Metamorfosis Nata Sukma

Pementasan naskah drama Nata Sukma karya dan sutradara Tatang R. Macan

Sebuah Refleksi dari Sastra Lisan Wawacan Nata Sukma Produk Komunitas Santri 1833 M di Tanah Sunda | Ruangatas.com

oleh: Rakean Wanen Ismaya

Bacaan Lainnya

AMBANG HIKAYAT

Dalam Jurnal Kajian Naskah Nusantara dengan sub judul Artefaktualitas Dan Kontekstual, naskah drama Nata Sukma yang ditulis oleh Tatang R. Macan, merupakan hasil dari riset sampai ke panggung pertunjukan. Hal ini menunjukan bahwa sebuah pementasan teater tidak bisa lepas dari objek kritis. Sebagaimana hasil risetnya dari Wawacan Nata Sukma yang menjadi sebuah naskah drama, masih dalam koridor perspektif seni pertunjukan dan politik yang merupakan sebuah identitas dari kaum tertindas.

Wawacan Nata Suma berkisah tentang satu sisi Masyarakat Sunda (orang gunung) termasuk di Kabupaten Bandung sejak abad ke-17, setelah memeluk agama Islam dapat disimak dari wawacan-nya. Wawacan inilah yang ikut membentuk pikiran kolektif masyarakat Sunda. Wawacan adalah hikayat yang ditulis dalam bentuk puisi tertentu yang dinamakan dangding. Dangding adalah ikatan puisi yang sudah tertentu untuk melukiskan hal-hal yang sudah tertentu pula. Wawacan dalam penelitiannya Tatang R. Macan ini—yakni Wawacan Nata Sukma, ditulis anonim oleh masyarakat sekitar Banjaran, lereng Gunung Cupu Pangalengan, di Kabupaten Bandung.

Menurut Prof. Jakob Sumardjo, makna wawacan secara arti harfiahnya adalah “bacaan”, wawacan bukan untuk dibaca seorang diri, tetapi dibaca untuk kepentingan pertunjukan dan didengarkan oleh publiknya. Beluk merupakan seni permainan vokal untuk membaca wawacan di depan publik. Di mana ada beluk, di situ tentu ada naskah wawacan, begitu disampaikan Viviane Sukanda-Tessier. Dengan demikian wawacan semacam repertoar (naskah cerita), sebagai bahan materi pertunjukan Beluk Wawacan.

Artinya, Wawacan adalah cerita yang ditulis dan dibacakan dalam bentuk puisi. Realitas pertunjukannya, tidak menghilangkan tradisi awal yang terkoneksi dengan sistim kepercayaan lama pra-Islam (zaman Hindu) di tanah Sunda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ajib Rosidi, bahwa Wawacan adalah hikayat yang ditulis dalam bentuk puisi tertentu yang dinamakan dangding. Dangding adalah ikatan puisi yang sudah tentu untuk melukiskan hal-hal yang sudah tertentu pula. Dangding terdiri dari beberapa buah bentuk puisi yang disebut pupuh dalam bahasa Sunda. “Berbeda dengan prosa, wawacan memiliki batasan-batasan khusus seperti penggunaan aturan pupuh yang memiliki gurulagu, guruwilangan, dan gurugatra. Penggunaan masing-masing pupuh dalam cerita wawacan mencerminkan episode tersendiri.” Tatang R. Macan menambahkan;

“Pertunjukan wawacan lebih fleksible dan multi-ruang, ia bisa dipentaskan di panggung, di teras halaman rumah, bahkan bisa di dalam ruangan rumah tergantung pada konteks peristiwa kepentingannya. Pertunjukan beluk wawacan dilakukan oleh 4 orang atau lebih, satu orang bertugas sebagai pembaca kalimat-kalimat dari naskah wawacan. Kemudian disambut oleh Juru Ilo (menembangkan) dari bacaan tersebut berpijak pada Pupuh yang tertulis dalam naskah satu persatu (kinanti, sinom, asmarandana, dan dangdanggula).”

“Wawacan memiliki unsur cerita yang dibaca, ditembangkan, dan adanya unsur iringan musik. Cerita berupa hikayat, dongeng para raja, legenda dan mitos serta ajaran Islam tentang Tasawuf dengan durasi panjang. Selain wawacan, pertumbuhan seni pertunjukan seperti beluk (lengkingan vokal), beluk wawacan (tutur yang ditembangkan), pertunjukan tersebut merupakan seni produk budaya masyarakat pola tiga yang terkait dengan prosesi sistim ritual pertanian.” papar Tatang R. Macan menegaskan.

INTISARI

Dalam isi pembahasan gelobal hasil dari buah penelitian Disertasi-nya, Tatang R. Macan mengungkapkan bahwa: “Wawacan Nata Sukma ditulis dengan huruf Pegon (Arab) dalam bahasa Sunda, sekitar tahun 1833 M (abad ke-18) dalam masa “tanam paksa” menanam kopi di Pangalengan. Wawacan Nata Sukma memiliki alur cerita tentang perlawanan dan perjuangan tokoh “Nata Sukma” yang liar, menggelitik dan metaforis. Suasana alur cerita terkadang memelas, menggemaskan, sakit, gembira, bergelora penuh nafsu dan patriotik. Pernah ditabeuh (Sunda; dipentaskan) sejak tahun 1930 hingga 1960 sekitar desa-desa di Kabupaten Bandung.”

“Wawacan Nata Sukma, berupa cerita fiksi tentang kehidupan orang gunung yang miskin bernama “Nata Sukma”. Ia dengan kemiskinannya menentang garis nasib dan ketertekanan hidup sebagai kaum tertindas. Nata Sukma berjuang melampaui ketertindasan dan perang. Dalam pengembaraan hidupnya, Ia berhasil mendalami pengetahuan serta merubah nasibnya. Ia kemudian mencapai derajat hidup yang bermartabat setelah perang menundukan para raja dari lima kerajaan. Wawacan Nata Sukma merupakan reportase, dan potret peristiwa yang terjadi pada masa lalu, serta terkait politik identitas kebangsaan kaum tertindas.”

Pendeskripsian di atas, merupakan batasan dalam melihat Wawacan Nata Sukma yang menjadi bagian utama penelitiannya Tatang R Macan M. pada Wawacan Nata Sukma kemudian ditranskripsi dari huruf Arab ke dalam huruf Latin berbahasa Sunda tahun 1983 oleh Drs. Pepen MEZ. “Wawacan Nata Sukma merupakan naskah cerita tutur milik masyarakat pertanian ladang. Dari uraian alur cerita dan penokohannya, saya melihat adanya hakikat ‘perlawanan’ terhadap kaum penjajah (Belanda). Tergambarkan dari pergerakan tokoh yang bernama Nata Sukma sebagai anak petani miskin di kawasan pegunungan, yang selalu dihadapkan dalam kondisi perang fisik hingga melepaskan diri dari cengkraman perang.” Jelas Tatang R Macan.

Tak bisa dipungkiri oleh kita bersama, bahwasannya: “Budaya tulis naskah wawacan di tanah Sunda, penulisannya tumbuh dan berkembang sejak abad ke-17 pada masyarakat petani terpelajar setelah memeluk agama Islam. Wawacan inilah yang ikut membentuk pikiran kolektif masyarakat Sunda, dengan ajaran Islam (tasawuf), tradisi menulis pernaskahan, dan pemikiran kritis kemasyarakatan. Wawacan umumnya ditulis untuk kepentingan seni pertunjukan tutur, ia biasa dibacakan di depan sejumlah hadirin baik yang berupa hikayat, dongeng, babad, ataupun ritual pertanian, dan selamatan lahiran bayi. Namun ada juga wawacan yang bersifat khusus (clost teks), wawacan ini berupa ajaran khusus pemahaman tasawuf Islam.”

“Wawacan pertunjukan, dibacakan dalam kaidah tertentu dengan melagukannya ke dalam bentuk Beluk. Sejak abad ke-17, wawacan tumbuh menjadi bentuk penulisan kreatif dilingkungan pesantren (sekolah Islam) Sunda. Inilah sebabnya wawacan ditulis dengan huruf Pegon (Arab). Wawacan yang berisi ajaran Islam menunjukkan bahwa sastra lisan ini berasal dari komunitas santri (pelajar Islam). Kebudayaan Sunda dalam arti sistim nilai, merupakan cerminan dunia batin orang Sunda yang mengakar di masa lampau dan diwariskan dalam tradisi yang hidup sampai hari ini.” Tandas Tatang R. Macan

Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama bahwa tradisi pernaskahan yang terus hidup di masyarakat Sunda lampau, adalah tradisi huruf dan bahasa Sunda (baru), yang mulai muncul dalam abad ke 17-18 yang berhuruf Pegon (Arab). Ajip Rosidi dalam bukunya Ngalanglang Kasusastran Sunda menjelaskan; “dalam feodalisme kaum bangsawan dan kaum ulama itu saling mempengaruhi, saling sokong, dan saling bantu hidup bersama. Kalau kaum feodal priayi/menak memegang kekuasaan pemerintahan, kaum ulama memegang superioritas spiritual. Keduanya secara intensif mengamalkan sistim yang didasarkan pada filsafat “guru, ratu, kedua orang tua” (via Sumardjo, 2015: 123).

TEKS DRAMA

 Teks naskah drama yang ditulis oleh Tatang R. Macan ini masih menggunakan judul Nata Sukma. Hal ini sebagai wujud dari hasil analisa penelitian yang merupakan tafsir atas pembacaan dari naskah Wawacan Nata Sukma. Penafsiran mengacu pada penerapan teori hermeunetik. Metode penelitiannya dengan cara melaksanakan prosedur sistematis, terarah dan runtut, dengan orientasi kerja peneliti adalah mengembangkan instrumen, mengumpulkan data, melakukan pengukuran atas perilaku, dan menganalisis temuan-temuan, menarik kesimpulan, merumuskan generalisasi dan sebagainya. Singkatnya, metode penelitian ini berdata kualitatif.

Kelebihan dari penelitian kualitatif ini betapa kaya-nya sumber data untuk diolah. Sehingga penelitian seperti ini merupakan penelitian yang sulit untuk dibantah, dalam hal telaah untuk penelitian seni pertunjukan (teater tutur seperti wawacan) dengan cara mendeskripsikan karya dan proses penciptaan sebagai bagian upaya memperoleh pengetahuan dari hasil menganalisa naskah Wawacan Nata Sukma sebagai karya sastra yang ditulis pengarangnya (anonim) pada 1833 M.

Salah satu simpulan dari hasil penelitiannya tersebut adalah; Penulisan wawacan merupakan gabungan aspek tulis cerita, sastra, material pertunjukan antara seni suara, musik, dan kondisi dramatik. Wawacan itu sendiri ditulis para pengaranya, untuk kepentingan sosial, hiburan dan ajaran ke-agamaan, serta ritual masyarakat petani berbasis budaya tradisi. Kondisi ini menunjukan fakta keberhasilan anak rakyat yang berguru (belajar) di pesantren, memperlihatkan intelektualitasnya dalam wujud tradisi menulis naskah wawacan. Namun demikian, para penulis naskah wawacan adalah masyarakat petani dalam budaya Sunda, mereka tetap kukuh dengan falsafah hidup Tritangtu Sunda.

Azas Tritangtu Sunda tetap hidup dalam masyarakat, dengan dinamika hidup yang futuristik, harmonis dalam penafsiran lsafat guru, ratu, dan kedua orang tua, atau dalam bahasa modern, ulama, bupati, dan kedua orang tua. Azas Tri Partit tentang pembagian tiga dunia sebagai satu kesatuan yang sudah tua usianya dalam masyarakat huma. Azas Tangtu Tilu atau Tritangtu di Buana yang terdiri dari keresian, karatuan, dan keramaan (resi, ratu, rama) adalah akar dari guru, ratu, dan kedua orang tua. Pemahaman Tritangtu Sunda tetap hidup di dalam masyarakat untuk kepentingan hidup harmonis, keseimbangan hidup, siar Islam dan pendidikan masyarakat melalui media pertunjukan tutur Beluk-Wawacan.

Di balik penulisan alur cerita Wawacan Nata Sukma, termuat pesan moral bahwa kemiskinan, kesengsaraan, ketidak berdayaan hidup akibat dari kolonialis, bukan alasan untuk berdiam diri dengan tanpa melakukan apapun. Penyimpangan-penyimpangan akibat prilaku kejahatan orang lain bukan perkara nasib yang harus diterima. Dalam Wawacan Nata Sukma, ada indikasi ke arah perlawanan terhadap perongrong. Dilakukan guna merebut kemerdekaan bangsa yang tertindas. Gerakan politik identitas kebangsaan (orang Pasundan), dalam kondisi “tanam paksa” yang dilakukan ekspansi para planter Belanda (VOC) di tanah Sunda.

Gerakan perlawanan dan perebutan identitas yang dilakukan pengarang, melalui penulisan naskah wawacan, dituangkan sebagai cerita sindiran, potret peristiwa atas penindasan sekaligus perlawanan tehadap penjajahan itu sendiri. Alur cerita perlawanan dan peperangan tokoh utama “Nata Sukma”, hingga ia dinikahkan dengan tokoh “Putri Ayu Eundeur Cahaya”, memiliki relasi tema, pesan moral, dan bisa dibaca sebagai mata rantai tujuan hidup harmonis masyarakat pola tiga Sunda yang menginginkan “kemerdekaan hidup bermartabat”.

Keberadaan Wawacan Nata Sukma di Kabupaten Bandung-Jawa Barat yang ditulis pada tahun 1833 M (abad 19), memperlihatkan bentuk karya sastra Sunda intertekstual, adanya pengayaan unsur gaya bahasa Sunda dan Melayu, gambaran peristiwa herois, dari pengalaman hidup yang sakit, kemiskinan, ketertindasan yang terjadi pada masa “tanam paksa” oleh Belanda. Realitas yang terjadi pada orang Sunda dalam kurun waktu abad ke-16 hingga akhir abad ke-19, memperlihatkan suasana chaos, antara ketertindasan, kemiskinan dalam realitas hidup akibat ekspansi kolonial. Membaca Wawacan Nata Sukma, ditulis pengaranya guna melakukan siar ajaran Islam serta perlawanan kaum tertindas terhadap kejahatan masa “tanam paksa” menanam kopi tahun 1833 M.

Ada pun ringkasan cerita dari teks drama Nata Sukma yang ditulis oleh Tatang R. Macan berkisah: tentang tiga tokoh Marhaen, Multatuli dan Nata Sukma sendiri. Mereka adalah tokoh pergerakan sewaktu zaman penjajahan. Secara saripati ketiga tokoh tersebut mempunyai pola pikir yang sama; berontak dari yang namanya segala bentuk penjajahan baik tanam paksa pun pemerkosaan hak-hak hidup lainnya. Sebagaimana gabungan dari korporasi di ini zaman yang masih bermain memeras keringat rakyat. Pada akhirnya rakyat kelihangan Cahaya Maha Cahaya yang semestinya menjadi pedoman hidup untuk dijalankan. Baik dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Simpulan gelobal naskah ini mencerminkan sebuah teks lakon drama propaganda yang ditulis secara kontemporer atawa teks sastra kontemporer dengan menghadirkan tiga tokoh yang beda waktu kehadirannya, meski masih berada di Wilayah Indonesia, tepatnya Pasundan. Transformasi naskah ini dibentuk dengan tidak menghilangkan pikiran utama dari Wawacan Nata Sukma yang menjadi menarik bagi Tatang R. Macan, bahwa di sunda pada abad ke 18 Masehi pengarang Wawacan Nata Sukma (anonim), sudah bisa membuat teks agitasi atawa propaganda. Teks drama ini pernah dipentaskan di UTM Selangor Malaysia pada tanggal 16 Oktober 2024., Teater Arena Isi Padang Panjang, 12 Oktober 2024., Gedung Kesenian Kota Palembang pada tanggal 27 Oktober 2024. Dan berdasarkan obrolan Tatang R Macan, kepada penulis, lakon dramanya ini akan dipentaskan juga di Taman Budaya Jambi pada tanggal 25-27 April 2025. Memang, pementasan dengan teks drama seperti ini selalu mendapatkan sambutan hangat dari para apresiatornya, yang mana satu ciri khas dari seni pertunjukan teater itu kerap menyimpan pesan moral dan sosial yang jelas, sehingga katarsis didapatkan utuh oleh para apresiatornya.

Pada akhirnya dari setiap kisah apa pun kisah yang tengah dibacanya pastilah mengandung ibroh, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Sebagaimana Tatang R. Macan M yang membaca Wawacan Nata Sukma menjadi sebuah refleksi dalam cermin mutlak memandang zaman yang tengah dibacanya, kontekstual dengan situasi dan kondisi zaman sekarang, seperti naskah terdahulunya dengan judul Kidung Djaka Bandung yang hasil dari penelitiannya pula. [Rwi]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *