Oleh: Ai Yuhani (Guru SDN Cicariu Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya)
Jalan satu-satunya yang bisa dilalui untuk menuju kampungku adalah jembatan yang terbuat dari anyaman bambu yang tiang penyangganya adalah sebatang pohon kelapa yang ditancapkan pada tanah dekat bibir sungai. Jembatan tersebut membentang di atas Sungai Ciwulan yang lumayan lebar, dan lumayan tinggi jika dilihat dari mulut sungai. Jembatan tersebut dinamakan jembatan gantung karena tergantung di atas sungai dan jika ada yang berjalan atau berlari di atas jembatan, maka jembatan akan terlihat seperti ayunan.
Jembatan gantung itu adalah sahabat kami karena setiap hari kami selalu melintasi jembatan itu jika mau pergi ke kota ataupun pergi ke kampung tetangga. Kami sudah terbiasa melintasi jembatan gantung tersebut tanpa rasa takut sedikit pun. Penduduk yang akan menjual hasil pertaniannya pun harus mengangkut barangnya dengan melintasi jembatan tersebut.
Kini jembatan gantungku usianya sudah tua. Terkadang ada rasa khawatir dan was-was, takut suatu ketika jembatan gantung itu roboh tidak kuat menahan beban, apalagi bagian badan jembatan yang terbuat dari anyaman bambu sudah ada yang bolong-bolongnya. Harus ekstra hati-hati ketika berjalan di atasnya.
Sudah ada rapat untuk memperbaiki jembatan dan mengganti tiang penyangganya dengan besi supaya lebih aman dan kuat, namun dana belum mencukupi untuk mengganti jembatan tersebut. Akhirnya untuk sementara, jembatan tersebut masih digunakan dengan catatan harus hati-hati.
Aku dan adikku tinggal di kampung sebelah kanan Sungai Ciwulan. Jika mau ke rumahku, setelah habis jembatan, harus terus berjalan menanjak dan menyebrang pesawahan yang terbentang luas sejauh mata memandang. Aku dan adikku terbiasa berlari di atas pematang tanpa takut jatuh terpeleset.
Terkadang sepulang sekolah, aku dan adikku bermain di Sungai Ciwulan untuk berenang atau pun bermain rakit. Seru sekali jika sudah bermain rakit melintasi kolong jembatan gantung. Suatu hari, aku dan adikku bermain rakit dan melintasi kolong jembatan gantung. Adikku berkata, ”Kak, lihat jembatan gantungnya banyak yang bolong dan tiangnya juga agak doyong!” Aku mendongakkan kepala mengikuti arah telunjuk jari adikku. Benar juga, sekarang tiang penyangganya sudah mulai agak doyong walaupun masih kuat untuk sementara waktu.
Entah mengapa, tiba-tiba ada perasaan ngeri dan takut menyeruak dalam pikiranku, aku bergidik sambil menggeleng-gelengkan kepala, dan bergumam” Tidak-tidak, nauzubillahi min zalik, selamat-selamat!” Adikku bengong melihat kelakuanku. “Mengapa Kak, ada apa, tadi kakak terlihat cemas sekali?” katanya sambil menatapku. Dengan gelagapan aku menjawab,” Tidak ada apa-apa, nanti hati-hati ya jika melintasi jembatan dan harus banyak berdo’a supaya Allah memberi keselamatan kepada kita,” kataku menasihati. Adikku hanya mengangguk. “Kak, pulang yu, sudah terdengar beduk, kita belum solat asar!” kata adikku. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Segera kuputar rakitku dan mendayungnya.
Semalaman hujan turun dengan derasnya, disertai angin yang bergemuruh dan petir yang menyambar-nyambar. Aku berkumpul di ruang tengah bersama orang tua dan adikku. “Mudah-mudahan saja jembatan gantung tidak kenapa-kenapa, kuat menahan hantaman derasnya hujan dan angin,” kata ayahku. Kami semua mengaminkannya. Setelah hujan reda, barulah aku berani mengajak adikku untuk tidur.
Di dalam keheningan malam, aku terbangun karena mendengar suara seperti ledakan di atas langit-langit rumah. Aku teringat obrolan orang-orang di kampungku, bahwa jika mendengar suara ledakan di atas langit-langit rumah, itu pertanda akan ada yang meninggal. Aku menjadi takut dan khawatir. Kulihat adikku tertidur lelap, tidurnya damai sekali dan terlihat wajahnya lebih tampan dari biasanya. Kutatap lekat-lekat, lalu kudekap dia dengan penuh rasa sayang. Ada perasaan aneh yang menyelimuti benakku, ada perasaan takut kehilangan adikku satu-satunya. Dengan susah payah, setelah membaca berbagai do’a akhirnya aku tertidur Kembali.
Kuceritakan kepada ayah dan ibu apa yang kudengar tadi malam. “Betul Nak, ayah dan ibu juga mendengar suara itu, ibu mengingat-ngingat siapa sodara yang sedang sakit, tetapi tidak ada,” kata ibu. Hatiku semakin ciut. “Ya Allah, ya robbi lindungi keluarga hamba dari marabahaya,” batinku.
Adikku bangkit dari tempat duduknya dan pamit kepada kami. Ayah bertanya, ”Mau ke mana Nak?” Adikku menjawab,” Aku mau mengembalikan buku kepada Ari takut tidak bertemu lagi.” Aku heran mendengar jawaban adikku seperti itu. Sebelum pergi dia memelukku erat-erat. Kuusap dengan lembut kepalanya. “Hati-hati ya melintasi jembatannya, jangan berlari kan semalam hujan!” nasihatku kepada adikku. “Tenang saja Kak, Arul kan sudah jago!” jawabnya sambil cengengesan. Lagi-lagi hatiku masygul melihat adikku yang berjalan ke luar rumah, sambil melambaikan tangan, tidak sari-sarinya dia berperilaku seperti itu.
Selang beberapa waktu berlalu, terdengar Mang Udin berlari-lari sambil memanggil nama ayah dengan suara yang penuh dengan kepanikan. Dengan napas terengah-engah dan telunjuk menunjuk ke arah jembatan, Mang Udin berkata, “Celaka, celaka, itu anakmu! ”Dengan panik ayahku bertanya,” Kenapa dengan anakku, kenapa?” Lagi-lagi Mang Udin menjawab dengan gagap. ”Anu, anakmu, anakmu jatuh dari jembatan!” Mendengar jawaban itu ibu menjerit dan menangis histeris. Seperti kesetanan aku berlari menuju tempat Arul jatuh, beberapa kali aku terjerembab jatuh ke lumpur. Ayah berteriak-teriak mengingatkanku untuk berhati-hati.
Ketika sampai, benar saja jembatan sudah roboh. Sudah banyak orang yang berkerumun di atas sungai, sebagian turun ke sungai. Tatapan mata orang-orang kampung mengarah kepadaku bahkan beberapa orang memelukku sambil menangis, “Sabar, sabar ya Nak!”
Dengan gusar aku segera berlari menuruni sungai disusul oleh ayahku. Apa yang kulihat? Ya Allah, Arul sudah tergeletak dan badannya terhimpit batang pohon kelapa tiang penyangga jembatan. “Aruuuul, Aruuul!” aku menangis dan menjerit histeris melihat kanyataan di depan mataku. Beberapa orang kampung sedang berusaha mengangkat batang pohon kelapa. Dengan susah payah, akhirnya batang pohon kelapa dapat dipindahkan dari badan Arul. Aku dan ayah segera berhambur ingin membopong Arul. Banyak darah yang keluar dari kepala Arul. Kepalaku pusing, mataku berkunang-kunang, dan akhirnya bruk aku tak sadarkan diri.
Entah berapa lama aku pingsan. Sayup-sayup kudengar suara tangisan ibu. Ketika aku membuka mata, rumahku sudah penuh dengan pelayat. Ibu segera menghampiriku dan memelukku sambil menangis. “Arul mana, Bu?” Ibu hanya menjawab pertanyaanku dengan tangisan. Beberapa kerabatku mengusap-usap kepalaku sambil menasihati agar aku bersabar, karena kita semua juga akan mati. Aku terhenyak dan lagi-lagi aku menangis sambil berteriak” Aruuul, maafkan Kakak tidak bisa menjagamu huhuhu.”
Aku belum beranjak dari kuburan Arul. Aku masih tidak percaya dengan kenyataan bahwa adikku telah pergi untuk selama-lamanya. Beberapa kali kugigit jariku, tetapi terasa sakit.
Sebulan dari kepergian Arul, warga di kampungku sibuk membantu Bapak-bapak TNI untuk membuat jembatan baru dengan tiang penyangganya dari batang besi yang besar dan kokoh. Aku bergumam ”Cukup Arul saja yang jadi korbannya. Semoga kamu tenang Dik.”
Tasikmalaya, 22 Januari 2023