Gadis Kecil Bernama Sarah

Sarah namanya, gadis kecil 9 tahun usia. Aku mengenalnya dari seorang Bapak yang bekerja sebagai kuli panggul barang di pasar Bekasi Kota. Pak Alim, begitu para empunya kios di pasar itu, menyebutnya. Tangan kekar, juga pundak serta punggung pria berkulit legam terbakar matahari, berusia sekitar 47 tahun adalah langganan keluargaku.

Pak Alim cekatan, juga ramah dan santun kepada kami, ketika kami memerlukan tenaganya, ia siap membantu tanpa menetapkan tarif berapa upah yang harus kami bayar atas bantuan jasanya.”Cukup ndak Pak?” Kataku bertanya. “Alhamdulillah bu, sudah lebih dari cukup, hatur trimakasih,” Jawabnya sumringah, sambil menyeka lelehan keringat di dahi dan lehernya, setengah terbungkuk santun ia berpamit.

Bacaan Lainnya

Pada suatu ketika di pojokan paling ujung sebuah pasar dekat terminal Angkutan Kota. Beberapa kali kuperhatikan, selalu ia berada di sana tengah duduk bersandar pada dinding pagar tembok pembatas antara pasar dan terminal. Atau berselonjor seenaknya tanpa menghiraukan lalu lalang orang-orang di sekelilingnya yang kadang karena ulahnya, kerap ia mendapat umpatan kasar dari para pengguna jalan yang egois atau mungkin juga karena saking diburu waktu, tergopoh-gopoh repot membawa barang belanjaan, sehingga seorang ibu tambun pernah juga tersandung kaki Sarah, jatuhlah si ibu tambun itu limbung menimpa badan ringkih Sarah.

Sudah tentu Sarah-lah yang dipersalahkan. Dan Sarah tanpa mengaduh, meringis pun tidak pula, padahal jika terjadi pada putri kita yang anak mami, pasti sudah berteriak menangis kesakitan, bahkan bisa jadi ujug-ujug kena serangan asma akut seketika. Ibu tambun sekejap saja kutaksir bobot badannya mungkin lebih dari 90 kg!. Tapi Sarah hanya diam, menatap ibu tambun, tanpa sepatah kata pun, walau ia dicaci maki sekasar-kasarnya dan terlalu berlebih kiranya si ibu tambun menumpahkan rasa kesal campur malunya, sebab kesalahan tak sepenuhnya ada pada Sarah.

Sempat beberapa orang berkerumun menghampiri TKP, seorang kernet, dan kuli panggul pasar menolong ibu tambun membenahi barang belanjaannya yang tercecer, lalu membawakannya hingga ibu tambun masuk dalam mobil Angkot yang ditujunya. Kemudian seolah tak terjadi apa-apa, aktifitas di pasar dan di tempat Sarah masih berselonjor, kembali normal.

Aku yang dari jarak 30 meteran tak sengaja menyaksikan kejadian, refleks mengurut dada, geleng-geleng kepala. Aku heran, Sarah yang tertimpa badan gembrot ibu galak serta belanjaannya, kenapa aku yang tiba-tiba jadi sesak nafas? Aku hampiri Sarah, kusodorkan segelas air mineral kemasan. Sarah menggeleng.

“Hmmm… Dada atau perut kamu yang sakit Sarah?” Tanyaku cemas.

Sarah masih menggeleng dengan kepala tertunduk, diam. Aku mengusap rambut kusut sebahunya yang semrawut gimbal seperti tak pernah mengenal sisir, kusobek plastik pinggiran kemasan air mineral segelas, “Minumlah…” Kataku lembut setengah memaksa. Sejurus Sarah menengadah menatapku dengan sorot mata bening sayu tapi kilatannya tajam bagai sebilah mata belati menghujam jantungku. Kemudian tertunduk kembali, setelah kugenggamkan segelas air mineral ke tangan kanan mungilnya yang kurus kotor berkuku hitam panjang tak terurus. Sarah meminumnya setegukan saja lalu dengan pandangan mata kosong, dengan raut muka sedih ia berkata terbata-bata sengau disusul air liurnya meleleh campur airmatanya yang seketika beruraian, “aayaa aayi bbapaah… Anyee angi… Anye ayi angis…” Ah, Sarah!

Aku geleng-geleng kepala bingung, menghela rasa kecewa, mengutuki diriku sendiri sebab tak paham apa yang diucapkan bibir mungil pasi yang bergetaran. Seketika handphone-ku berdering, sebuah sms dari rekanku yang memintaku untuk bersegera menemuinya di sebuah Toko Buku di seberang pasar. Sebelum aku meninggalkan Sarah, aku kepalkan selembar uang duapuluh ribu rupiah ke tangan kanannya. Ia menggenggam jemariku, “aayaah naa ingiing uaang, aayah ‘aau baaapah uuyang bu…”

“Ya Sarah, ibu ada perlu, kamu pulanglah, hati-hati…” Dengan halus aku lepas genggaman tangan Sarah pada tangan kananku, berat hati, aku melangkah, rasa nyeri bertubi-tubi seperti menghantam ulu hatiku, menyesaki rongga dadaku, menggelayuti pikiranku. Sungguh kusesali diri sebab tak bisa mengerti apa yang Sarah katakan atau tepatnya mungkin saja keinginan Sarah tak bisa kuwujudkan sesuai harapannya.

Aku bertanya pada setiap teman-teman Bapakku yang kujumpai di pasar tempat Bapakku kerja sebagai kuli, tapi mereka tak beri jawaban pasti, semua hanya mungkin dan entah yang nisbi.

Dua hari Bapakku tak pulang, ibuku bingung alang kepalang, adik bayiku menangis lapar dari malam hingga ketemu siang, adik tengahku sakit batuk dan meriang, lalu apa yang bisa kuperbuat selain turut meratap bimbang, gadis kecil usia sembilan tahun mental terbelakang, begitu orang-orang bilang.

Mungkin pencarianku pun sia-sia, terduduk lelah lunglai sebab lapar dahaga, di sisi emper wc umum pasar kutepis putus asa.

Dari kejauhan sayup kudengar keributan, orang-orang berlarian menuju pusat kerumunan, kemudian salah seorang berseragam melepaskan tembakan, “dor!” lelaki yang dikejar terkapar di jalanan.

Sesaat usai tragedi di depan mataku, serasa timah panas menembus jua di jantung kecilku, “ada apakah denganku?” Sesaat kuurungkan melanjutkan pencarian Bapakku, sebab tanpa sengaja kudengar mereka memperbincangkan tragedi pilu. Ya Tuhan mereka menyebut-nyebut nama Bapakku! “katanya sih dia kepergok mencuri sebungkus roti dan sekotak susu di Mini Market itu…”

Aku berlari sekuatnya menuju kantor Polisi, dan apa yang terjadi? Kudengar khabar dari mereka bahwa sebelum sempat dibawa ke Rumah Sakit, pencuri itu telah mati, dan yang mereka sebut-sebut berikut ciri-ciri fisik tersebut ialah nama Bapak dan rupa orang yang kusayangi.

Bergegas aku pulang membawa airmata, tapi apa yang musti kubilang pada ibu dan adik-adik tercinta? Sedang ibu makin gelisah menenangkan tangis adik bayi yang enggan reda, adik tengahku hanya terbujur lemas tak berdaya, dan aku diam dalam sejuta tanya…

Mengapa Tuhan? Kelaparan dan kemiskinan inilah yang menjadikan kami kehilangan.Padahal kutahu pasti, Bapakku bukan penjahat dan tidak seperti yang mereka katakan.***

Penulis: Sri Nurianti (Pecinta Seni)
Sabtu, 11 Mei 2013

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *