Cerpen – RA | Gelap gulita masih menyelimuti langit Tasikmalaya. Tapi Arrum sudah siap untuk berangkat, seperti biasa setiap Hari Raya Idul Fitri, Arrum sekeluarga selalu mengunjungi nenek di kampung. “ Mbah Uti” begitu dia selalu memanggilnya, perempuan tua yang selalu merindukan kedatangannya, setiap datang Bulan Ramadhan, hampir setiap hari Mbah Uti bertanya, kapan mereka akan pulang untuk bertemu denganya, ya..setiap hari, ibu selalu menyempatkan untuk “bertelepon” dengan Mbah Uti. Ibu Arrum anak bungsu, dan tampaknya Mbah Uti sangat dekat dengannya, sehingga kehadiran mereka seakan menjadi sebuah momen yang sangat membahagiakan.
Seusai Sholat Subuh mereka pun berangkat, mudik…. ya, peristiwa mudik, bagi Arrum adalah momen menjengkelkan, tetapi juga berkesan, menjengkelkan karena lalu lintas yang macet berjam-jam membuat suasana membosankan, tetapi ternyata disanalah momen mudik menjadi berkesan, dan dirindukan, cerita-cerita tentang kemacetan, seakan menjadi bumbu dalam obrolan keluarga.
Setelah hampir 20 jam Arrum dan keluarga menempuh perjalanan, mereka pun tiba di Rumah Mbah Uti, seperti biasa senyum dan tangisan menyambut mereka, satu persatu mereka dipeluk dan diciuminya, pelukanya erat dan hangat. Terlihat rona wajahnya berseri-seri, wajah bahagia jelas terpancar.
Dua hari mereka berada di Rumah Mbah Uti, rencananya hari ketiga mereka akan kembali ke Tasikmalaya, karena bapak masih menyisakan pekerjaan yang harus diselesaikan selepas Idul Fitri.
“ Mbah Uti sakit” kata ibu kepada bapak. “Tampaknya beliau sangat sedih harus kembali ditinggalkan kita”. Bapak hanya diam, dia mengerti keadaan ini.
Tiba-tiba Mbah Uti muncul dihadapan mereka, tampaknya dia mendengar pembicaraan ibu. “ Ndak apa-apa nduk, kalau mau pulang, wis pulang saja” mbah Uti berbicara pelan, terlihat wajahnya sangat sedih. Suasana ini selalu mereka hadapi setiap mereka harus kembali ke Tasikmalaya, tetapi kali ini tampaknya berbeda, “ Mbah Uti terlihat sangat sedih, wajah tuaya tampak semakin membuat mereka tidak tega. Ya..Mbah Uti tinggal seorang diri, seluruh anaknya merantau ke kota lain, beliau, meskipun masih terlihat sehat, tetapi seringkali penyakit tuanya mennyerang dan membuat mereka khawatir, terutama ibu.
Perasaan khawatir ibu, juga tampaknya dirasakan bapak, meskipun tidak berbicara, Arrum yakin bapak sangat paham dengan keaadan Mbah Uti, tidak mungkin mereka menginggalkan Mbah Uti dalam keadaan sakit.
Mereka mennghampiri Mbah Uti yang tergolek di kamar tidur, Bapak mendekati Mbah Uti, “ Sekarang yang penting Mbah Uti sehat dulu”, nanti saya telpon ke Tasik, mudah-mudahan pekerjaannya masih bisa diundur, jadi kami tidak harus pulang besok”, ucapan bapak tampaknya cukup melegakan Mbah Uti, tetapi mereka tahu, itu hanya sementara, cepat atau lambat, mereka harus pulang meninggalkan Mbah Uti.
Malam semakin larut, tetapi ibu dan bapak belum tidur, mereka terlihat membicarakan Mbah Uti, Arrum pun tertarik karena juga merasa khawatir, Dia bangun dari tempat tidur dan menghampiri kedua orang tuanya, tampaknya mereka maklum, karena membiarkannya untuk ikut ngobrol bersama mereka
“ Sepertinya kali ini kita harus mencari solusi, agar Mbah Uti tenang, kitapun tidak mungkin mennggalkan beliau seorang diri,usianya semakin tua, dan kesehatannya semakin menurun, kalaupun harus ditinggalkan dia harus ada yang menemani, tapi siapa ?, ” Bapak memulai pembicaraan.
“ Bagaimana kalau kita ajak Mbah Uti ke Tasik ? “ Arrum diri bertanya.
“ Hal itu sudah sering ditawarkan, tapi mbah Uti tidak mau” mbah Uti khawatir ayam-ayamnya mati, dan tidak ada yang megurus kebun, belum lagi keadaan rumah yang selalu dipikirkannya“ kata ibu.
Obrolan mereka cukup lama, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan Mbah Uti, ternyata Mbah Uti sudah lama mendengar obrolan mereka. Dengan tenang dia duduk di temgah-tengah mereka, “ Loh mengapa kalian belum bersiap-siap ?’pertanyaan yang mengagetkan mereka keluar dari mulutnya, belum sempat mereka menjawab, Mbah Uti berkata lagi “ Pulanglah, Mbah Uti tidak apa-apa, ini rumah mbah Uti, Mbah Uti harus tinggal di sini, tidak harus ke mana-mana”. Mereka masih diam, Mbah Uti melanjutkan, “ Mbah Uti memang sedih akan ditinggal kailan, tapi mbah Uti sadar, tempat kalian bukan di sini, pulanglah nduk”, mereka semua tercenung sambil menatap Mbah Uti, tidak terlihat raut muka sedih, apalagi cucuran air mata, yang mereka lihat adalah ketegaran dan wajah penuh sayang seorang ibu. “ Mbah sadar suatu hari, mbah akan hidup sendiri, ditinggal anak-anak, memang itulah tugas orang tua, mengantar anak-anaknya menuju kehidupan masing-masing, begitu juga dengan kalian, kalian punya tempat dan kehidupan masing-masing, tugas mbah Uti sudah selesai, dan mbah Uti bahagia melihat keadaan kalian”, sekarang tidurlah, kalian harus pulang besok”, Mbah Uti mengakhiri pembicaraannya, sambil masuk ke kamarnya, tinggal mereka semua terdiam, mata mereka berkaca-kaca tidak menyangka, mbah Uti berbicara seperti itu, Mbah Uti yang mereka khawatirkan selama ini ternyata adalah seorang ibu yang sangat tegar.
Ketika Matahari Ngawi masih belum menampakkan diri, Arrum dan keluarganya sudah bersiap di depan rumah untuk kembali ke Tasikmalaya, Mbah Uti berdiri di depan rumah, seperti biasa, dia menangisi kepergian mereka, tapi saat ini berbeda, tidak terdengar tangisan pilu dan wajah penuh kesedihan di wajahnyanya, yang tedengar hanyalah tangisan bahagia seorang ibu, dengan wajah welas asihnya, cukup lama dia memeluk ibu, si bungsu kesayangannya, tiba giliran Arrum, tangis Arrum pecah, sedih, tapi perasaanya lebih tenang, diakhir peluknya, Mbah Uti berbisik pelan ditelinga Arum, “ Satu tahun itu sebentar dik, besok kamu akan datang lagi, kalimat yang membuat Arrum semakin terbenam dalam pelukan Mbah Uti, dalam tangis, Arrum mengangguk bahagia…diciumnya tangan Mbah Uti penuh takzim, aku akan selalu datang Mbah, gumamnya.
Ngawi, Selepas Mudik (*)