Esai pendek oleh: Didin Tulus
Ruangatas.com | Membaca puisi-puisi Dato’ Ahmad Khamal Abdullah atau yang lebih dikenali sebagai Dato’ Kemala, sastrawan negara ke-11 Malaysia, adalah seperti memasuki sebuah ruang meditatif yang dipenuhi gema cinta, spiritualitas, dan pencarian makna hidup. Dalam antologi puisi “Meditasi Dampak 70”, salah satu karya yang menggugah adalah puisi bertajuk “Meditasi”. Puisi ini bukan sekadar perenungan, tetapi juga undangan untuk menyelami dimensi terdalam dari keberadaan manusia dan relasinya dengan dunia serta Sang Pencipta.
Tatkala saya membaca puisi tersebut, pikiran saya melayang ke sebuah ungkapan dalam karya William Shakespeare A Midsummer Night’s Dream: “Sesuatu yang rendah dan tidak mempunyai nilai, dapat berubah menjadi berarti.” Barangkali pernyataan ini tampak sederhana, namun dalam konteks puisi Dato’ Kemala, ia justru menemukan maknanya yang paling jernih.
Shakespeare dan Dato’ Kemala, meskipun berasal dari dua dunia yang berbeda secara geografis dan historis, tampaknya sama-sama percaya bahwa nilai tidaklah inheren, melainkan terlahir dari proses kontemplasi dan transendensi. Sesuatu yang biasa, bahkan sepele, dapat menjadi sumber keindahan dan makna jika diproses melalui perenungan yang mendalam. Dalam “Meditasi”, Dato’ Kemala menyentuh ranah ini dengan cara yang sangat lembut namun menusuk, menghadirkan kesementaraan hidup sebagai bahan bakar untuk pencarian kekekalan.
Keindahan dalam puisi ini tidak hadir secara eksplisit. Ia tersembunyi di balik kata-kata yang tampak sederhana, namun membawa lapisan makna yang mendalam. Di sinilah puisi Dato’ Kemala menunjukkan kekuatannya—ia tidak menggurui, tetapi mengajak berdialog. Ia tidak meledak-ledak, namun perlahan-lahan menyusup ke dalam ruang batin pembaca.
Kecenderungan Dato’ Kemala dalam menafsirkan kehidupan sebagai sebuah ziarah batin—sebuah suluk—menjadikan puisinya lebih dari sekadar karya sastra; ia adalah doa yang dibungkus dalam estetika. Kecintaan pada Tuhan, pada sesama, dan pada alam, berpadu dalam keheningan yang menenangkan. Dalam keheningan itu, kita menemukan gema kesadaran bahwa dunia ini, sesaat ini, tak bisa disepelekan begitu saja.
Keadaan sesaat, sebagaimana disebutkan dalam pengantar ini, memang menarik untuk direnungkan. Apakah ia akan menjadi abadi atau lenyap begitu saja? Puisi “Meditasi” menawarkan jawaban yang halus namun tegas: kesementaraan menjadi abadi ketika ia disadari. Di sinilah peran kegiatan intelektual—merenung dan berpikir—menjadi sangat penting. Dato’ Kemala tidak hanya menulis dengan kata-kata, tetapi juga dengan jiwa. Ia menghadirkan pengalaman eksistensial ke dalam bentuk puisi, dan melalui itu ia mengangkat yang rendah menjadi tinggi, yang fana menjadi kekal.
Dalam tradisi sufistik, yang juga mewarnai sebagian besar karya Dato’ Kemala, keindahan adalah jalan menuju kebenaran. Puisi tidak hanya dinikmati, tetapi juga dijalani. Setiap bait menjadi langkah menuju pengenalan diri, dan dari situ menuju pengenalan akan Tuhan. Maka, puisi “Meditasi” dapat dibaca sebagai upaya spiritual, semacam tafsir batin atas realitas yang kasat mata. Ia mengajak kita untuk berhenti sejenak, menghela napas, dan menyelami makna di balik hiruk-pikuk kehidupan modern.
Ketika membaca karya-karya Dato’ Kemala, kita pun diajak untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual yang tidak semata rasional, tetapi juga emosional dan spiritual. Ia memadukan akal dan rasa, menciptakan ruang bagi pembaca untuk berpikir sekaligus merasa. Di tengah era yang serba cepat dan dangkal ini, puisi seperti “Meditasi” menjadi oase yang mengingatkan kita akan pentingnya keheningan dan refleksi.
Lebih jauh lagi, puisi ini juga menunjukkan bahwa sastra memiliki peran besar dalam membentuk cara pandang kita terhadap dunia. Ia mengajarkan bahwa tidak ada yang benar-benar kecil atau tidak berarti. Bahkan momen yang paling remeh sekalipun bisa menjadi titik balik, asal kita memberinya perhatian dan cinta. Di sinilah cinta dalam puisi Dato’ Kemala menjadi sangat terasa. Bukan cinta yang bising dan berapi-api, melainkan cinta yang sabar, yang merenung, yang memahami bahwa untuk mengubah sesuatu menjadi berarti, kita harus lebih dulu hadir secara utuh di dalamnya.
Pada akhirnya, “Meditasi” bukan hanya sebuah puisi, melainkan sebuah pengalaman membaca yang menyentuh ruang-ruang batin terdalam. Melalui kata-kata yang hening namun tajam, Dato’ Kemala berhasil mengajak kita untuk menyelami cinta—cinta kepada hidup, kepada yang transenden, dan kepada makna itu sendiri. Ia mengingatkan bahwa meskipun kita hidup dalam kesementaraan, namun melalui perenungan dan puisi, kita bisa menciptakan keabadian.
Dan seperti kata Shakespeare, yang rendah bisa menjadi luhur, yang biasa bisa menjadi luar biasa—asal kita bersedia untuk berhenti sejenak dan bermeditasi.