Tasikmalaya – Ruangatas.com | Semangat pendidikan kembali menyala di Kota Tasikmalaya. Bukan lewat deru kelas atau deret angka ujian, tapi lewat hiruk-pikuk pemilihan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang kini menjadi jantung percakapan di kalangan para pendidik.
Aura antusiasme begitu terasa, menembus ruang-ruang kantor sekolah hingga bisik-bisik di ruang guru. Para guru, kepala sekolah, hingga pegiat pendidikan lainnya tampak sadar, memilih pemimpin organisasi profesi bukan hanya soal formalitas periodik, tapi soal arah, harapan, dan wajah baru masa depan pendidikan.
Sebuah survei independen yang dirilis oleh salah satu media lokal menjadi bahan perbincangan hangat. Survei ini memotret suara dan aspirasi para guru, menghadirkan data awal yang membuka ruang dialog dan refleksi. Tak sedikit yang menilai bahwa kehadiran survei ini menjadi angin segar dalam proses demokrasi internal, bahkan ada juga yang merasa bahwa survei tersebut lebih mengedepankan opini ketimbang fakta yang objektif.
Doni M. Noor, Pegiat Sastra sekaligus pemerhati pendidikan Kota Tasikmalaya, menyambut baik Hadirnya survei tersebut, terlebih jika disertai dengan metodologi yang transparan dan akurat.
“Dalam proses demokratis, informasi adalah cahaya. Survei seperti ini membantu kita melihat lebih terang, siapa yang punya rekam jejak, siapa yang punya harapan publik. Selama dilakukan dengan metodologi yang jujur, hasil survei sesuai data lapangan, justru memperkuat partisipasi guru dalam menentukan arah organisasinya,” ungkapnya kepada Ruangatas.com, Senin, (14/4/2025).
Ia juga menekankan pentingnya keterbukaan dalam proses pemilihan, serta memberikan pandangannya terkait peran penting media dalam mendorong transparansi dan kedewasaan demokrasi di kalangan guru.
“Media yang menyuguhkan data, bukan drama, adalah mitra penting demokrasi. Apalagi survei ini dari mitra terpercaya yang berkiprah lama di dunia pendidikan, ini bisa menjadi cermin awal, meski bukan satu-satunya ukuran. Tapi dari sinilah guru-guru bisa mulai berdiskusi secara rasional, bukan sekadar emosional,” tambahnya.
Doni menyarankan agar para guru tak lagi menilai dari gelar atau riuh nama besar semata. Ia juga menilai, seharusnya yang dipilih adalah mereka mengedepankan nurani, kepedulian, serta integritas. Figur Ketua PGRI yang dicari adalah mereka yang mau mendengar sebelum berbicara, yang bekerja diam-diam tetapi berdampak besar bagi para guru.
Ia juga menegaskan makna kepemimpinan sejati di dunia pendidikan, “Pemimpin sejati di dunia pendidikan bukan hanya yang tampak di atas panggung, tapi yang Hadir di balik layar, menemani guru dalam senyap dan perjuangan,” pungkasnya.
PGRI bukan sekadar struktur organisasi, ia adalah wajah kolektif para pendidik yang berharap dimanusiakan. Maka, pemilihan ini bukan seremoni lima tahunan, apalagi memperebutkan kursi politis, melainkan momentum sakral untuk mengembalikan roh perjuangan. (Red)***