Politik Identitas Tak Perlu Culas

Opini Bentang Sakati | Ruangatas.com

Di zaman ketika narasi telah menggantikan kebenaran, kita hidup dalam absurditas yang disiarkan secara massal, dikemas dalam konferensi pers penuh basa-basi, dan dilegalisasi lewat undang-undang yang konon demi rakyat, namun sejatinya hanya melayani segelintir elite. Segalanya kini bisa dipalsukan—bukan hanya barang, tapi juga niat, moral, bahkan sejarah itu sendiri. Sebuah zaman yang menukarkan nurani dengan kepentingan dan menjadikan ilusi sebagai fakta.

Bacaan Lainnya

Ini bukan gejala baru. Bahkan di masa para nabi, kita mengenal keberadaan nabi palsu. Namun pertanyaan mendasarnya tetap relevan: akankah kita terus menjadi penonton pasif dalam lakon kekuasaan, ataukah berani merebut naskahnya dan menulis ulang cerita bangsa ini dengan tinta kejujuran? Bukan sekadar meluruskan, tapi mengembalikan pada hakikat yang seharusnya.

Ketika politik menyusup ke ruang-ruang budaya dan agama, ia tidak selalu membawa pencerahan. Justru kerap menebar benih perpecahan. Ironisnya, kebusukan itu kini menjadi sistemik. Di ruang publik, kebohongan dipentaskan seperti komedi, disambut tawa, padahal kita tengah digiring menuju tragedi. Di panggung politik, rakyat hanya figuran. Dan figuran tak pernah diberi suara, hanya dimanfaatkan, lalu dilupakan.

Dalam kehidupan sosial, rumah tangga, maupun negara, kita butuh terang. Sebagaimana hanya ada satu Matahari yang cukup untuk menerangi bumi. Terang adalah nilai. Ia adalah nurani. Dan ketika politik mencemari terang itu dengan tipu daya, maka yang lahir bukan kesejahteraan, melainkan pembusukan yang sistematis.

Politik tak semestinya menjadikan budaya dan agama sebagai alat legitimasi. Budaya adalah jiwa bangsa; agama adalah kalbu semesta. Maka mencemarinya dengan kepentingan politik adalah bentuk pengkhianatan terhadap akar jati diri bangsa. Mereka yang lihai menyusun puzzle politik identitas terlihat elok di permukaan, namun sesungguhnya berdiri di atas kebohongan yang terstruktur.

Sejak dulu, mereka yang mencintai budaya dan agama tak pernah memperalat keduanya demi meraih kuasa. Mereka tahu, simbol-simbol suci bukan untuk diperdagangkan dalam pasar politik. Budaya dan agama tidak lahir dari tipu daya, tapi dari ketulusan dan integritas. Maka mereka menolak menjadikan keduanya sebagai stempel kebijakan atau ornamen proposal kekuasaan. Seperti halnya wayang—ia bukan sekadar tontonan, tapi tuntunan. Itulah hakikatnya.

Politik hari ini bukan lagi siyasah yang bermartabat, tapi kerakusan yang dibungkus narasi suci. Ia tahu betul bagaimana mengeksploitasi budaya dan agama untuk menghalalkan siasat. Terlihat halus, tapi penuh kelicikan. Dan ketika sejarah tak lagi mampu memadamkan yang palsu, maka rakyat harus bersuara. Karena politik yang terlalu pandai beretorika bisa mengombang-ambingkan logika publik seperti lakara menunggang gelombang pasang.

Jika hari ini tampak dua Matahari di langit politik, biarlah. Pada akhirnya semesta selalu berpihak pada yang jujur, meski sering kali ia dikucilkan dari peradaban. Satu hal yang pasti: politikus ulung tak hanya demagog, tapi juga mampu menaklukkan ruang-ruang kosong dan mengusir suara-suara yang bermakna. Tapi bau kebusukan itu tak bisa disembunyikan selamanya. Seperti pepatah bilang: Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga.

Dan satu hal yang jangan pernah dilupakan: budaya dan agama tak pernah butuh tipu daya politik. Keduanya hanya butuh satu hal—integritas. Maka pertanyaan pamungkasnya: Jika sebuah bangsa kehilangan budaya dan agamanya, bukankah sama saja dengan kehilangan nyawanya sendiri? [BS]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *