Esai Didin Tulus | Ruangatas.com
Di negeri menara laut, Pangandaran, lahirlah seorang sosok inspiratif bernama Nendy Subagja. Sebagai seorang guru, seniman, dan penyair, Nendy tidak hanya mengabdikan hidupnya pada dunia pendidikan, tetapi juga mengarungi samudera seni dan sastra dengan penuh dedikasi. Bakat seni yang mengalir dalam dirinya merupakan warisan berharga dari sang kakek, Epen Sutardi—seniman legendaris Sunda yang sejajar dengan tokoh seni karawitan Sunda, Mang Koko.
Nendy Subagja adalah pewaris bakat seni yang luar biasa. Kakeknya, Epen Sutardi, dikenal sebagai seniman serba bisa yang menguasai berbagai waditra Sunda seperti kecapi indung dan kecapi kawih, serta seni bela diri tradisional, maenpo. Selain itu, Epen adalah pendiri grup Jenaka Sunda sebelum era Utun Dekok. Keahlian Epen dalam dunia seni sering membawanya tampil di Radio Nirom (kini RRI Bandung) pada masa penjajahan Jepang. Epen Sutardi, yang wafat pada tahun 1960, telah meninggalkan jejak abadi dalam budaya Sunda. Kisahnya dapat ditemukan dalam buku “200 Tahun Seni di Bandung” karya Irawati Durban, menjadi salah satu bukti penting kontribusi Epen terhadap seni tradisional.
Sebagai penerus warisan seni ini, Nendy menunjukkan kesungguhan dalam mengembangkan bakatnya. Ia tak hanya mahir memainkan kecapi suling, tetapi juga mendalami hubungan antara seni dan agama. Di sela-sela kesibukannya sebagai guru, ia sering menyampaikan ceramah agama di kampung halamannya, menunjukkan bahwa seni dan agama adalah dua sisi yang saling melengkapi dalam kehidupannya.
Di dunia maya, Nendy dikenal dengan nama pena Abu Auliya Mumtazza. Melalui akun media sosialnya, seperti Twitter dengan nama @Nendy Law Zoe, ia berbagi karya-karya dan refleksi mendalamnya. Lahir pada 28 September di Pangandaran, Nendy adalah lulusan Islamic State University (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Ia juga pernah menimba ilmu di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, serta mendalami seni di STSI/ASTI Bandung, jurusan musik karawitan. Dengan jejak pendidikan dan pengalamannya, ia menjadi figur yang tak hanya berkarya, tetapi juga menjadi teladan bagi banyak orang.
Sebagai seorang yang mencintai sastra, Nendy terjun ke dunia jurnalistik sejak muda. Ia mengasah kemampuan menulisnya melalui Majestic (Majelis Taklim Jurnalistik) ICMI Bandung-Orwil Jabar dan berkarier sebagai wartawan di tabloid Pijar Bandung pada tahun 2003. Karya-karyanya berupa esai, artikel, dan puisi diterbitkan di berbagai media, termasuk di majalah Nuqthoh pada tahun 2002. Prestasinya sebagai juara pertama lomba adzan tingkat nasional yang diselenggarakan oleh RCTI sejak masih SMA, menunjukkan dedikasinya dalam bidang agama sejak dini.
Sebagai seorang pendidik, Nendy mengajar di SMPN 1 Pangandaran dan menjadi pembina Club Cinematography “Ombak Samudra”. Melalui klub ini, ia telah melahirkan sembilan karya film bertema pendidikan. Dunia cinematography adalah salah satu bidang yang ia minati selain seni sastra dan fotografi. Dalam dunia tulis-menulis, ia telah menerbitkan dua kumpulan puisi, “Fijar Mentari Senja Illahi” (2003) dan “Resah Rindu Remuk Redam” (2004). Karya-karya ini merupakan cerminan dari penghayatan Nendy terhadap kehidupan, keindahan, dan spiritualitas.
Pada tahun 2015, Nendy bersama empat penyair lainnya, termasuk mahasiswa di Turki, menerbitkan kumpulan puisi “Pada Sebuah Mantera”. Karya ini menandai salah satu pencapaian penting dalam karier kepenyairannya. Obsesi Nendy adalah “membumikan sajadah kata”, suatu metafora yang menggambarkan tekadnya untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan melalui tulisan. Ia bermimpi menjelajahi dunia, termasuk negeri seribu menara, sembari terus menulis dan berbagi inspirasi.
Kiprah Nendy Subagja sebagai guru, seniman, dan penyair tidak hanya menginspirasi komunitas seni tetapi juga masyarakat luas. Dengan bakat, dedikasi, dan kontribusi yang terus ia berikan, Nendy adalah sosok yang patut diapresiasi. Dunia seni, khususnya sastra Sunda, membutuhkan figur seperti Nendy untuk terus menghidupkan tradisi dan menjembatani generasi muda dengan warisan budaya yang kaya. Di tengah dunia seni yang terus berkembang, nama Nendy Subagja menjadi salah satu harapan untuk menjaga kesinambungan antara tradisi dan inovasi.
Mari kita nantikan karya-karya berikutnya dari Nendy Subagja, seorang seniman dan pendidik yang tidak hanya menorehkan jejak di dunia seni tetapi juga menciptakan dampak mendalam dalam kehidupan banyak orang. Kehadirannya adalah pengingat bahwa seni dan pendidikan adalah dua elemen penting dalam membangun peradaban yang lebih baik.
*Penulis adalah penggiat literasi, editor buku penerbit Tulus Pustaka. Tinggal di kota Cimahi.