Generasi Stunting Ancam Masa depan Bangsa dan Rentan Perundungan

Oleh: Budiman

Kata stunting akhir-akhir ini begitu seksi, saking seksinya menjadi buah bibir tersendiri bahkan menjadi headline hampir diseluruh media cetak ataupun elektronik. Terkesan menjadi hal yang biasa terdengar atau terbaca oleh telinga dan mata. Sampai-sampai orang nomor satu di negara kita pun yaitu presiden tercinta harus turun gunung dengan hadirnya fenomena stunting ini.

Bacaan Lainnya

Terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting menjadi bukti turun gunungnya presiden. Pertanda dengan adanya fenomena ini adanya ketidaknormalan dalam artian indonesia tidak dalam kondisi baik-baik saja.

Ternyata benar saja bahawa Indonesia saat ini merupakan negara dengan beban stunting pada anak tertinggi ke-2 di kawasan Asia Tenggara (databoks, 2021). Sementara di dunia bercokol diperingkat 115 dari 151 negara menurut Muhadjir Effendy, Menko PMK yang dikutip dari wecare.id (2022) dan ini termasuk tertinggi secara global. Tambah lagi data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menunjukkan bahwa prevalensi (kelaziman) balita stunting pada 2018 mencapai 30,8 persen. Itu artinya, satu dari tiga balita mengalami perawakan pendek akibat malanutrisi kronis. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami masalah kesehatan masyarakat yang berat dalam kasus balita stunting.

Pun demikain untuk Kota Tasikmalaya sendiri, kasus stunting masih berstatus kuning, tertinggi ke-5 di Jawa Barat. Dilansir dari salah satu media online, Kota Tasikmalaya telah mengklaim bahwa angka stunting beberapa bulan terakhir mengalami penurunan berdasar dari data tertulis Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) pernovember 2022 angka stunting di Kota Tasikmalaya yaitu dari 14,58% ke 12,79% atau 5.769 balita.

Stunting itu sendiri merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Periode 1000 HPK merupakan periode pertumbuhan dari janin hingga anak berusia 24 bulan. Anak dikategorikan mengalami stunting apabila tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya (UNICEF, WHO 2018).

Penyebab stunting bersifat multidimensional, tidak hanya kemiskinan dan akses pangan tetapi juga pola asuh dan pemberian makan pada balita. Stunting disebabkan oleh kekurangan gizi kronis, infeksi berulang dalam jangka waktu lama dan kurangnya stimulasi psikososial sejak di dalam kandungan dan setelah dilahirkan. Tidak hanya faktor spesifik gizi, tetapi juga faktor sensitif gizi yang berinteraksi satu dengan lainnya. Kalau lebih diperjelas lagi bahwa penyebab Stunting ada yang secara langsung ataupun tidak langsung. Penyebab langsung stunting seperti kurang gizi, tidak imunisasi, ataupun penyakit berulang. Penyebab tidak langsung seperti kurangnya stimulasi/ rangsangan, tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

Stunting dapat memberikan dampak buruk pada anak, baik dalam bentuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek stunting adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pada pertumbuhan fisiknya, serta gangguan metabolisme. Sedangkan, dampak jangka panjang stunting yang tidak segera ditangani adalah penurunan kemampuan kognitif otak sehingga mengurangi kualitas generasi penerus bangsa., kekebalan tubuh melemah sehingga mudah sakit, dan memiliki risiko tinggi terkena penyakit metabolik, seperti kegemukan, penyakit jantung, dan penyakit pembuluh darah.

Pada akhirnya akan menurunkan produktivitas SDM dan bonus demografi (pertambahan jumlah penduduk produktif yang besar) tidak termanfaatkan dengan baik. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan sebanyak 30,8 persen balita mengalami stunting. Walaupun pada tahun 2019 prevalensi stunting menjadi 27,7 persen (SSGB, 2019), angka tersebut masih jauh dari target nasional sebesar 14 persen pada tahun 2024. Kasus stunting terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia dan di seluruh kelompok sosial ekonomi. Oleh karena itu, pencegahan dan penanganan stunting menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional.

Masalah kurang gizi dan stunting merupakan dua masalah yang saling berhubungan. Stunting pada anak merupakan dampak dari defisiensi nutrien selama seribu hari pertama kehidupan. Hal ini menimbulkan gangguan perkembangan fisik anak yang irreversible (tidak bisa diubah), sehingga menyebabkan penurunan kemampuan kognitif dan motorik serta penurunan performa kerja. Anak stunting memiliki rerata skor Intelligence Quotient (IQ) sebelas poin lebih rendah dibandingkan rerata skor IQ pada anak normal. Gangguan tumbuh kembang pada anak akibat kekurangan gizi bila tidak mendapatkan intervensi sejak dini akan berlanjut hingga dewasa.

Belum lagi perundungan/bullying akan menjadi ancaman tersendiri bagi generasi stunting. Yang mana perundungan/bullying masih belum terhindarkan dari kita semua. Katagori bullying verbal merupakan perlakuan kasar yang dapat didengar bisa ejekan, mengancam, memfitnah, mencemooah, menggoda atau meledek dalam penyebutan nama umumnya yang sekarang ini sering terjadi. Namun jika dibiarkan, bentuk penyalahgunaan ini dapat meningkat menjadi bullying fisik seperti meronta-ronta, menampar, memukul, menendang, dan bahkan pemerkosaan atau pembunuhan.

Victorian Departement of Education and Early Chilhood Development mendefinisikan bullying terjadi jika seseorang atau sekelompok orang mengganggu atau mengancam keselamatan dan kesehatan seseorang baik secara fisik maupun psokologis, mengancam properti, reputasi atau penerimaan sosial seseorang serta dilakukan secara berulang.

Mengingat dampak dari stunting dan bullying ini begitu dahsyat maka dari itu penulis menganggap perlu adanya gerakan pencegahan yang revolusioner, sistematis dan berkelanjutan, diantaranya :

Untuk menangani anak yang stunting: Ketika terdapat anak stunting, Keluarga dan lingkungan tidak melabeli dan mengolok-olok anak tersebut, memastikan keluarga mengakses rujukan layanan untuk mengurangi dampak stunting pada anak, juga dilakukan secara konvergensi(terpusat), untuk memastikan seluruh intervensi penurunan stunting sampai pada target sasaran.

Percepatan pencegahan stunting dilakukan melalui pendekatan multi-sektor yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) secara terintegrasi dari pusat, daerah, hingga tingkat desa. Pendekatan multi-sektor tidak terbatas pada sektor kesehatan semata, tetapi juga pada sektor gizi, air minum dan sanitasi, pengasuhan dan PAUD, perlindungan sosial dan ketahanan pangan.

Untuk mencegah anak stunting: Orangtua, keluarga dan masyarakat dapat memanfaatkan potensi yang ada, Stunting dapat dicegah dengan pemberian makanan bergizi seimbang pada masa kehamilan hingga anak berusia 2 tahun, mengakses layanan kesehatan dan informasi yang tepat (bukan berita palsu), pemberian stimulasi (rangsangan) dan menjaga kebersihan diri serta lingkungan. Dengan cara melakukan pembentukan kebun gizi atau Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) ysng berfokus pada pembentukan kebun gizi.

Sedangkan untuk bullying Pertama, perlunya pemilihan /menciptakan lingkungan yang kondusif, aman dan nyaman. Baik itu lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat dengan mensosialisasikan gerakan anti bullying. Kedua, orang tua memberikan pendidikan keagamaan bagi anak dimulai sedini mungkin. Ketiga, pemahamanakan pengetahuan dan ketrampilan mengenai pencegahan dan cara mengatasi bullying baik itu anak, orang tua ataupun guru. keempat, pengawasan dan pembuatan aturan yang mengakomodasi tentang bullying secara konsisten baik itu di lingkungan keluarga ataupun sekolah. Kelima, pemilihan dan pembelajaran media yang sehat di lingkungan keluarga dan sekolah. Keenam, kurikulum sekolah tidak di buat kaku dengan dikembangkannya pembiasaan yang prososial dan pengembangan pembelajaran budi pekerti sebagai penguatan karakter.

“Stunting dan perundungan dekat dengan kita dan kita harus peduli. Harus mulai berperan aktif mencegah stunting dan perundungan untuk generasi penerus bangsa yang lebih baik.”

Pada akhirnya penulis berharap semoga generasi stunting tidak menjadi ancaman untuk masa depan bangsa dan terhindar dari perundungan.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *