Oleh : Kang Warsa (Guru dan Pengamat Budaya asal Sukabumi)
Bulan suci Ramadhan harus dihadapi dengan kebersihan lahir dan batin. Tradisi-tradisi yang dilakukan dan telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Islam, termasuk di Sukabumi, memiliki ciri penyucian lahir dan batin, fisik serta mental. Tradisi munggahan, ziarah kubur, nyadran, papajar, dan kuramas memiliki spektrum penyucian lahir dan batin. Atas alasan ini, puasa harus menjadi katalisator dalam meningkatkan rasa syukur kepada Allah SWT. Ramadhan merupakan bulan yang harus membakar mental “baperan”, mudah didikte oleh fenomena yang berasal dari luar, menetralisir diri kendati hidup di era yang menyebalkan.
Seorang ulama bernama Hatim ibnu Asham memiliki pandangan serupa dengan Seneca dari Roma. Kedua tokoh ini berasal dari latar belakang berbeda namun telah mengemukakan konsep-konsep yang mirip tentang kesederhanaan. Misalnya, dalam menghadapi hidup sudah sebaiknya dihadapi oleh sikap tenang karena bagaimanapun dan dengan cara apapun hidup akan terus mengalir. Hatim pernah berkata; kembangkan sikap tenang dalam hidup, rezeki seseorang tidak akan pernah dapat direbut oleh orang lain, apa yang telah ditetapkan untuk seseorang tidak dapat berpindah tangan kepada orang lain. Seneca juga pernah mengatakan, Apapun yang telah melewati batasnya selalu dalam keadaan tidak stabil.
Semula saya berpikir, kita sedang hidup di zaman yang sangat menyebalkan bahkan sangat memuakkan. Era menyebalkan dalam pikiran saya dapat dibuktikan dengan realita yang ada, selalu bertolak belakang dengan idealisme atau cita-cita terbaik bagaimana semestinya kehidupan berjalan. Namun jika dipikirkan kembali, meskipun saya, misalnya, dikembalikan oleh satu kekuatan lantas bisa kembali atau berkelana ke berbagai zaman, tetap saja setiap zaman memiliki potensi menyebalkan, menyenangkan, hingga biasa-biasa saja. Dalam hal ini, pandangan para filsuf Stoa ada benarnya, kehidupan yang kita jalani dan hadapi saat ini tidak jauh berbeda dengan kehidupan-kehidupan sebelumnya yang pernah dihadapi oleh para leluhur manusia. Menyenangkan atau menyebalkan sebuah zaman, kita tetap saja hidup pada zaman ini.
Memiliki pikiran bahwa saya sedang hidup di zaman yang menyebalkan sama sekali tidak beralasan dan ketika memiliki alasan pun tetap saja lemah. Sebab, meskipun kita hidup di zaman bahkan di antara orang-orang yang menyebalkan, realitasnya dapat saja terbalik, justru sikap dan perilaku kita lah yang dianggap menyebalkan oleh zaman dan orang-orang di sekitar saya. Selain itu, dunia ini terlalu luas dan dipenuhi oleh berbagai keindahan, aneka warna, dan kebaikan di saat hal-hal yang saya pandang paling menyebalkan ternyata tidak seberapa dari apa yang saya sebutkan tadi. Sayangnya, sebagai manusia biasa dan cenderung menganggap diri normal, saya dan mungkin sebagian besar manusia lebih memilih terus larut dalam pikiran tentang zaman yang menyebalkan.
Atau bisa saja, justru pikiran saya lah yang menyebalkan dibandingkan dengan zaman yang saya anggap sangat menyebalkan ini. Dalam perspektif agama yang saya anut, memiliki pikiran tidak baik di tengah luasnya kebaikan yang dipancarkan di alam ini merupakan sikap berkeluh-kesah dan merasa selalu tidak cukup dengan karunia yang ada. Dibagaimanakan atau disepertiapakan juga, hidup akan terus berjalan seperti biasa. Saya berpikir sedang hidup di zaman paling menyebalkan pun, alam ini sama sekali tidak akan berhenti berproses.
Sebaliknya, diri kita lah yang selalu memberikan persepsi lain terhadap setiap peristiwa alam. Saya ambil contoh, ketika di halaman rumah, kita melihat bunga mawar mekar, spontan kita memberikan persepsi betapa indah pagi ini, hingga sekuntum bunga mawar pun menyambut pagi kita. Bunga mawar tentu tidak memiliki pikiran kalau kehadirannya di halaman rumah lengkap dengan kuncupnya itu demi menyambut pagi kita. Sebab, bagi bunga mawar, dirinya memang sudah saatnya berbunga. Tanpa kehadiran kita di sana juga, ketika saatnya berbunga, sang mawar tentu akan berbunga.
Seperti telah saya sebutkan sebelumnya, jika kita mendalami dua persepsi antara manusia dengan bunga mawar, terkadang diri kita memang terlalu geer saja dalam mempersepsi sesuatu, termasuk saat memberikan persepsi terhadap kondisi zaman. Para leluhur kita sering mengatakan: kalem wé, hirup mah mémang kieu (tenang saja, hidup memang seperti ini).
Ungkapan di atas memang benar, hidup manusia merupakan kompleksitas, namun sering disederhanakan oleh cara pikir kita sendiri. Hanya karena kita berada di antara orang-orang yang tidak saling menyapa, lantas kita berasumsi: aku sedang berada di antara mummy yang tidak punya hati. Sebesar dan sekecil apapun setiap masalah, bagi para leluhur kita dapat diselesaikan hanya dengan duduk, berdiam diri, dan bergumam: kalem wé (tenang saja).
Sepintas, cara pandang leluhur kita dengan sikapnya ini dianggap pasif dan sangat fatalis, pasrah tanpa ikhtiar. Lagi-lagi, kita terjebak dalam sikap memberikan persepsi terhadap sikap para leluhur. Beberapa tahun lalu saya mengalami peristiwa memilukan, motor raib dicuri. Awalnya, sebagai manusia biasa saya benar-benar kesal dan menggerutu, tidak habis pikir. Kok di kota kecil berpenduduk mayoritas muslim ini, masih juga ada maling motor!
Setiap hari, kita bahkan termasuk pelaku pencurian juga, mendengar penuturan dan ceramah bahwa mencuri merupakan perbuatan dosa, barang curian adalah haram! Tetap saja kasus pencurian motor terjadi di mana-mana. Apakah memang manusia sudah tidak takut lagi kepada Tuhan atau berpura-pura dirinya luput dari pengawasan-Nya? Kekesalan ini sama sekali tidak pernah mengembalikan motor yang dicuri, sampai sekarang pun, setelah delapan tahun, motor itu tidak pernah ditemukan apalagi kembali dengan sendirinya. Peristiwa itu secara perlahan saya syukuri.
Awalnya hanya bergumam: ini hanya ujian. Anggap saja motor yang dicuri memang sudah menjadi rezeki si maling. Siapa tahu akan diganti dengan motor lain atau mobil atau kendaraan lain yang lebih baik. Setelah saya renungkan, bisikan-bisikan bathin ini memang ada benarnya juga. Tanpa rasa sesal berkelanjutan, akhirnya saya abaikan saja pikiran-pikiran merasa kehilangan. Dan saya memang pernah mendengar ceramah K.H Zainudin MZ bahwa harta yang kita miliki saat ini merupakan titipan, bersikaplah seperti juru parkir, ketika mobil dan motor yang dititipkan diambil kembali oleh pemiliknya, sang juru parkir tidak akan merasa kehilangan.
Merasa kehilangan dengan barang yang kita miliki disebabkan oleh persepsi kita sendiri bahwa barang ini merupakan properti dan milik pribadi, tidak diraih atas andil orang lain, hasil kerja keras, jadi wajar kalau kita menganggapnya sebagai barang milik sendiri! Kita memang sering bersikap rakus dan sangat individualis, itu saja.
Kejadian dan peristiwa sekesal apapun, zaman ketika orang-orang bersikap kurang ajar, kurang belajar, dan kurang asem hingga menimbulkan suasana paling menyebalkan, pada akhirnya harus saya terima. Mau apalagi, kita memang hidup di zaman seperti ini. Golongan progresif akan memandang pikiran saya seperti ini tidak sejalan dengan mereka, karena yang harus dilakukan ketika kita melihat keburukan yaitu memperbaikinya, berikhtiar agar segalanya berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Membiarkannya tetap bobrok berarti membangun sikap pesimis dalam diri sendiri.
Ya, sudut pandang dan cacian dari kelompok lain di luar diri kita memang merupakan bagian di zaman yang menyebalkan ini. Maka, biarkanlah hal itu terjadi. Disebut sebagai orang pesimis memang sangat menyebalkan, tapi memang demikianlah kehidupan, biarkan dan tak acuh saja. Sekali lagi saya tegaskan: apa saja yang dilakukan oleh manusia di muka Bumi ini, sama sekali tidak memiliki dampak besar terhadap perubahan yang ada di alam. Komputer sebesar apapun diproduksi oleh manusia, sama sekali tidak memiliki arti jika dibandingkan dengan putaran bumi terhadap matahari dalam sehari.
Selamat menunaikan ibadah puasa.