Cerpen – RA | Kegelisahan memaksanya untuk tetap terjaga, pikirannya menerawang ke beberapa bulan ke belakang, saat ia berhari-hari duduk di bawah meja kerja dengan setumpuk berkas yang berceceran. Mengapa? Ia terus bertanya kepada waktu yang tak jua memberi jawaban, hatinya tak tenang seolah tak lagi memiliki kesabaran untuk menunggu. Apa ada yang salah? Waktu tetap bungkam. Ia ingin memaksa seseorang bicara, tapi tak mampu. Lalu ia tiba-tiba dipenuhi segala prasangka yang memenjarakan dirinya lebih dalam.
Selamat Malam, Pak! Besok ditunggu di ruangan Inspektur!
Seorang kawan mengirim pesan itu malam hari tepat sesaat sebelum ia mengambil bantalnya. Pesan singkat itu telah membuat malamnya semakin lama, tak bisa dilalui dengan damai lihat saja matanya semakin enggan mengatup, apalagi pikirannya mulai berkelana.
“Sudah keterlaluan, Bapak itu korban kebijakan yang inkonsisten. Bapak bisa melakukan pengaduan ke instansi yang lebih tinggi. Cobalah, sesekali buat kerepotan agar mereka tak menyepelekan siapapun lagi kelak!” Begitu petuah penuh semangat yang dilontarkan seseorang.
“Tapi ini terlalu beresiko, aku tak mau rasa sakit ini menjadi malapetaka yang lebih besar.”
“Tapi coba perhatikan Pak, apa yang mereka lakukan? Apakah ada kata maaf dari mulut mereka kepada Bapak? Tidak sama sekali! Mereka seolah melupakan dan menganggap semua normal. Lalu mereka menebus kesalahannya dengan memfasilitasi teman-teman Bapak mencapai kemudahan, dan teman-teman Bapak itu pun akan segera melupakan Bapak juga dan menganggap semua normal. Ah apa masih bisa disebut teman? Semua bajingan bukan?” Seseorang itu terus berbicara seakan nasihatnya penuh dengan akal sehat.
Ia merenung, sakit di dadanya semakin sesak. Apakah harus bertindak sejauh ini? Apakah ini tidak akan apa-apa? Semua berkas bukti data telah ia kantongi, dokumentasi lalu apalagi? Ia hanya tinggal menekan tombol. Semudah itukah? Ia lantas bangun, membuka sebuah website, dan menuliskan segala kekecewaan, kesedihan, kegamangan, harapan beserta bukti kecurangan kebijakan di satu lembar form online. Ia memilih klasifikasi laporan pengaduan lalu memberinya judul dengan huruf kapital “JABFUNG TIDAK SAH GURU: KOTA KONOHA MENGANGKAT JABFUNG GURU TANPA SERDIK”.
Ia memilih anonim, surat kaleng yang ia layangkan ke instansi yang dianggap tinggi itu pun meluncur sempurna. Ya, itu adalah suatu malam di satu bulan sebelum akhirnya pesan singkat inspektur itu sampai ke gawainya.
“Silahkan duduk Bapak Anwar Sanusi! Saya Yoga. Terima kasih telah memenuhi panggilan saya!” Demikian seseorang di sebrang meja itu membuka pertemuan, ia menggunakan pilihan kata formal, ekspresi kaku dan dingin.
“Maaf Pak jika saya lancang, ada apa gerangan tujuan Bapak memanggil saya?”
Bapak berkumis tipis, berperawakan tinggi, berkacama minus, menghela napasnya cukup berat. “Bapak sehat hari ini?”
“Ya,” ia heran dengan pertanyaan apakah ia sehat, apakah ia terlihat pucat atau tak waras?
“Syukurlah. Begini Pak, saya ingin menanyakan beberapa hal kepada Bapak terkait pelaporan yang tembus ke instansi, mohon kesediaan Bapak percakapan ini di berita-acarakan.”
Ia mengernyitkan dahi, mencoba mencerna. Apakah ini sesuatu yang berhubungan dengan pelaporan pengaduan anonimnya?
“Tapi sepertinya pertemuan ini tidak sesuai prosedur, apakah ada surat pemanggilan resmi untuk saya dari instansi Bapak ini? Jika ada saya bersedia diberita-acarakan, jika tidak saya persilahkan Bapak untuk membuatnya terlebih dahulu dan menyampaikannya ke instansi tempat saya berada.”
Seseorang yang mengenalkan dirinya Yoga itu terdiam masam, mukanya memerah, telinganya yang ramping dan putih pun terlihat bergerak-gerak.
Baiklah, silakan keluar dan tunggu surat pemanggilan resmi.
Tapi kalimat itu tak keluar, ia tak bisa mengatakan itu, orang no 1 Konoha sudah mewanti-wantinya agar menuntaskan masalah per hari ini juga.
“Sudahlah Pak, jangan berkelit! Anda ke sini karena Anda sudah membuat kekacauan. Anda sakit hati, mengapa harus mengorbankan banyak orang? Bagaimana Anda bisa membuat kota Anda rugi dengan Tagihan Ganti Rugi segini banyak. Anda tahu berapa totalnya? Miliar! Belum lagi penghentian dana, berapa ratus orang yang nilai gaji nya berkurang karena Anda. Sekota ini sedang mengutuk Anda!”
“Oh bagus sekali kabar yang saya terima ini. Bukankah itu memang aturannya? Bukankah dari awal bapak tahu seperti itu aturannya? Mengapa melakukan kesalahan lalu menyalahkan yang berusaha mengingatkan?”
“Kamu sendiri menikmatinya bukan, uang itu setiap bulan masuk rekeningmu!”
“Apa ada yang salah dengan yang diberi? Seperti seorang anak yang diberi uang oleh ayahnya, padahal itu uang belum waktunya diberikan. Yang salah anak atau ayah?”
“Kamu menggali kuburan dirimu sendiri!”
Pak Yoga itu menelan ludah. Ia tak bisa menjawab, apalagi menyalahkan pengambil kebijakan, karena itu diambil demi kesejahteraan banyak orang. Namun ia bisa mengeluarkan semua kekesalannya berkata berapi-api memberi sudut pandang baru pada yang tak tahu diri, seperti bagaimana kekesalan orang no 1 KONOHA yang tumpah kepadanya. Ia tak bisa menghentikan kekacauan yang telah terjadi, kecuali kucing yang tengah mengaum di depannya ini mengklarifikasi laporan aduan. Tak henti adu argument, terus berlanjut semakin melebar, berlarut-larut, sampai ia merasa lelah, merasa prustasi dengan opini yang tak bertemu titik henti. Apa yang ia sebut kebenaran ternyata selalu patah dengan aturan-aturan.
“Baiklah Pak Yoga yang Terhormat, saya undur diri, saya tidak bersedia menandatangani apapun, pikirkanlah apa yang saya katakan semuanya adalah kebenaraan yang pahit yang tidak dijalankan di KONOHA ini.”
“Silakan!” Seru Inspektur Yoga. Ia melihat punggung laki-laki usia 33 tahun yang berani bersuara, walau hatinya sebal ia merasa sedikit kagum. Sosok yang lantang membuka boroknya diri sendiri, tanpa sedikitpun takut kehilangan. Tapi terpaksa sungguh, orang seperti itu tak boleh hidup lebih lama di dunia, ini akan merusak tatanan. Bagaimana dunia akan berjalan jika ia dibiarkan, apatah ia membawa wabah. Ia mengambil handy talky nya, “Lakukan Plan B!”
“Siap Pak!”
Ia duduk dan memejamkan mata. Menghela napas, merapal satu kata-dua kata.
Anwar Sanusi, papan nama yang tersemat di kemeja putihnya itu tercecer noda merah. Dipertigaan jalan persis depan kantor sebuah dealer motor, dibawah pohon besar dekat trotoar. Ia tergeletak dikerumuni banyak orang yang bertanya-tanya, “Ada apa? Itu siapa?” Begitulah kebenaran bertitah di Konoha, ia mengambil segala yang kau miliki, dan itu nyawamu sendiri Anwar Sanusi! (*)