Akhir Tragis Firman

Oleh Eli Nurlela Andriani (Guru SDN Sukalaksana Kecamatan Bungursari Kota Tasikmalaya)

Hari itu sekolah sepi, semua telah pulang berburu waktu sebelum turun hujan. Langit memang sudah hitam seperti muram. Aku baru saja selesai merampungkan sebuah tulisan, menekan tombol save, close, shutdown, dan membiarkan laptopku istirahat. Suasana kelas yang hening, pintu berdecit-decit diayunkan angin, nyaris membuatku terburu untuk pergi. Tapi aku berusaha tenang, laptopku masih panas, artinya semenit dua menit aku harus menunggu agar ia sedikit dingin untuk siap ditutup dan dimasukkan ke ransel. Sambil menunggu, kucoba usir rasa takut dengan berkeliling di sekitar sekolah. Rupanya masih ada aktivitas kecil, terdengar suara gedebuk dan tawa anak-anak di belakang.

Bacaan Lainnya

“Hei lagi apa? Kenapa belum pulang? Sudah gelap, nanti kalian kehujanan!” seruku dari ujung koridor, aku berjalan mendekati mereka yang berkerumun di belakang. Anak-anak itu menoleh kepadaku dengan cemas. Entah apa yang tengah mereka lakukan. Seseorang bangkit, tanpa berkata atau menjawab, ia berlari diikuti temannya yang lain, menyisakan seorang anak berperawakan kecil. Itu sepertinya, Firman. Aku mengenalnya, ia anak didikku waktu kelas 2, sekarang dia sudah kelas 5, tapi kecilnya masih sama, pendiamnya juga masih sama.

Firman terduduk dengan baju kotor, Ah anak ini kenapa tidak berubah ia selalu terlihat kumal menyedihkan.

“Firman sudahi mainnya, mau hujan, kamu pulang ya!” aku tak perlu bertanya panjang lebar, ini sudah gelap dia harus pulang kalau tidak bisa basah kuyup tas dan alat tulisnya.

Firman tak menjawab, ia hanya menunduk, lalu bangkit perlahan, meninggalkanku dengan keheningan. Anak sekarang tak tahu pamitan, dalam hatiku berkata menggerutu. Bagaimana ia bisa mengacuhkan gurunya sendiri? Pergi begitu saja tanpa ucapan perpisahan atau salam.

**

Suara anak-anak di lapangan terdengar renyah sekali, ada yang tertawa, berteriak, bahkan bernyanyi. Pertandingan O2SN antar sekolah tingkat kecamatan akan segera digelar, para atlit terpilih sedang dilatih dengan keras oleh coach di lapangan sekolah ini. “Ya kamu Hildan bagus pertahankan passing atas, Rizki umpan bola ke Salman, Salman loncat! Lakukan smash. Nah begitu ya bagus!” Hari ini Pak Ahmad melatih anak-anak bermain bola Voli agar konsisten melakukan peran sesuai keahliannya.

Aku baru saja membubarkan siswaku, kelas 2. Mereka terbiasa pulang jam 10.15. Itulah sekolah negeri di sini, jika terlambat saja, Hp ku sering berbunyi berkali-kali, pertanyaan yang sama dari orang tua, “Apakah sudah bubar atau belum”. Berbeda dengan sekolah swasta mereka kelas 2 bisa pulang selepas dzuhur, mungkin jam 2 atau lebih.

Hp ku kali ini berbunyi berbeda, sederatan notif seperti peluru yang dimuntahkan isinya. Mungkin orang tua, benar saja. Saat kubaca isi pesannya, hatiku bergetar, tidak percaya. Sebuah link berita online: Akhir Tragis Siswa SD dipaksa … aku berhenti membaca. Air mataku berurai. Mengapa aku harus tahu lewat berita online? Bukankah ini anak didikku, bukankah ini sekolahku? Apakah aku tidak begitu peduli dengan masalah yang amat penting ini?

Setelah berita itu tuntas ku baca, sebuah video masuk. Seorang anak dengan seragam sekolah, percis latarnya adalah belakang sekolah, melakukan gerakan-gerakan tak senonoh dengan seekor kucing. Tawa renyah dari teman-temannya terdengar tak asing. Tangisku semakin menjadi. Kuusap air mata yang sudah terlambat dan tak berarti ini. Kubuka jendela melihat anak-anak di lapangan. Mereka yang berlari dan tertawa, mereka yang bertingkah polos dan apa adanya. Mengapa harus ada monster gila di dalam kepolosan itu?

Perang berkecamuk dalam jiwaku. Aku merasa gagal mendeteksi dini gejala pembulian di sekolah. Aku tak bisa menghentikannya. Otakku beku, rasanya prustasi.

“Bapak Kepala, bagaimana kalau di sekolah kita diadakan sosialisasi anti bullying, atau prestasi tanpa buli atau stop perundungan?” usulku suatu pagi.

“Ide bagus Bu, tapi kegiatan itu tak ada di RKAS. Jadi tahun ini belum bisa dilaksanakan, kemungkinan bisa kita laksanakan tahun depan, kita masukkan dulu ke RKAS!”

“Bukankah ada RKAS perubahan Pak? Ini kan darurat. Kita tak bisa menunda lagi, sudah ada korban di sekolah kita.”

“Kita tanya dulu operator BOS kita, apakah bisa ya Bu!”

Kepala sekolah berlalu, dan hatiku semakin sesak. Ada banyak kata yang ingin keluar, tapi kosakata terbungkam anggaran dan keputusan. Aku mencoba melobi operator BOS, ia nampak lelah selesai mengajar lantas membuka leptopnya yang berisi angka-angka.

“Aduh gimana ya Bu, memasukkan kegiatan di tengah-tengah seperti ini, ribet buat laporannya, harus ada ini itu, lagian harus memangkas yang mana?”

Hatiku berat, beban di dada yang tak bisa dimuntahkan, “Mengapa harus ribet? Mengapa harus susah? Mengapa harus merasa sulit?”

Bisakah kita membuat suatu kegiatan dengan minim dana? Bisakah kita melalui keribetan ini dengan menjalaninya? Tapi memang logika tanpa logistik tidak akan jalan!

“Coba saja Ibu yang jadi operatornya! Lakukan saja sesuka ibu.” Tiba-tiba saja kata itu keluar, terdengar panas di daun telingaku. Aku telah menyinggungnya. Aku telah melakukan kesalahan, alih-alih lobiku berhasil, yang ada malah ketidaksukaan. Bukan waktunya menjawab, aku menjauh dan berusaha menekuri, mungkin ada cara lain untuk mengobati rasa bersalahku pada Firman yang waktu itu kutemui dalam keadaan tertunduk, kumal, dan teraniaya.

Hari itu sekolah sepi, semua sudah pulang berburu waktu sebelum turun hujan. Langit memang sudah hitam seperti muram. Aku baru saja selesai merampungkan sebuah tulisan. Suasana kelas yang hening, pintu berdecit-decit diayunkan angin. Aku teringat Firman. Sambil menunggu laptopku memperbarui windows, kucoba berkeliling di sekitar sekolah. Rupanya masih ada aktivitas kecil, terdengar suara gedebuk dan tawa anak-anak di belakang. Memori lamaku terpanggil. Sekelompok anak-anak tengah berkumpul di sana, aku secara diam-diam mendekat. Astaghfirullah! Apa yang kusaksikan adalah hal yang tak kuasa lagi aku lihat, “Apa yang lagi-lagi kalian lakukan?” Seruku marah. Aku mencatat satu-satu wajah polos berisi monster itu. Mengutuk perbuatannya. Memberinya ancaman tentang pemanggilan dan sanksi drop out. Anak-anak yang tertawa itu tetiba beringas dan berbalik.

“Firman, maafkan ibu!”

Beberapa hari kemudian, tertulis di koran online: Seorang guru perempuan tewas ditusuk muridnya sendiri di belakang sekolah. Lalu terdengar kasak-kusuk, usia mereka rata-rata masih berusia 11 tahun, hukum tak bisa menjeratnya, mereka masih anak-anak, di bawah perlindungan hukum. Bentuk pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak SD adalah tidak ada. UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Pasal 21 tahun 2012 menyatakan bahwa anak yang belum berumur 12 tahun tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Dalam penjelasan Pasal 21 dinyatakan bahwa anak yang berusia di bawah 12 tahun belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis. Semoga tenang Bu Guru, biarlah dunia menua dengan segala bentuk kebobrokannya!***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *