Prosa: Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Secara hakikat, sejak manusia diturunkan ke bumi, sudah berjanji bahwa: (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini,” [QS. 7:172]
Sejak saat itu pula janji yang menjadi perjanjian dimulai. Secara harfiah, janji adalah sebuah kontrak psikologis yang menandakan transaksi antara subjek dan objek. Janji adalah suatu kesanggupan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dalam usaha untuk mendapat kepercayaan. Janji dapat diucapkan maupun ditulis sebagai sebuah kontrak. Melanggar janji tak hanya sering dianggap sebagai perbuatan tercela, malahan juga ilegal, seperti kontrak yang tidak dipegang teguh.
Secara inti sesungguhnya beban manusia dalam mengarungi alur hidup dan kehidupan di bumi-Nya itu hanyalah satu, yaitu janji. Janji yang bersebab melahirkan musabab kembali ke sebab, jadi buah dari akibat. Akibat dari habluminallah [lihat QS. 51 : 56], habluminanas [lihat QS. 49 : 13] dan hablum minal ‘alam [lihat QS. 30 : 41] inilah sebagai tiga sumber utama dalam kalang nilai yang menjadi konsep penting untuk dijaga keseimbangannya, guna mencapai kesempurnaan ibadah.
Meskipun pada hakikatnya habluminannas dan hablum minal ‘alam memiliki tujuan vertikal, yakni mendapat ridha Allah sekaligus merupakan misi kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang harus diamalkan secara seimbang. Sedangkan habluminallah dilaksanakan dengan ubudiyah atau ibadah yang mana hidup manusia di dunia pada hakikatnya adalah hanya untuk beribadah kepada Allah: Menunaikan perintah syariat. Rela dengan ketentuan dan takdir serta pembagian rezeki dari Allah. Serta meninggalkan kehendak nafsunya untuk mencari keridhaan Allah semata.
Jelas sudah jika habluminallah Itu merupakan rupa dari kesalehan individu atau ibadah mahdhah, maka habluminannas itu merupakan kesalehan sosial atau ibadah ghair mahdhah. Sebab habluminannas adalah konsep di mana manusia menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya. Sedangkan hablum minal ‘alan adalah hubungan manusia dengan alam. Singkatnya, selain ditugaskan untuk beribadah dan menjaga persaudaraan, manusia pun diberi tugas untuk memakmurkan bumi. Bahkan Allah secara tegas mengancam manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi.
Pada akhirnya, adakah manusia dimuka bumi ini yang tidak berhutang? Bukankah janji disebut hutang karena keduanya sama-sama harus dipenuhi, dibayarkan, dan dipertanggung-jawabkan. Dalam ajaran agama samawi, janji yang diingkari dapat dianggap sebagai perbuatan dosa dan termasuk ciri orang munafik. Sebab ingkari janji termasuk perbuatan dosa yang tidak disukai oleh Allah dan rasul-Nya, dari itulah Rasulullah SAW., bersabda: “Barang siapa tidak menepati janji seorang Muslim, niscaya ia mendapat laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya tobat dan tebusan,” (HR Bukhari dan Muslim).
Sebagaimana tiga ayat Al Qur’an yang melarang perbuatan ingkar janji, yaitu: “Dan, janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya, Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya pada hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu hal yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (QS. 16 : 92).
“(Setan) itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong terhadap mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka, selain tipuan belaka.” (QS. 4 : 120).
“Dan, tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya, Allah mengetahui yang kamu perbuat.” (QS. 16 : 91).
Adakah janji yang boleh dilanggar? Tentu saja ada, hal itu berdasarkan kondisi di mana janji itu boleh untuk tidak ditepati. Misalnya, janji yang dibuat karena berada di bawah tekanan, ancaman, atau janji untuk berbuat maksiat dan dosa. Meski ada janji yang boleh dilanggar, pada kenyataannya janji adalah hutang yang harus segera dibayar. Bahwa kesalahan harus segera dihapuskan dengan meminta maaf kepada sesama manusia dan alam yang disalahkan dan memohon ampun pada-Nya.
Sebagai manusia, kalau berpikirnya kuantitatif, janji hanya ada dalam ranah hutang-piutang yang harus segera dilunasi. Namun dengan berpikir kualitatif, kita bisa menemukan janji ada di dalam diri pribadi, di dalam setiap diri manusia, di dalam laku diri, di dalam setiap perbuatan, di dalam setiap langkah, di dalam setiap ucapan, di dalam setiap interaksi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, di dalam semua hubungan.
Sebab adakalanya manusia berkata (a) tapi hati berdiam di (b) hal ini memerlukan kesadaran mutlak dalam bertindak, bahwa sepandai apa pun kita ber-siyasah (situasi ketika kebijakan atau tindakan yang diambil untuk mengatasi janji justru menghasilkan dampak sebaliknya, seperti pertumbuhan yang lebih rendah dan rasio hutang yang lebih tinggi) tidak akan sanggup mengurusi nasibnya di depan sakaratul maut, tidak akan menambah keberuntungan apapun di hadapan mautnya, yang akan datang tanpa tahu kedatangannya. Tahu-tahu sudah dicabutnya nyawa dari raga.
Ada pun hikmah menjalankan janji sebelum sunyi mekar di liang kubur itu untuk menumbuhkan kesadaran sebagaimana dalam hadits qudsi; “al-insan sirri, wa anaa sirruhu”. Artinya: manusia itu rahasia Kami (Allah), sedangkan Kami (Allah) adalah rahasia manusia: Yaitu harus sadar, keberadaan adanya kita di bumi-Nya itu atas kehendak Allah, sejatinya kita itu milik Allah, dihidupkan dan dimatikan pun oleh Allah.
Kembali yang semestinya, yaitu tidak menyisakan hutang dari perihal segenap janji pada siapa pun itu objek yang dijanjikannya merupakan upaya memahami realitas dengan rangkaian tesis, antitesis dan sintesis; “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”[QS. 2:28] dari ayat tersebut menjadi bukti bahwa setiap orang berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. [Li]