Prosa: Lintang Ismaya| Ruangatas.com
Dunia diciptakan dengan berbagai rahasia-Nya. Sebagaimana Al-Qur’an menyebutkan bahwa bumi menjadi sumber kehidupan dan penghidupan bagi manusia serta makhluk lainnya. Dalam Surat An-Naba’ ayat 6-7, Allah berfirman: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak?” [An-Naba’ : 6-7]. Ayat ini mengingatkan manusia bahwa bumi memiliki fungsi yang sangat penting, tidak hanya sebagai tempat berpijak, tetapi juga sebagai penyedia kebutuhan hidup. Namun, selain menjadi sumber kehidupan yang terlihat, ada potensi rahasia dan kekayaan yang terpendam di dalam bumi, yang mencakup sumber daya alam seperti air, mineral, dan energi.
Lepas dari penciptaan dunia dan rahasia-Nya. Kala kita berbicara tentang rahasia Allah itu sesungguhnya kompleks. Musabab itulah rahasia Allah tidak dapat sepenuhnya diungkap, tapi ada beberapa rahasia Allah yang terungkap dalam Al-Qur’an, dan hadits. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, bahwa rahasia Allah yang terungkap dalam Al-Qur’an diantaranya; Allah SWT Maha Mengetahui yang tersembunyi dan dirahasiakan, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Mulk ayat 14. Allah merahasiakan pahala amalan-amalan seperti sabar, puasa, dan shalat agar hamba-Nya tetap istiqamah dan ikhlas dalam menjalankannya. Dalam surah Luqman ayat 34 mengingatkan bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui di mana ia akan menemui ajalnya.
Dalam Al-Qur’an pun Allah SWT berfirman bahwa hari kiamat pasti akan datang, namun waktu kedatangannya dirahasiakan, hal ini dijelaskan dalam beberapa surah, di antaranya Al-Hajj, Al-A’raf, dan Taha. Sedangkan beberapa rahasia Allah yang terungkap dalam hadis diantaranya; Allah menyembunyikan ridha-Nya dalam amal ketaatan kepada-Nya. Allah menyembunyikan murka-Nya dalam perbuatan maksiat. Allah menyembunyikan Lailatul Qadar di dalam Ramadhan. Allah menyembunyikan para wali di tengah-tengah manusia.
Ada pun dalam kitab Nashaihul Ibad karya Imam Nawawi. Sayyidina Umar ra, berkata tentang enam hal yang dirahasikan Allah SWT, sebagai berikut: ‘Sesungguhnya Allah merahasiakan enam perkara di dalam enam perkara lainnya, yaitu : merahasiakan ridha-Nya dalam perbuatan taat. Merahasiakan murka-Nya dalam perbuatan maksiat. Merahasiakan Lailatul Qadar dalam bulan Ramadhan. Merahasiakan wali-wali-Nya di tengah tengah manusia. Dan menyisipkan kematian di sepanjang umur. Serta merahasiakan shalat Wustha di dalam shalat lima waktu.”
Hal yang sering teralami dalam kehidupan kita yaitu tentang merahasiakan ridho-Nya dalam perbuatan taat pun dengan merahasiakan murka-Nya dalam perbuatan maksiat. Allah telah menutup rapat-rapat tentang aib kita baik dalam maksiat pun dalam hal lainnya, tetapi kita sendiri merasa nyaman dengan hal itu bahkan tidak jarang menceritakan aibnya sendiri. Demikian juga dengan cermin ridha-Nya, kita sering merasa iri melihat kesuksesan orang lain, diberi kepercayaan dan kedudukan, padahal apa yang kita pandang belum tentu merupakan ridha-Nya. Hal tersebut dimaksudkan agar hamba-Nya bersungguh-sungguh untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Sebaliknya, meski terlihat sederhana, boleh jadi di balik ketaatan seorang hamba yang tampaknya sederhana itu ternyata disitulah terdapat Ridho-Nya.
Maka berprasangka baiklah seorang kepada seorang, sebab boleh jadi apa yang kita anggap buruk sesungguhnya dia adalah seorang walinya Allah. Banyak riwayat yang menggambarkan bahwa seorang itu walinya Allah paska mereka meninggal dengan prilaku jauh dari nalar dan penampilannya pun jauh dari sederhana; rudin. Namun tidak semuanya wali Allah berpenampilan demikian. Sementara dengan malam Lailatul Qodar dan shalat Wustha, mayornya muslim mengalami, tetapi tidak pernah menyadari hal itu sedang terjadi dan dilakoni sebagaimana datangnya kematian; banyak yang menyadari kematiannya sudah terjadi paska para pelayat datang. Berbahagialah yang bisa menemukan malam Lailatul Qodar dan shalat Wustha dengan kesadaran penuh dalam bingkai ridho-Nya.
Mencari ridho Allah dapat menjadi tujuan hidup seorang muslim untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Namun, bagaimanakah cara mendapatkan ridho Allah? Untuk mendapatkan ridho Allah, seorang muslim dapat melakukan berbagai amalan, seperti beribadah, beramal saleh, dan berpegang teguh pada ajaran Islam. Ada pun amalan untuk mendapat ridho Allah sebagai berikut: Beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mencintai dan menaati syariat Allah. Mencintai Rasul-Nya dan mengikuti keteladanan-nya. Mengamalkan Al-Qur’an. Ikhlas menerima segala sesuatu yang menjadi keputusan Allah. Bersyukur dan bersabar. Berhijrah dan berjihad di jalan Allah, dan bertawakal kepada Allah.
Sedangkan secara sikap untuk mendapatkan ridho Allah dengan cara: Khusyuk dalam ibadah. Memanfaatkan waktu dengan efektif. Menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu fokus. Mendamaikan mukmin yang berselisih. Tidak syirik, tidak berpecah belah, dan saling menasehati. Ridho terhadap orang tua. Berinfak di jalan Allah, dan berkorban di jalan Allah. Secara simpulan, kesemua petunjuk itu ada dalam isi atawa kandungan Al-Qur’an, dan kita tinggal membacanya serta mengamalkannya di keseharian laku hidup dan kehidupan kita.
Demikian pula dengan keberadaan kita, kala kita lahir sebagai manusia pilihan, wajar adanya ketika Al Quran mengatakan bahwa kita dititah menjadi khalifah fi l-ardh: pemimpin di muka bumi, setidaknya bagi diri pribadi (lihat QS Sapi Betina [2]: 30). Sebab dipilih Tuhan, maka apa pun yang kita pilih, adalah pilihan-Nya. Itulah pentingnya mengenal diri, agar kita mengenal Tuhan. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu.”Ada hadits qudsi lain yang nuansa redaksinya tak jauh beda: “al-insanu sirri wa Ana sirruhu wa sirri sifati wa sifati la ghairihi: manusia itu rahasia-Ku dan Aku rahasia manusia, dan rahasia itu adalah sifat-Ku, dan sifat-Ku tiada lain adalah Aku.”
Di sisi lain, kitab yang paling rahasia dam sulit untuk dibaca dan dipelajari bukanlah Al-Qur’an, melainkan membaca diri sendiri. Lanjutannya, kala seseorang berperilaku menjadi baik atau menjadi buruk itu ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh orang lain. [Li]