan pedang. Tidak ada yang baik dan terbaik sebab di atas langit masih ada langit. Tidak ada yang sempurna, sebab kesempurnaan hanya milik Tuhan semata. Janganlah lagi kita melihat orang yang berkaca-kaca dalam kalang duka dan penindasan. Ya, saling mengingatkan itulah sumber peremajaan, tapi yang harus diingatkannya dalam konteks apa? Resepnya dulu yang harus ditemukan barulah tindakan dilaksanakan.
MENATAP SEKITAR. Ah, jangan-jangan terjadinya perbedaan itu disebabkan dari adanya korup? Ya, ingin simpelnya saja? Apakah kalian bersetuju bahwa budaya korup itu budaya yang menolak kafah dalam arti keadilan sosial sehingga misteri yang hadir menjadi perdebatan semata. Lupakan. HENING. Ngomong-ngomong tentang korup yang jadi koruptor. Sudah selayaknya bahwa koruptor itu harus dimiskinkan dan di penjarakan. Ya, benar! Sebab korupsi itu kejahatan yang luar biasa. Sangat sistematis. Kerusakannya berdampak besar. Mengganggu masyarakat. Masyarakat yang terdampak imbasnya dengan waktu yang sangat panjang, oleh karenanya kaum korup itu tergolong pelanggar HAM.
HENING. Seperti halnya kenapa terjadi perbedaan mazhab dalam fatwa atawa hukum yang menyebabkan terjadinya otak-atik hukum, hal itu demi mengamankan kepentingan satu golongan saja; memblokir kepentingan golongan lain. Dulu, ada khalifah yang bermazhab mu’tazilah ia bernama Al’Mutasim yang menyebutkan bahwa Al Quran atau kitab-kitab itu hadits atawa makhluk baru, bukan qodim atau tidak ada awalnya. Sampai semua ulama yang berpendapat AL Quran atau kitab-kitab itu qodim dipenjarakannya. Salah satunya imam Ahmad bin Hambali yang dipenjarakan. Ada juga yang selamat yaitu imam Syafi’ie yang berhasil mengecoh khalifah itu dengan menyebutkan AL Quran, Injil, Tauret dan Zabur itu ke-empat-empanya adalah hadits atawa makhluk baru sambil menunjukkan ke empat jari kirinya dengan tangan kanannya. Padahal yang dimaksudkan imam Syafi’ie itu adalah ke empat jarinya itu termasuk makhluk baru.
Intinya kita harus bisa melihat ke dalam diri. Sebagai narasi lain aku beri sebuah sisipan berita untuk kalian; BERORASI Di negeri mayoritas oknum, oportunis dan feodal; disanalah aku berdiri. Semoga keberkahan. Sehat jasmani dan rohani, selalu dilimpahkan. Memasuki hutan lindung, tapi tak terlindung; Gundul, tak bisa membendung hujan. Hujan jadi rutinitas banjir. Banjir blusukan.
Di negeri mayoritas oknum, oportunis dan feodal; disanalah aku berdiri. Kritik dan kontrol sosial penting untuk mengkoreksi kebijakan, yang bengkok atau salah arah bahkan menindas; wajib diberantas. Di negeri mayoritas oknum, oportunis dan feodal; disanalah aku berdiri. Jadi badut dan pesulap adalah pilihan profesi yang paling utama. Serta yang tidak konstruktif adalah yang repot-repot bicara ras atau darah kebangsaan. Di negeri mayoritas oknum, oportunis dan feodal; disanalah aku berdiri; mari bangun narasi kebaikan, karena narasi keburukan akan menghasilkan kebodohan dan pertengkaran.
Barangkali, semua capres-cawapres dan kita sendiri punya sisi gelap. Jika sisi gelap terus menerus diproduksi, pasti tidak akan ada kedamaian pada tiap jiwa yang memproduksi dan yang menyepakatinya. Sisi gelap harus jadi cermin. Sebaliknya sisi terang, mesti menginspirasi; menjadi landasan berpikir untuk lebih maju dalam tiap langkah dan arah perubahannya. Ya, di negeri mayoritas oknum, oportunis dan feodal; disanalah aku berdiri.
PERCAYA DIRI Hey… apakah aku sudah seperti orator ulung? Apa? Satu kali lagi? Baiklah aku akan berorasi singkat saja dengan bahasa yang lebih puitis tentunya: Alunan ragam nada di batas giris mengunggis hati hingga ke batas giris. Beringin rubuh hasil kalkulasi. Kayunya dijadikan perabot. Sebagian untuk digunakan. Sebagiannya lagi dijual demi penuhi keperluan. Jalan-jalan mengubur kata. Kata-kata diternakkan sahaja demi terjaga stabilitas dalam notasi kesejahteraan. Siapa membaca siapa, seperti dadu di meja judi. Seperti palu hakim di meja hijau. Daun-daun gugur menggunting udara. Kembara alam rasa. Menuliskan angka-angka. Jadi boomerang dalam petak umpet. Hompimpa alaium gambreng. Bancah dan bancah bukanlah satu-satunya langkah patah dalam menuliskan madah kesejahteraan. Siapa membaca siapa, seperti dadu di meja judi. Seperti palu hakim di meja hijau. Daun-daun gugur menggunting udara. Jadi pupuk peremajaan. HENING
Oh ya… ada yang lupa. Maafkan aku saudara-saudara. Sebenarnnya aku dipenjara bukanlah musabab tulisanku yang dimuat di media masa dengan judul Filosofi Singkong, melainkan aku dipenjara itu adalah telah mengirimkan kekasihku ke alam lain dengan dalih merasa kasihan bahwa dirinya sudah dirudapaksa oleh kedua orang tuanya untuk menikah dengan birokrat tua bangka itu, ya kalian tahu siapa dia. Sebab aku seorang politikus, maka yang beredar dalam dunia berita, aku dipenjara musabab Filosofi Singkong. Sengaja aku tidak mengklarifikasi itu di dalam penjara, meski banyak orang pers yang datang dari berbegai media masa, hal itu aku lakukan demi reputasiku.
Namun kini, rasa cintaku padanya kian membesar saja, seperti kali pertama aku menggilainya sampai meracuninya disebabkan aku tidak rela melihat derita kekasihku yang dirudapaksa alur hidupnya. Ya, kini aku harus terbuka apa adanya, bagiku dengan aku mengirimkannya ke alam lain adalah satu-satunya jalan terbaik untuk dirinya. Sebab revolusi perlu darah dan air mata. Maafkan aku semesta. Maafkan aku duhai calon mertua. Maafkan aku wahai kekasih. Siapa tahu dengan keterbukaanku ini kepada kalian, Tuhan memberikan grasi padaku! BERLINANG.